Saturday, December 22, 2012

The Case of Prematurely Marriage in Madura

Discussing prematurely marriage, admitted or not, the society of Madura is often shown as a good example. This is based on the reality in Madura’s society dealing with marriage; many parents have been seemingly nice to marry their children prematurely.

It is said premature because the child’s old is not enough for making family. Usually, the two couples are still under 17 years old (a phase of innocence and childhood). It is also said premature because many families were failed in that. Violences and cutting human rights often exist around the marriage.

The prematurely marriage is not something glad to do, but it has to be avoided and hit so that it will not hold our young generation. The prematurely marriage often makes future gone, and because of it, a young can not do anything. Furthermore, according to expert’s opinion, the prematurely marriage can cause undeveloping society in anyfield, such as education, economics, politics, and in sustaining country’s development. The point is that we have to avoid the prematurely marriage as well as we can.

In Madura, the prematurely marriage was operated long time ago. It is not found in Madura’s today. I think, the case of prematurely marriage, had not only been emerging in Madura’s society, but also in other areas throughout Indonesia. It can be said finished since early 20th century. It means after this country getting its independence at 17th of August 1945.

Friday, December 21, 2012

Menyelamatkan Bahasa Indonesia

Ada apa dengan bahasa Indonesia kita? Apakah ia sedang dalam masalah berat, sehingga kita harus menyelamatkannya? Ini adalah beberapa pertayaan untuk mengawali tulisan yang merupakan sebuah refleksi ini.

Disadari atau tidak, keberadaan bahasa Indonesia kita semakin hari semakin menghawatirkan. Ia tak ubahnya orang tua, yang dihantam di sana-sini oleh orang-orang muda tak diundang. Ia seharusnya awet muda, tapi apa mau dikata, tak ada yang peduli dengannya. Angin hedonisme dan konsumerisme pun berhembus kencang menerpanya, sehingga ia harus segera mencari pegangan yang kuat sebelum terlambat.

***

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar nasional di lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di Gedung Self Access Centre (SAC) lantai 3. Seminar seputar perpolitikan nasional itu mengundang beberapa narasumber yang semuanya terdiri dari dosen IAIN Sunan Ampel, semuanya adalah akademisi.

Seminar berjalan dengan lancar. Namun tiba-tiba saya merasa gelisah, ada beberapa kata-kata yang dilontarkan narasumber yang terdengar kurang pas. Ini bukan masalah SARA, tapi semata-mata masalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Ya, saya berpikir bahwa narasumber itu kurang bisa (mungkin karena kurang biasa) menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Mengapa saya berpikir demikian, akan saya tunjukkan.

Tuesday, November 13, 2012

Haji dan Kepedulian Sosial

Berhaji sejatinya memenuhi panggilan Tuhan, ajang menyucikan diri dari segala “kotoran” duniawi, membuang ego, dan bertaubat dengan merenungi jati diri sebagai hamba Allah yang lemah. Berhaji merupakan upaya manusia untuk menjadi hamba Allah yang baik, arif, egaliter, yang memberikan manfaat pada manusia dan lingkungan sekitarnya.

Diberitakan, bahwa setiap tahun para calon jamaah haji Indonesia selalu membludak. Bertambah tahun, antrean calon jamaah haji kian memanjang. Bahkan, tidak sedikit orang-orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji sampai dua kali. Pemerintah hampir selalu dibikin kalangkabut oleh proses pemberangkan calon jamaah haji Indonesia yang berjumlah besar. Barangkali, ini adalah kabar baik, yang mengisyaratkan tingginya ghirah orang-orang Indonesia naik haji, dan bahwa akan semakin banyak orang-orang Indonesia yang arif dan menjadi pioner bagi penegakan nilai-nilai kemanusiaan.

