Diakui atau tidak, perjuangan kesetaraan gender selama ini
lebih terasa hasilnya di kota-kota besar, tetapi hampir tidak menyentuh
kehidupan perempuan-perempuan di daerah pinggiran. Perempuan kota telah berjibaku
dengan masalah publik, sementara perempuan pinggiran masih belum jauh dari
dapur, sumur dan kasur. Kenyataan ini menyiratkan adanya ketimpangan dalam
perjuangan kesetaraan gender.
Hampir tidak ada perempuan pinggiran yang menjadi pioner
bagi perjuangan membela kesejahteraan rakyat. Para wakil rakyat perempuan yang
berpartisipasi di parlemen, hampir semuanya dari kalangan perempuan elit yang
berasal dari kota metropolitan. Perempuan pinggiran tampak selalu udik, miskin
prestasi dan merekalah sebenarnya yang paling banyak mengalami kekerasan, baik
dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyaraktnya.
Saya sebagai orang yang terlahir di daerah pinggiran, di
Madura, sangat akrab dengan pemandangan-pemandangan naif kaum perempuan. Mereka
tampak tidak berdaya membuka jalan bagi masa depan yang cerah. Dari dulu hingga
sekarang, tidak banyak yang berubah dari kehidupan mereka yang tampak
diposisikan sebagai manusia kelas dua setalah laki-laki. Hampir tak ada pemberontakan
kaum perempuan, sebab ‘sistem’ kehidupan pinggiran yang terlalu kuat mengurung
gerak mereka.
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi sebab lemahnya kaum
perempuan di daerah pinggiran. Pertama, budaya patriarkis. Hal ini masih terasa
sangat kuat dalam kehidupan masyarakat pinggiran. Perempuan lebih ditempatkan
sebagai pelayan laki-laki yang selalu setia, mengurus anak-anak, mencuci piring
dan baju, dan segala tugas domestik lainnya. Perempuan belum bisa ikut andil
dalam memutuskan masalah keluarga, apalagi yang bersifat komunal. Kepatuhan perempuan
kepada laki-laki tampak menjadi harga mati yang pantang ditawar.
Kedua, pernikahan dini. Hal ini merupakan salah satu bentuk
ketidakberdayaan kaum perempuan. Pernikahan dini telah banyak memberangus masa
depan cerah kaum perempuan dan mengubur segala harapannya. Menikah berarti
harus siap menjadi seorang ibu, menjadi isteri yang patuh dan terbatas ruang
geraknya. Demikian pula menikah berarti harus meninggalkan kepentingan atau
urusan pribadinya demi suami dan anaknya.
Ketika laki-laki telah berkehendak menikah, maka tak ada
yang bisa dilakukan perempuan selain menerima dan mematuhi perintah orang tua
untuk menikah. Pernikahan dini memandang perempuan sebagai pihak yang bisa
dinikahi kapan saja, tanpa mempertimbangkan kematangan atau kesiapannya. Keadaan
inilah yang sering kali menjadi sebab labilitas dan kekerasan dalam keluarga.
Ketiga, terbatasnya akses pendidikan. Salah satu tujuan
belajar di sekolah adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang mumpuni dan
meningkatkan status sosial. Orang yang pandai akan dihormati dan
pendapat-pendapatnya akan didengarkan. Namun, hampir tak ada kesempatan bagi
perempuan untuk sampai ke tataran meningkatkan status sosial. Sebab upaya ke
arah itu selalu putus di tengah jalan, baik karena masalah pernikahan dini atau
keterbatasan ekonomi. Kaum perempuan di daerah pinggiran selalu dinomorduakan
dalam urusan pendidikan ketimbang laki-laki.
Memang, seiring masifitas laju globalisasi dengan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, beberapa sebab yang melemahkan kaum
perempuan pinggiran di atas sudah sedikit terkikis. Masyarakat pinggiran mulai
mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mengapresiasi peran setiap orang.
Namun, kenyataan ini tak berguna banyak bagi pengangkatan derajat kaum
perempuan, mereka tetap terpuruk sebagai masyarakat kelas dua. Sebab sedikit keterbukaan mata masyarakat
tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan-kemajuan kaum perempuan.
Di sini posisi perempuan pinggiran sungguh sulit, di satu
sisi mereka harus memanfaatkan peluang untuk maju, tapi di sisi lain mereka
belum mampu membentur ‘sistem’ yang melemahkan mereka. Oleh karena itu,
diperlukan adanya gerakan pemberdayaan bagi kaum perempuan pinggiran ini.
Pemberdayaan ini terutama harus menembak bidang pedidikan, sebab di situlah
kunci menyibak tabir kesetaraan hak dan semacamnya antara laki-laki dan
perempuan.
No comments:
Post a Comment