Semoga judul di atas tidak
berlebihan, untuk sekadar menarik simplifikasi penggambaran tentang bagaimanahistoriografi
merekam jejakusaha penulisan sejarah Islam Indonesia.
Mengapa Annales? Mazhab ini sangat
berpengaruh bagi pembentukan historiografi baru (kontemporer) Indonesia.
Tulisan sejarah di tangan Annales terbukti sarat “pemberontakan” terhadap gaya
tulisan-tulisan sejarah yang pernah ada, sehingga penulisan sejarah versi
mazhab ini dimasukkan dalam historiografi baru. Dengan sedikit memahami
Annales, diharapkan sedikit banyak kita bisa merunut dan memahami bagaimana
penulisan sejarah lama (tradisional) dibentuk.
***
Sebagaimana mafhum, setiap generasi
menulis sejarahnya sendiri. Dari masa ke masa akan selalu ada konstruksi
sejarah yang lebih memadai dan sesuai dengan situasi sebuah generasi atau
komunitasnya.[1]
Maka tak dapat dipungkiri bahwa bentuk sejarah akan terus berubah dan mengalami
pembaruan-pembaruan. Dari sekian perubahan yang ada, agaknya bisa ditarik
sebuah kesimpulan bahwa sejarah tidak lagi arogan dengan hanya menjunjung tinggi
orang besar dan peristiwa-peristiwa agung, tetapi mulai merendahkan pundaknya
untuk “menggendong” orang-orang kecil pinggiran yang tertindas sekalipun,
hingga hal remeh-temeh seputar makanan dan cara berpakaian.
Tidak mudah membuat kesimpulan
tersebut, pun memahaminya. Seseorang dituntut untuk membuka rekaman-rekaman
historiografis dengan hati-hati. Bagaimanapun, setiap tikungan dalam penulisan
sejarah secara otomatis memberi sinyal bagi historiografi. Dan, bagaimanapun
penulisan sejarah itu berubah, historiografi tak akan kehilangan akal untuk
membungkusnya dalam beberapa bentuk.
Sebagaimana historiografi Indonesia
secara umum, sejauh ini historiografi Islam Indonesia dapat dibagi ke dalam
tiga macam bentuk historiografi, yakni historiografi tradisional, konvensional,
dan kontemporer. Ketiga bentuk historiografi ini dibedakan terutama oleh
ciri-cirinya yang khas yang akan dijelaskan kemudian.
Elitisme
Historiografi Tradisional-Konvensional[2]
Seorang raja memang selalu memiliki
kharisma. Jika bukan kharisma, barangkali sepak terjang yang menjadi sorotan.
Hal tersebut membuat seseorang, dalam hal ini sejarawan, selalu “kepincut”
untuk meneliti tentangnya dan lingkungannya.
Memang akan ada beberapa keuntungan
jika kita menulis tentang raja. Pertama, akan mudah untuk memperoleh sumber,
baik tertulis maupun lisan, sebab raja merupakan figur yang dikenal dan
dielu-elukan orang banyak. Kedua, karya sejarah akan “laris”, mengingat ia
membicarakan seorang raja yang difigurkan, sehingga akan banyak orang yang
mencari informasi dan inspirasi dari sana. Sekali lagi, barangkali.
Beberapa karya sejarah tentang
Indonesia, tidak sedikit mengeksplorasi kehidupan para raja dan memoles istananya
secara monografis[3](terutama
karya-karya yang terbit sebelum 1900-an). Sejarah terasa kaku dan sangat elitis,
yang di sini disebut “sakral”. Aspek politik begitu mencolok. Jarang, bahkan hampir
tak ada, sejarah ditulis untuk kehidupan rakyat pinggiran, apalagi mereka yang
tertindas. Dalam kaitannya dengan hal ini, sangat cocok kiranya ungkapan
“sejarah milik penguasa”. Selain itu, mitos-mitos juga berseliweran di
sana-sini. Kepercayaan animisme begitu diumbar, melingkupi kehidupan para raja
sebagaimana dahulu.[4]
Sebagaimana kehidupan zaman raja,
aspek keturunan merupakan sesuatu yang berharga dan harus di banggakan. Garis
keturunan adalah darah dan harga diri, ia menunjukkan kewibawaan seseorang.
Orang-orang terbiasa menghafal garis keturunannya. Sejarah yang menulis pun
bisa ditebak, tak melewatkan hal tersebut. Aspek genealogi sangat
dipertimbangkan.
Demikianlah, penulisan sejarah yang
hanya membicarakan raja dan istananya, sejarah politik, kuat dalam merunut
genealogi (keturunan), mengakomodir mitos, dan cenderung deskriptif-naratif
dari pada deskriptif-analisis, dalam kancah historiografi Indonesia, dan
terikat periodisasi, penulisan sejarah yang demikian dimasukkan dalam kategori
tradisional.Taruhlah karya H.J. de Graaf mengenai sejarah politik Mataram.