Secara bersamaan, kita seringkali dibuat bingung ketika menaburkan pandangan pada masalah-masalah kebangsaan yang sampai detik ini tak kunjung menemui ujung, malah semakin runyam saja. Tampak sangat kontras, bahwa di balik antusiasme orang-orang melakukan ibadah haji, ada masalah-masalah destruktif yang mengancam jiwa-jiwa kemanusiaan. Salah satu contoh konkretnya, korupsi. Korupsi telah melemahkan eksistensi bangsa ini di semua lini. Korupsi telah menjadi akar dari masalah kemiskinan, kelaparan, kekerasan dan keterpurukan bangsa lainnya. Pendek kata, antusiasme berhaji bangsa ini, yang seharusnya melahirkan insan-insan arif, belum berbanding lurus dengan kesejahteraan bangsa yang terkoyak.

Friday, November 2, 2012

Kurban dan Emansipasi Kemanusiaan


Tanggal 10 Dzulhijjah adalah perayaan Hari Raya Idul Adha bagi suluruh umat muslim. Hari raya ini dekenal pula sebagai Hari Raya Kurban. Sebab pada momen tersebut, umat muslim yang mampu dianjurkan untuk berkurban. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat kepada Tuhan-mu dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar/108: 1-2). Demikianlah salah satu ayat yang mengandung anjuran berkurban.

Berkurban yang dimaksud adalah menyembelih binatang kurban sebagai ibadah dan mensyukuri nikmat Allah. Berkurban merupakan usaha manusia untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Sang Pencipta (istilah kurban berasal dari bahasa Arab qaraba, yang artinya dekat. Sementara padanan kata Indonesianya yaitu korban atu pengorbanan). Ibadah kurban bermula dari ketulusan nabi Ibrahim as dahulu dalam menjalankan perintah Allah untuk menyembelih (mengorbankan) putera tercintanya, nabi Ismail as. Meski pada akhirnya Allah mengganti (posisi) nabi Ismail dengan seekor binatang (Ismail tak jadi disembelih) , tapi peristiwa ini telah memperlihatkan kepada kita akan totalitas keimanan seorang hamba kepada Tuhannya. Maka dalam ibadah kurban ada harapan terbentuknya seorang hamba yang benar-benar loyal kepada Tuhannya, sebagaimana nabi Ibrahim.

Adapun pelaksanaan ritual ibadah kurban ini yaitu setelah pelaksanaan salat Idul Adha sampai berkhirnya 3 hari tasyrik. Binatang kurban yang dimaksud yakni binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Selanjutnya daging binatang itu dibagikan kepada kaum fakir-miskin. Perintah ibadah kurban ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kedamaian duniawi sampai ukhrawi.

Friday, August 31, 2012

Tiga Pilihan Sulit dan Imperialisme Eropa



Kekuatan Kristen itu kemudia mencapai puncaknya ketika dua kerajaan Kristen besar bersatu, yakni Aragon dan Castile. Persatuan ini disebabkan oleh perkawinan Ferinand (raja Aragon) dan Isabella (ratu cantik Castile), tahun 1469 M.[1] Kekutan kristen kemudian bisa sedikit demi sedikit mendorong dan mendesak kekuatan Islam ke Selatan, hingga Islam hanya bercokol di Granada sebagai benteng terakhir. Tapi bagaimanapuun, keberadaan Islam di benteng terakhir ini terus terusik, dan takluk pada 1492 pada kekuasaan Ferdinand-Isabella.[2]
Kejayaan Islam Spanyol, sejak awal pembebasannya (futuhat)  pada tahun 711 M sampai masa-masa terakhir Granada, tidak lepas dari bayangan-banyangan kaum Kristen di belahan Utara Spanyol. Pada masa pembebasan Spanyol ini, kekuasaan Kristen yang labil, berhasil diberangus dan Kristen kemudian lari ke Utara Spanyol. Di sanalah kemudian Kristen berbenah, dan kemudian terus mencoba melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kekuasaan Islam Andalusia.

