Tuesday, August 28, 2012

Annales dan Desakralisasi Sejarah; Mengintip Perjalanan Historiografi Islam Indonesia

Semoga judul di atas tidak berlebihan, untuk sekadar menarik simplifikasi penggambaran tentang bagaimanahistoriografi merekam jejakusaha penulisan sejarah Islam Indonesia.

Mengapa Annales? Mazhab ini sangat berpengaruh bagi pembentukan historiografi baru (kontemporer) Indonesia. Tulisan sejarah di tangan Annales terbukti sarat “pemberontakan” terhadap gaya tulisan-tulisan sejarah yang pernah ada, sehingga penulisan sejarah versi mazhab ini dimasukkan dalam historiografi baru. Dengan sedikit memahami Annales, diharapkan sedikit banyak kita bisa merunut dan memahami bagaimana penulisan sejarah lama (tradisional) dibentuk.

***

Sebagaimana mafhum, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri. Dari masa ke masa akan selalu ada konstruksi sejarah yang lebih memadai dan sesuai dengan situasi sebuah generasi atau komunitasnya.[1] Maka tak dapat dipungkiri bahwa bentuk sejarah akan terus berubah dan mengalami pembaruan-pembaruan. Dari sekian perubahan yang ada, agaknya bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejarah tidak lagi arogan dengan hanya menjunjung tinggi orang besar dan peristiwa-peristiwa agung, tetapi mulai merendahkan pundaknya untuk “menggendong” orang-orang kecil pinggiran yang tertindas sekalipun, hingga hal remeh-temeh seputar makanan dan cara berpakaian.


Tidak mudah membuat kesimpulan tersebut, pun memahaminya. Seseorang dituntut untuk membuka rekaman-rekaman historiografis dengan hati-hati. Bagaimanapun, setiap tikungan dalam penulisan sejarah secara otomatis memberi sinyal bagi historiografi. Dan, bagaimanapun penulisan sejarah itu berubah, historiografi tak akan kehilangan akal untuk membungkusnya dalam beberapa bentuk.

Sebagaimana historiografi Indonesia secara umum, sejauh ini historiografi Islam Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga macam bentuk historiografi, yakni historiografi tradisional, konvensional, dan kontemporer. Ketiga bentuk historiografi ini dibedakan terutama oleh ciri-cirinya yang khas yang akan dijelaskan kemudian.

Elitisme Historiografi Tradisional-Konvensional[2]

Seorang raja memang selalu memiliki kharisma. Jika bukan kharisma, barangkali sepak terjang yang menjadi sorotan. Hal tersebut membuat seseorang, dalam hal ini sejarawan, selalu “kepincut” untuk meneliti tentangnya dan lingkungannya.

Memang akan ada beberapa keuntungan jika kita menulis tentang raja. Pertama, akan mudah untuk memperoleh sumber, baik tertulis maupun lisan, sebab raja merupakan figur yang dikenal dan dielu-elukan orang banyak. Kedua, karya sejarah akan “laris”, mengingat ia membicarakan seorang raja yang difigurkan, sehingga akan banyak orang yang mencari informasi dan inspirasi dari sana. Sekali lagi, barangkali.

Beberapa karya sejarah tentang Indonesia, tidak sedikit mengeksplorasi kehidupan para raja dan memoles istananya secara monografis[3](terutama karya-karya yang terbit sebelum 1900-an). Sejarah terasa kaku dan sangat elitis, yang di sini disebut “sakral”. Aspek politik begitu mencolok. Jarang, bahkan hampir tak ada, sejarah ditulis untuk kehidupan rakyat pinggiran, apalagi mereka yang tertindas. Dalam kaitannya dengan hal ini, sangat cocok kiranya ungkapan “sejarah milik penguasa”. Selain itu, mitos-mitos juga berseliweran di sana-sini. Kepercayaan animisme begitu diumbar, melingkupi kehidupan para raja sebagaimana dahulu.[4]

Sebagaimana kehidupan zaman raja, aspek keturunan merupakan sesuatu yang berharga dan harus di banggakan. Garis keturunan adalah darah dan harga diri, ia menunjukkan kewibawaan seseorang. Orang-orang terbiasa menghafal garis keturunannya. Sejarah yang menulis pun bisa ditebak, tak melewatkan hal tersebut. Aspek genealogi sangat dipertimbangkan.

