Monday, April 30, 2012

Potret Buram Perempuan Pinggiran

Diakui atau tidak, perjuangan kesetaraan gender selama ini lebih terasa hasilnya di kota-kota besar, tetapi hampir tidak menyentuh kehidupan perempuan-perempuan di daerah pinggiran. Perempuan kota telah berjibaku dengan masalah publik, sementara perempuan pinggiran masih belum jauh dari dapur, sumur dan kasur. Kenyataan ini menyiratkan adanya ketimpangan dalam perjuangan kesetaraan gender.

Hampir tidak ada perempuan pinggiran yang menjadi pioner bagi perjuangan membela kesejahteraan rakyat. Para wakil rakyat perempuan yang berpartisipasi di parlemen, hampir semuanya dari kalangan perempuan elit yang berasal dari kota metropolitan. Perempuan pinggiran tampak selalu udik, miskin prestasi dan merekalah sebenarnya yang paling banyak mengalami kekerasan, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyaraktnya.

Saya sebagai orang yang terlahir di daerah pinggiran, di Madura, sangat akrab dengan pemandangan-pemandangan naif kaum perempuan. Mereka tampak tidak berdaya membuka jalan bagi masa depan yang cerah. Dari dulu hingga sekarang, tidak banyak yang berubah dari kehidupan mereka yang tampak diposisikan sebagai manusia kelas dua setalah laki-laki. Hampir tak ada pemberontakan kaum perempuan, sebab ‘sistem’ kehidupan pinggiran yang terlalu kuat mengurung gerak mereka.

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi sebab lemahnya kaum perempuan di daerah pinggiran. Pertama, budaya patriarkis. Hal ini masih terasa sangat kuat dalam kehidupan masyarakat pinggiran. Perempuan lebih ditempatkan sebagai pelayan laki-laki yang selalu setia, mengurus anak-anak, mencuci piring dan baju, dan segala tugas domestik lainnya. Perempuan belum bisa ikut andil dalam memutuskan masalah keluarga, apalagi yang bersifat komunal. Kepatuhan perempuan kepada laki-laki tampak menjadi harga mati yang pantang ditawar.

Kedua, pernikahan dini. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakberdayaan kaum perempuan. Pernikahan dini telah banyak memberangus masa depan cerah kaum perempuan dan mengubur segala harapannya. Menikah berarti harus siap menjadi seorang ibu, menjadi isteri yang patuh dan terbatas ruang geraknya. Demikian pula menikah berarti harus meninggalkan kepentingan atau urusan pribadinya demi suami dan anaknya.

Ketika laki-laki telah berkehendak menikah, maka tak ada yang bisa dilakukan perempuan selain menerima dan mematuhi perintah orang tua untuk menikah. Pernikahan dini memandang perempuan sebagai pihak yang bisa dinikahi kapan saja, tanpa mempertimbangkan kematangan atau kesiapannya. Keadaan inilah yang sering kali menjadi sebab labilitas dan kekerasan dalam keluarga.

Ketiga, terbatasnya akses pendidikan. Salah satu tujuan belajar di sekolah adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang mumpuni dan meningkatkan status sosial. Orang yang pandai akan dihormati dan pendapat-pendapatnya akan didengarkan. Namun, hampir tak ada kesempatan bagi perempuan untuk sampai ke tataran meningkatkan status sosial. Sebab upaya ke arah itu selalu putus di tengah jalan, baik karena masalah pernikahan dini atau keterbatasan ekonomi. Kaum perempuan di daerah pinggiran selalu dinomorduakan dalam urusan pendidikan ketimbang laki-laki.

Memang, seiring masifitas laju globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, beberapa sebab yang melemahkan kaum perempuan pinggiran di atas sudah sedikit terkikis. Masyarakat pinggiran mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mengapresiasi peran setiap orang. Namun, kenyataan ini tak berguna banyak bagi pengangkatan derajat kaum perempuan, mereka tetap terpuruk sebagai masyarakat kelas dua.  Sebab sedikit keterbukaan mata masyarakat tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan-kemajuan kaum perempuan. 

Di sini posisi perempuan pinggiran sungguh sulit, di satu sisi mereka harus memanfaatkan peluang untuk maju, tapi di sisi lain mereka belum mampu membentur ‘sistem’ yang melemahkan mereka. Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan pemberdayaan bagi kaum perempuan pinggiran ini. Pemberdayaan ini terutama harus menembak bidang pedidikan, sebab di situlah kunci menyibak tabir kesetaraan hak dan semacamnya antara laki-laki dan perempuan.

Demi efektifitas upaya pemberdayaan ini, organisasi-organisasi perempuan perlu digalakkan. Selama ini, organisasi semacam ini kehilangan taringnya dan terkesan elitis-metropolis, dan sulit sekali menyentuh rakyat bawah yang sebenarnya paling membutuhkan.

No comments:

Post a Comment