Meski Granada takluk, namun kaum Muslim kota ini tetap dalam perlindungan Ferdinand-Isabella. Namun hal ini tidak berumur lama, karena pengaruh Gereja, kedua penguasa itu kemudian berambisi untuk ‘menghabiskan’ kaum Muslim dari tanah Spanyol, yang puncaknya pada tahun 1499, janji pelindungan bagi kaum Muslim dilanggar dan mereka dihadapkan pada pilihan-pilihat yang sangat sulit: masuk Kristen dengan bersedia dibabtis, hengkang segera dari tanah Spanyol, atau jika keduanya, berarti siap untuk mati.

Tuesday, August 28, 2012

Annales dan Desakralisasi Sejarah; Mengintip Perjalanan Historiografi Islam Indonesia

Semoga judul di atas tidak berlebihan, untuk sekadar menarik simplifikasi penggambaran tentang bagaimanahistoriografi merekam jejakusaha penulisan sejarah Islam Indonesia.

Mengapa Annales? Mazhab ini sangat berpengaruh bagi pembentukan historiografi baru (kontemporer) Indonesia. Tulisan sejarah di tangan Annales terbukti sarat “pemberontakan” terhadap gaya tulisan-tulisan sejarah yang pernah ada, sehingga penulisan sejarah versi mazhab ini dimasukkan dalam historiografi baru. Dengan sedikit memahami Annales, diharapkan sedikit banyak kita bisa merunut dan memahami bagaimana penulisan sejarah lama (tradisional) dibentuk.

***

Sebagaimana mafhum, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri. Dari masa ke masa akan selalu ada konstruksi sejarah yang lebih memadai dan sesuai dengan situasi sebuah generasi atau komunitasnya.[1] Maka tak dapat dipungkiri bahwa bentuk sejarah akan terus berubah dan mengalami pembaruan-pembaruan. Dari sekian perubahan yang ada, agaknya bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejarah tidak lagi arogan dengan hanya menjunjung tinggi orang besar dan peristiwa-peristiwa agung, tetapi mulai merendahkan pundaknya untuk “menggendong” orang-orang kecil pinggiran yang tertindas sekalipun, hingga hal remeh-temeh seputar makanan dan cara berpakaian.

Sunday, August 26, 2012

Sense of Guilty; Mendidik ‘Orang Nakal’

Dalam sebuah organisasi, bagaimanapun kapasitasnya, apakah itu organisasi relawan, ekstra kampus, warung makan, atau perusahaan, ada satu kata kunci yang terkenal belakangan ini yang disebut dengan passion. Apakah passion itu?

Pernahkah Anda melihat orang-orang yang malas-malasan dalam bekerja, baik itu mengerjakan pekerjaan rumah, atau tugas organisasi, dan kenyataan banyaknya para karyawan 'nakal' di sebuah perusahaan, pegawai negeri sipil yang ngelencer saat jam kerja? Itu merupakan suatu fenomena kerja yang tidak memiliki sentuhan dingin dari apa yang saya sebut tadi dengan passion. Ya, passion itu adalah semangat, tntuk bekerja dalam hal apapun, baik itu berupah maupun tidak.

Passion memberikan kenyamanan dan kenikmatan pada seseorang dalam bekerja. Passion mengajarkan seseorang mengerti apa yang seharusnya dikerjakan, signifikansinya, dan mengerti tentang siapa yang akan senang ketika kita mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, dan sebaliknya. Passion adalah kekuatan yang profit dalam suksesi program-program kerja sebuah organisasi. Tanpanya, organisasi akan mandeg, kehilangan taring, dan tidak bisa memberikan kontibusi apapun baik bagi pelaku organisasi itu sendiri maupun orang lain secara luas.

Saturday, August 25, 2012

Pak Polisi, Ajari Kami Menjadi Orang-Orang yang Tertib!

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams… (Eleanor Roosevelt)
http://haukil.files.wordpress.com/2012/06/tawuran-pelajar-dari-httpwww-hai-online-comhai2skulizmstudent-talk1.jpg

Minggu sore, kemarin tanggal 3 Juni 2012, saya sedang menunggu bus di salah satu titik jalan Ahmad Yani Surabaya. Saat itu saya akan menuju Mojokerto menemui salah satu kawan untuk sebuah urusan. Sore Surabaya yang kurang indah, karena selalu ramai oleh mobil-mobil yang mengular karena macet, dan bau solar yang tak sedap.