Demikianlah, penulisan sejarah yang hanya membicarakan raja dan istananya, sejarah politik, kuat dalam merunut genealogi (keturunan), mengakomodir mitos, dan cenderung deskriptif-naratif dari pada deskriptif-analisis, dalam kancah historiografi Indonesia, dan terikat periodisasi, penulisan sejarah yang demikian dimasukkan dalam kategori tradisional.Taruhlah karya H.J. de Graaf mengenai sejarah politik Mataram.

Selanjutnya, tanpaknya, historiografi tradisional telah tampilsebagai, atau paling tidak berpengaruh pada, historiografi yang konvensional. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kesamaan cirinya, di antaranya, memusatkan perhatian pada hal-hal yang besar dan penting yang dipandang serjarawan menentukan perjalanan sejarah secara keseluruhan. Historiografi ini cirinya juga elitis, dan yang hanya memberikan narasi pada raja-jara, pengusaha, bangsawan dan orang-orang besar lainnya dalam masyarakat. Hal tersebut, oleh sejarawan Prancis disebut l’histoiré evenementielle atau sejarah orang-orang individu.[5]

Sejarah Baru: Merintis Jalan “Desakralisasi”

Sebagaimana tampak dalam bentuk historiografi sebelumnya, sejarah tampak elitis dan “tidak ramah” pada masyarakat kecil. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang saat ini, historiografi kontemporer, sejarah mulai “humanis” dan membukan hati untuk mereka orang-orang yang—meminjam bahasanya Taufik Abdullah—“diam”.[6]

Lebih jauh, sejarah baru ini pada dasarnya dipandang dan dipahami sebagai sejarah sosial, yang oleh Sartono Kartodirdjo didefinisikan sebagai sejarah mengenai “gerakan-gerakan sosial” (social movements), yang cenderung marginal dan menyempal dari arus utama tatanan sosial politik yang mapan. Atau dalam pengertian lama, sebagaimana dinyatakan Hobsbawn, sejarah sosial adalah sejarah gerakan orang-orang miskin atau masyarakat kelas bawah. Tapi pada perkembangan selanjutnya, sejarah sosial mengacu pada sejumlah aktivitas manusia yang sangat luas sehingga sulit diklasifikasikan, meliputi kebiasaan (manner), adat-istiadat (customs), dan kehidupan sehari-hari (everyday life).[7]

Di sini bisa ditunjuk beberapa karya sejarah dalam historiografi Indonesia kontemporer, terutama yang terkenal yaitu Le Carrefour Javanais: Essai d’ histoire globale(1990) karya Denys Lombard; Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680, karya Anthony Reid yang diterbitkan dua jilid itu The Lands below theWinds (1998), dan Expansion and Crisis (1993).

Berbica sejarah sosial dan historiografi kontemporer Indonesia, tak bisa serta merta memisahkannya dari tradisi sejarah mazhab Annales. Apa lagi, kita tadi terlanjur menyebut Denys Lombard dan Anthony Reid, yang keduanya notabene adalah pengikut mazhab sejarah dari Perancis tersebut.

Mazhab Annales merupakan suatu kelompok yang menekuni sejarah dengan metodologi yang berbeda. Sebuah “mazhab” yang diprakarsai oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch[8] ini dikenal dengan pendekatan “sejarah total”-nya. Dalam pemahaman sejarah total, sebagaimana dikatakan Bloch (1954),
Sejarah merupakan “ilmu” yang bertujuan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi struktural yang tersembunyi dan dalam, menyibakkan mekanisme-mekanisme historis yang terdapat dalam struktur-struktur geografis, ekonomi dan kultural.[9]
 Sejarah total adalah sejarah tentang seluruh aspek kehidupan masyarakat; tidak hanya berkisar pada bidang-bidang yang baisanya dianggap paling penting, khususnya politik.  Dengan demikian, sejarah tak hanya bersifat monografis, tapi luas cakupannya, termasuk cara berpakaian, meyajikan makanan, dan seluk-beluk keseharian manusia.

Keadaan ini jelas merupakan “pemberontakan” terhadap penulisan sejarah tradisional atau konvensional yang elitis yang lebih senang berbicara seorang raja dari pada kehidupan rakyat biasa. Sejarah telah keluar dari kekakuannya menjadi lebih asyik dan terasa nendang.  Sejarah yang pada awalnya diposisikan “sakral”, berusaha dimentahkan oleh sejarah total. Namun, keadaan ini nanti yang melahirkan kritik bahwa sejarah total-nya Annales tidak memiliki ke-khas-an.