Selanjutnya, tanpaknya,
historiografi tradisional telah tampilsebagai, atau paling tidak berpengaruh
pada, historiografi yang konvensional. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa
kesamaan cirinya, di antaranya, memusatkan perhatian pada hal-hal yang besar
dan penting yang dipandang serjarawan menentukan perjalanan sejarah secara
keseluruhan. Historiografi ini cirinya juga elitis, dan yang hanya memberikan
narasi pada raja-jara, pengusaha, bangsawan dan orang-orang besar lainnya dalam
masyarakat. Hal tersebut, oleh sejarawan Prancis disebut l’histoiré evenementielle atau sejarah orang-orang individu.[5]
Sejarah
Baru: Merintis Jalan “Desakralisasi”
Sebagaimana tampak dalam bentuk
historiografi sebelumnya, sejarah tampak elitis dan “tidak ramah” pada
masyarakat kecil. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang saat ini,
historiografi kontemporer, sejarah mulai “humanis” dan membukan hati untuk
mereka orang-orang yang—meminjam bahasanya Taufik Abdullah—“diam”.[6]
Lebih jauh, sejarah baru ini pada
dasarnya dipandang dan dipahami sebagai sejarah sosial, yang oleh Sartono
Kartodirdjo didefinisikan sebagai sejarah mengenai “gerakan-gerakan sosial” (social movements), yang cenderung
marginal dan menyempal dari arus utama tatanan sosial politik yang mapan. Atau
dalam pengertian lama, sebagaimana dinyatakan Hobsbawn, sejarah sosial adalah
sejarah gerakan orang-orang miskin atau masyarakat kelas bawah. Tapi pada
perkembangan selanjutnya, sejarah sosial mengacu pada sejumlah aktivitas
manusia yang sangat luas sehingga sulit diklasifikasikan, meliputi kebiasaan (manner), adat-istiadat (customs), dan kehidupan sehari-hari (everyday life).[7]
Di sini bisa ditunjuk beberapa
karya sejarah dalam historiografi Indonesia kontemporer, terutama yang terkenal
yaitu Le Carrefour Javanais: Essai d’
histoire globale(1990) karya Denys Lombard; Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680, karya Anthony Reid
yang diterbitkan dua jilid itu The Lands
below theWinds (1998), dan Expansion
and Crisis (1993).
Berbica sejarah sosial dan
historiografi kontemporer Indonesia, tak bisa serta merta memisahkannya dari
tradisi sejarah mazhab Annales. Apa lagi, kita tadi terlanjur menyebut Denys
Lombard dan Anthony Reid, yang keduanya notabene adalah pengikut mazhab sejarah
dari Perancis tersebut.
Mazhab Annales merupakan suatu
kelompok yang menekuni sejarah dengan metodologi yang berbeda. Sebuah “mazhab”
yang diprakarsai oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch[8]
ini dikenal dengan pendekatan “sejarah total”-nya. Dalam pemahaman sejarah
total, sebagaimana dikatakan Bloch (1954),
Sejarah merupakan “ilmu” yang bertujuan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi struktural yang tersembunyi dan dalam, menyibakkan mekanisme-mekanisme historis yang terdapat dalam struktur-struktur geografis, ekonomi dan kultural.[9]
Sejarah total adalah sejarah
tentang seluruh aspek kehidupan masyarakat; tidak hanya berkisar pada
bidang-bidang yang baisanya dianggap paling penting, khususnya politik. Dengan demikian, sejarah tak hanya bersifat
monografis, tapi luas cakupannya, termasuk cara berpakaian, meyajikan makanan,
dan seluk-beluk keseharian manusia.
Keadaan ini jelas merupakan
“pemberontakan” terhadap penulisan sejarah tradisional atau konvensional yang
elitis yang lebih senang berbicara seorang raja dari pada kehidupan rakyat
biasa. Sejarah telah keluar dari kekakuannya menjadi lebih asyik dan terasa
nendang. Sejarah yang pada awalnya
diposisikan “sakral”, berusaha dimentahkan oleh sejarah total. Namun, keadaan
ini nanti yang melahirkan kritik bahwa sejarah total-nya Annales tidak memiliki
ke-khas-an.
Selain itu, Annales memiliki
kecenderungan intelektual pada struktulasime Lèvi-Strauss, yang pada intinya
berargumen bahwa terdapat struktur yang tidak disadari, sistemik dan tidak
berubah, yang mendasari setiap jenis institusi dan adat kebiasaan manusia.
Tetapi salah satu kelemahan pendekatan ini, sebagaimana dilontarkan banyak
pengkritiknya, adalah terabaikannya perubahan-perubahan yang terkadang amat
tajam dan signifikan dalam perjalanan sejarah.