Bus mini berwarna hijau yang saya tunggu belum jua tiba. Dalam penantian yang agak panjang itu, dengan suasana sekitar yang tidak karuan, tiba-tiba terdengar sorak sorai gerombolan anak-anak yang tiba-tiba menyerbu ke jalan raya yang lumpuh, masuk ke sela-sela mobil, berlarian, dan kejar-mengejar. “Ada apa gerangan?” tanyaku dalam hati.

Anak-anak remaja itu, yang usia mereka berkisar antara 15-20 tahun, dari gayanya ketahuan mereka adalah anak-anak kota. Rupanya, mereka baru saja pulang dari perhelatan konser band yang biasanya dihelat pada tiap Minggu sore di salah satu mall yang tidak jauh dari tempat saya berada saat itu.

Budaya Korupsi vs Budaya Baca

Betapa negeri ini malang, ketika tindakan korupsi telah menjelma kebudayaan yang subur. Korupsi bukan hanya masalah mencuri uang negara, tapi lebih dari itu merampas hak-hak orang banyak. Tidaklah berlebihan jika korupsi dipandang sebagai pelanggaran HAM yang mesti dibasmi.

Pemosisian korupsi sebagai kebudayaan bukan tanpa alasan. Banyak hasil survey membuktikan, korupsi telah meraja lela di negeri ini, mulai di tingkat pemerintah pusat, daerah, sampai ke tingkat kelurahan; mulai dari kota hingga kampung pinggiran; mulai dari tingkat elite hingga level akar rumput. Korupsi telah membudaya, akrab dan lekat dengan masyarakat. Memang tidak semua orang melakukan korupsi, tapi efek yang ditimbulkannya bisa dirasakan bersama.

Selain kemiskinan dan pelanggran HAM, ada satu kenyataan paling ditakuti kaitannya dengan budaya korupsi, yaitu masa depan generasi muda. Mengingat seringnya kasus-kasus kasus korupsi menghiasi head-line media massa baik koran, televisi maupun website, tidak menutup kemungkinan akan mencuci otak generasi muda sehingga mereka cenderung menganggap korupsi sebagai kenyataan yang wajar, atau budaya yang legal. Jika hal ini terjadi, maka semakin kecil harapan bangsa ini untuk segera terbebas dari belenggu budaya korupsi yang rumit.

Telah banyak usaha dijalankan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda kepunahan budaya korupsi. Telah banyak para koruptor diungkap dan dimeja-hijaukan, tapi selau muncul generasi koruptor yang lebih muda dan bersemagat. Gugur satu tumbuh seribu. Korupsi rupanya bukan masalah dangkalnya ilmu yang dimiliki seseorang, melainkan karena kecelakaan mental stadium lanjut.

Mengatasi kebudayaan korupsi, tampaknya kita perlu belajar pada teori-teori mengenai penjajahan atau pergeseran budaya. Sebuah budaya itu akan bergeser dan musnah karena tiga hal: bencana alam, peperangan, dan adanya pengaruh kebudayaan lain. Hal pertama dan kedua jelas tidak sesuai dengan keadaan kita saat ini. Bencana alam sudah sering terjadi, sementara peperangan tak akan pernah terjadi. Maka satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan budaya tandingan yang tak kalah tangguh, dalam hal ini, budaya baca.

Diakui atau tidak, sejauh ini, generasi muda kita belum sampai pada tataran membaca sebagai budaya dan kebutuhan. Hal ini bisa dilihat pada hasil survey Taufik Ismail terhadap anak-anak SMA di beberapa negara mengenai jumlah bacaan buku sastra, yang menempatkan anak-anak Indonesia sebagai generasi 0 buku.