Selain itu, Annales memiliki kecenderungan intelektual pada struktulasime Lèvi-Strauss, yang pada intinya berargumen bahwa terdapat struktur yang tidak disadari, sistemik dan tidak berubah, yang mendasari setiap jenis institusi dan adat kebiasaan manusia. Tetapi salah satu kelemahan pendekatan ini, sebagaimana dilontarkan banyak pengkritiknya, adalah terabaikannya perubahan-perubahan yang terkadang amat tajam dan signifikan dalam perjalanan sejarah.  Pendekatan ini  cenderung memandang bahwa kontinuitas itu akan bertahan dalam waktu yang lama.Terlepas dari kelemahan yang ada, paka sejarawan mengakui bahwa pendekatan yang ditawarkan Annales dengan sejarah totalnya sungguh menarik dan menantang.

Jadi, historiografi kontemporer (termasuk di dalamnya sejarah Islam), membidik kuat kehidupan sosial, lebih menekankan objektivias dan rasionalitas, membicarakan segala lini kehidupan (total), senderung mengabaikan sejarah politik, tidak terikat periodisasi, dan tentang sejarah mentalitas.

Penutup

Akhirnya, sejarah tidak hanya milik penguasa, tapi ia pun menjangkau hal-hal sederhana yang sebelumnya dianggap tidak penting, seperti halnya masakan dan cara berpakaian. Kenyataan tersebut dibangun dengan susah payah oleh sarjana Prancis terutama dari kelompok Mazhab Annales yang menawarkan pendekatan “sejarah total”. Sejarah tidaklah sakral dan parsial, melainkan ia berjalan sesuai dengan dinamika kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara historiografi Islam kontemporer dengan historiografi Islam tradisional-konvensional adalah terletak pada sisi elitis-tidaknya penulisan sejarah. Jika yang pertama (kontemporer) menjangkau “orang yang diam”,  maka yang kedua adalah sejarah orang besar adan elitis.Wallahu a’lam.***

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik. “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Azra, Azyumardi, “Historiografi Kontemporer Indonesia”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, 1999.
_____________.Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosydakarya, 1999.
Katodijdjo, Sartono, “Kata Pengantar” dalam Deniys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, École Française d’Etrême-Orient, 2005.
Milner, A.C., “Islam dan Martabat Raja Melayu”, dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Eds.: Ahmad Ibrahim dkk. Jakata: LP3ES, 1989.
____________, “Islam dan Negara Muslim:, dalam Perspeksit Islam di Asia Tenggara, Ed.: Azyumardi Azra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

FOOTNOTES




[1] Baik jiwa zaman maupun ikatan kebudayaannya menuntuk untuk dilakukannya rekonstruksi sejarah komunitasnya yang lebih memadai dan sesuai dengan kondisi generasinya. Lihat “Kata Pengantar” Sartono Kartodirdjo, dalam Deniys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, École Française d’Etrême-Orient, 2005), hlm. xi.
[2] Penghubungan antara historiografi tradisonal dan konvensional ini disebabkan penulis kurang bisa menarik garis yang jelas mengenai perbedaan keduanya.
[3] Tuntaskan pada Taufik Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, (Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 53.
[4] Dua karya Milner tampaknya pas untuk menggambarkan kenyataan tersebut. Lihat A.C. Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu”, dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Eds.: Ahmad Ibrahim dkk., (Jakata: LP3ES, 1989), hlm. 48-71; “Islam dan Negara Muslim:, dalam Perspeksit Islam di Asia Tenggara, Ed.: Azyumardi Azra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 145-180.
[5]Lacak pada Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosydakarya, 1999), hlm. 52.
[6]Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, hlm. 55.
[7]Priksa Azyumardi Azra, “Historiografi Kontemporer Indonesia”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, (Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 65. Lebih jauh Taufik Abdullah menunjukkan pembagian penulsan sejarah sosial ke dalam tiga hal: tentang perubahan sosial, sejarah agraris dan sejarah ‘orang diam’. Tuntaskan pada Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, hlm. 55.
[8]Nama “Annales” berasal dari sebuah nama majalah yang diterbitkan oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch pada tahun 1929. Dengan Majalah Annales, mereka ingin dinding-dinding yang membatas sejarah dari kajian sosial dan ekonomi, bukan dengan teori yang serba meninggi, tetapi dengan “fakta dan contoh”. Lihat Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, hlm. 56.
[9]Penulis kutip lewat Azra, “Historiografi Kontemporer Indonesia”, hlm. 70.

No comments:

Post a Comment