Pendekatan ini cenderung memandang
bahwa kontinuitas itu akan bertahan dalam waktu yang lama.Terlepas dari
kelemahan yang ada, paka sejarawan mengakui bahwa pendekatan yang ditawarkan
Annales dengan sejarah totalnya sungguh menarik dan menantang.
Jadi, historiografi kontemporer
(termasuk di dalamnya sejarah Islam), membidik kuat kehidupan sosial, lebih
menekankan objektivias dan rasionalitas, membicarakan segala lini kehidupan
(total), senderung mengabaikan sejarah politik, tidak terikat periodisasi, dan tentang
sejarah mentalitas.
Penutup
Akhirnya, sejarah tidak hanya milik
penguasa, tapi ia pun menjangkau hal-hal sederhana yang sebelumnya dianggap
tidak penting, seperti halnya masakan dan cara berpakaian. Kenyataan tersebut
dibangun dengan susah payah oleh sarjana Prancis terutama dari kelompok Mazhab
Annales yang menawarkan pendekatan “sejarah total”. Sejarah tidaklah sakral dan
parsial, melainkan ia berjalan sesuai dengan dinamika kehidupan manusia.
Perbedaan yang paling mendasar antara historiografi Islam kontemporer dengan
historiografi Islam tradisional-konvensional adalah terletak pada sisi
elitis-tidaknya penulisan sejarah. Jika yang pertama (kontemporer) menjangkau
“orang yang diam”, maka yang kedua
adalah sejarah orang besar adan elitis.Wallahu
a’lam.***
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,Taufik.
“Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.
Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta:
Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Azra, Azyumardi,
“Historiografi Kontemporer Indonesia”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed:
Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: Ecole Francaise
d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor
Indonesia, 1999.
_____________.Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosydakarya, 1999.
Katodijdjo,
Sartono, “Kata Pengantar” dalam Deniys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum
Jakarta-Paris, École Française d’Etrême-Orient, 2005.
Milner, A.C., “Islam
dan Martabat Raja Melayu”, dalam Islam di
Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Eds.: Ahmad Ibrahim dkk. Jakata: LP3ES,
1989.
____________, “Islam
dan Negara Muslim:, dalam Perspeksit
Islam di Asia Tenggara, Ed.: Azyumardi Azra. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989.
FOOTNOTES |
[1] Baik jiwa zaman
maupun ikatan kebudayaannya menuntuk untuk dilakukannya rekonstruksi sejarah
komunitasnya yang lebih memadai dan sesuai dengan kondisi generasinya. Lihat “Kata
Pengantar” Sartono Kartodirdjo, dalam Deniys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum
Jakarta-Paris, École Française d’Etrême-Orient, 2005), hlm. xi.
[2] Penghubungan antara
historiografi tradisonal dan konvensional ini disebabkan penulis kurang bisa
menarik garis yang jelas mengenai perbedaan keduanya.
[3] Tuntaskan pada Taufik
Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.
Dr. Denys Lombard, Ed: Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary,
(Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
dan Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 53.
[4] Dua karya Milner
tampaknya pas untuk menggambarkan kenyataan tersebut. Lihat A.C. Milner, “Islam
dan Martabat Raja Melayu”, dalam Islam di
Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Eds.: Ahmad Ibrahim dkk., (Jakata:
LP3ES, 1989), hlm. 48-71; “Islam dan Negara Muslim:, dalam Perspeksit Islam di Asia Tenggara, Ed.: Azyumardi Azra, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 145-180.
[5]Lacak pada Azyumardi Azra,
Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosydakarya, 1999), hlm. 52.
[6]Abdullah, “Lombard,
Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, hlm. 55.
[7]Priksa Azyumardi Azra,
“Historiografi Kontemporer Indonesia”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ed:
Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, (Jakarta: Ecole Francaise
d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor
Indonesia, 1999), hlm. 65. Lebih jauh Taufik Abdullah menunjukkan pembagian
penulsan sejarah sosial ke dalam tiga hal: tentang perubahan sosial, sejarah
agraris dan sejarah ‘orang diam’. Tuntaskan pada Abdullah, “Lombard, Mazhab
Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa”, hlm. 55.
[8]Nama “Annales” berasal
dari sebuah nama majalah yang diterbitkan oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch
pada tahun 1929. Dengan Majalah Annales,
mereka ingin dinding-dinding yang membatas sejarah dari kajian sosial dan
ekonomi, bukan dengan teori yang serba meninggi, tetapi dengan “fakta dan
contoh”. Lihat Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa
Jawa”, hlm. 56.
[9]Penulis kutip lewat Azra,
“Historiografi Kontemporer Indonesia”, hlm. 70.
No comments:
Post a Comment