Membaca adalah kegiatan menyerap ide, mengasah imaji dan intuisi, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, dan mencari kebenaran suatu masalah. Membaca tidak cukup hanya dengan mengenal huruf dan angka, tapi dibutuhkan kesabaran dan konsentrasi. Menurut Sindhunata, membaca adalah upaya memetik ide dan pelajaran untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Sementara itu, Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jatim mengatakan, bahwa membaca buku itu mengasah kejujuran, baik kejujuran dalam berpikir maupun bertindak. Membaca buku adalah upaya mencari kebenaran, sebab memang tak ada buku yang ditulis berdasar kebohongan. Untuk hasil yang optimal, kegiatan membaca hendaklah dilanjutkan dengan kegiatan menulis dan diskusi.

Alhasil, membaca akan membuat seseorang menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran.
 
Di negara-negara berperadaban tinggi di dunia, yang minat baca masyarakatnya sangat tinggi, seperti Singapura, Cina, Jepang, Kanada dan lain-lain, nyaris tak ada jalan bagi segala bentuk ketidakjujuran. Kita pun berharap budaya baca akan menggeser dan memunahkan budaya korupsi. Memang tidak mudah jalan ke arah itu, tapi bisa diusahakan dengan keberadaan “keluarga (pecinta) buku” dan pelayanan perpustakaan yang ramah baca. Perpustakaan yang ramah baca tidak hanya berarti bersih dengan sirkulasi udara yang teratur, tapi lebih dari itu, adalah peran pustakawan yang santun, murah senyum dan sapa.

Apakah berarti para koruptor terdidik kita sudah tidak membaca buku? Mungkin mereka masih membaca, tapi sudah lupa bagaimana cara membaca buku yang baik.[]

Thursday, August 16, 2012

A Memoriable Moment...

In Mahesa English Course, "Speaking One", Pare, Kediri.

Buku dan Karir Politik

Tampaknya, buku dan karir politik merupakan dua kubu yang sulit untuk didamaikan. Keduanya berposisi selalu berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Orang yang awalnya suka membaca dan produktif menulis buku, biasanya menjadi mandul ketika ia mulai mengejar karir politik. Kenyataan ini mengacu pada aktivitas kebanyakan—untuk tidak mengatakan semua—politikus kita yang tampak jauh dengan buku.

Tidak sulit bagi kita untuk menunjuk para politikus di negeri ini yang “meninggalkan” buku. Buku bagi mereka telah menjadi sesuatu yang usang dan menghabiskan waktu belaka, politikus lebih sibuk dengan kegiatannya yang rumit di lapangan, bermain intrik dan segala tipu daya yang muaranya adalah menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Dan, kalau perlu korupsi!

Tentu tidak bisa dibenarkan ketika membaca buku dipandang hanya menghabiskan atau menyita waktu. Sebab kegiatan membaca buku tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja di mana saja tergantung bagaimana pribadi masing-masing memanage waktunya. Membaca buku bisa dilakukan di waktu senggang. Sebagaimana setiap orang pasti memiliki waktu senggang, sependek apapun itu, maka tak ada alasan bagi politikus yang paling sibuk sekalipun untuk mengatakan tak punya waktu untuk membaca buku.

Friday, May 4, 2012

The Honesty Misunderstood

This does not mean to break the meaning of honesty and change it with the different one. Indeed, the honesty has esteemed meaning we can not only change, but also have to make as reference. This only wants to straighten out our wrong estimates about meaning of honesty.

The honesty issues  always appear around realization of national exlamation (Indonesian: Ujian Nasional, UN) every year. However government affords to build honesty, it is never built. Every year, it has not been ‘UN with zero deceit’. This shows how bad the morality of our people is.

It is no success reached with deceit. The honesty is the first step to be successful. So, we have to look for ways about how to build honesty effectively. The failures of government effort so far motivate us to think it more and more. We have to get great ways. One of them, according to me, is understanding about the honesty itself. I see that many people have been missunderstanding the honesty’s work.

Monday, April 30, 2012

Potret Buram Perempuan Pinggiran

Diakui atau tidak, perjuangan kesetaraan gender selama ini lebih terasa hasilnya di kota-kota besar, tetapi hampir tidak menyentuh kehidupan perempuan-perempuan di daerah pinggiran. Perempuan kota telah berjibaku dengan masalah publik, sementara perempuan pinggiran masih belum jauh dari dapur, sumur dan kasur. Kenyataan ini menyiratkan adanya ketimpangan dalam perjuangan kesetaraan gender.

Hampir tidak ada perempuan pinggiran yang menjadi pioner bagi perjuangan membela kesejahteraan rakyat. Para wakil rakyat perempuan yang berpartisipasi di parlemen, hampir semuanya dari kalangan perempuan elit yang berasal dari kota metropolitan. Perempuan pinggiran tampak selalu udik, miskin prestasi dan merekalah sebenarnya yang paling banyak mengalami kekerasan, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyaraktnya.

Saturday, April 28, 2012

Membela Mimpi, Melawan Keterbatasan

Bagaimana mungkin seorang anak miskin pedalaman bisa menempuh sekolah di Amerika? Seorang penderita leukimia mendjadi dokter? Orang cacat menjadi sarjana? Bagaiamana bisa orang-orang itu menembus batas? Setelah ditelusuri secara mendalam pada buku ini, ada satu rahasia penting yang menjadi resep ampuh orang-orang istimewa itu: tidak menyerah.

Sebanyak 13 cerita dalam buku ini yang siap menginspirasi para pembacanya; ceirta-cerita dari orang-orang yang didera keterbatasan dalam hidupnya, baik keterbatasah harta, fisik dan lainnya. Inilah buku penggugah jiwa yang mudah kalut karena keterbatasan. Orang-orang istimewa dalam buku ini telah membuktikan bahwa keterbatasan itu adalah tantangan yang harus dilawan, bukan malah diratapi. Keterbatasan bagi mereka bukanlah alasan untuk tidak maju, justru ia merupakan peluang untuk meraih mimpi-mimpi.

Wednesday, April 11, 2012

Membenahi Demonstrasi Kita

Untuk sementara, gelombang demonstrasi antikenaikan harga BBM reda, tapi tidak menutup kemungkinan akan ramai lagi, mengingat penaikan harga BBM masih berstatus tunda. Demonstrasi atau aksi protes pada keputusan penguasa seperti ini tentutlah merupakan sesuatu yang sah, sebab ia adalah bagian dari proses demokrasi kita. Mahasiswa adalah pihak yang paling getol melakukan demonstrasi, sebagai salah satu ekspresi dari peran vitalnya sebagai agent of change.

Demonstrasi ini menyisakan banyak cerita, mulai penundaan kenaikan harga BBM sampai enam bulan ke depan, hingga aksi anarkistis yang mengakibatkan penahanan beberapa mahasiswa di beberapa daerah. Anarkisme yang selalu mewarnai demonstrasi, rupanya telah melahirkan stigma buruk demonstrasi di mata sebagian masyarakat. Demonstrasi kemudian menjadi aksi yang harus dihindari.

Friday, April 6, 2012

Surat dari Ibu

A s r u l  S a n i

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas !
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas !
Selama hari belum petang

dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang kesarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku !

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”

Sunday, April 1, 2012

Universalisme Olahraga

BEBERAPA tahun terakhir, keberadaan olahraga kita masuk dalam fase-fase yang kurang menggembirakan. Daya gedor olahraga negeri ini sangat lemah, kehilangan taringnya, berbeda dengan kisaran tahun 80 sampai 90-an di mana olahraga kita menjadi aset negeri yang bisa dibanggakan.

Ada banyak hal yang menyebabkan keterpurukan olahraga kita, di antaranya, pertama, keadaan ekonomi yang tidak stabil. Keadaan ini terutama terjadi setelah terpaan krisis moneter  menyelimuti negeri ini pada tahun 1999. Akibat krisis itu, harga barang-barang melonjak naik, banyak orang yang kehilangan pekerjaan,  dan angka pengangguran terus membengkak. Krisis ini telah mengubah wajah negeri hampir dalam segala lini, termasuk olahraga. Bisa dilihat setelah itu, betapa dinamika olahraga kita mulai tersendat-sendat.