Thursday, August 16, 2012

Buku dan Karir Politik

Tampaknya, buku dan karir politik merupakan dua kubu yang sulit untuk didamaikan. Keduanya berposisi selalu berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Orang yang awalnya suka membaca dan produktif menulis buku, biasanya menjadi mandul ketika ia mulai mengejar karir politik. Kenyataan ini mengacu pada aktivitas kebanyakan—untuk tidak mengatakan semua—politikus kita yang tampak jauh dengan buku.

Tidak sulit bagi kita untuk menunjuk para politikus di negeri ini yang “meninggalkan” buku. Buku bagi mereka telah menjadi sesuatu yang usang dan menghabiskan waktu belaka, politikus lebih sibuk dengan kegiatannya yang rumit di lapangan, bermain intrik dan segala tipu daya yang muaranya adalah menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Dan, kalau perlu korupsi!

Tentu tidak bisa dibenarkan ketika membaca buku dipandang hanya menghabiskan atau menyita waktu. Sebab kegiatan membaca buku tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja di mana saja tergantung bagaimana pribadi masing-masing memanage waktunya. Membaca buku bisa dilakukan di waktu senggang. Sebagaimana setiap orang pasti memiliki waktu senggang, sependek apapun itu, maka tak ada alasan bagi politikus yang paling sibuk sekalipun untuk mengatakan tak punya waktu untuk membaca buku.


Menurut hemat penulis, ketika kita jauh dari buku, maka saat itu adalah saat rentan bagi aktivitas kehidupan kita. Keadaan tersebut mudah memancing tindakan-tindakan jelek, kotor dan asusila. Saat itu berarti kita jauh dari sentuhan ilmu pengetahuan, yang mengajarkan kearifan, kebijaksanaan dan upaya-upaya membebaskan diri dari keterbelengguan hidup yang menekan.
Sejauh ini bisa dilihat bagaimana sepak terjang para politikus kita yang notabene jauh dari buku, terutama mereka yang duduk di kursi wakil rakyat (DPR). Dari mereka, hampir kita tidak pernah mendengar kabar yang menyejukkan hati, yang ada malah menyesakkan dada. Tindakan koruptif, menipu rakyat, culas dan sikap “semau-maunya” mereka pertontonkan secara terang-terangan pada rakyat. Mereka tidak bisa menjadi wakil rakyat yang baik, yang menyambung aspirasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyat negeri ini yang tengah gamang dalam merambah masa depannya.

Hal tersebut tak lepas dari kenyataan para politikus yang melulu sibuk berpolitik, bermain intrik, melakukan tipu daya, gontok-gontokan satu sama lain yang keadaan ini kemudian membentuk kepribadian mereka yang cenderung tidak jujur dan culas. Tak ada sesuatu yang bisa menyeterilkan keadaan tersebut. Bagi mereka, kebenaran adalah apa yang mereka lakukan, tidak ada kompromi bagi setiap apa yang menghalangi kepentingan mereka dan kelompoknya.

Buku seharusnya menjadi sesuatu yang penting di sini. Buku bisa memberikan pijakan konsep tentang suatu problem, memberikan pencerahan dan jalan keluar. Anjuran membaca buku yang dilakukan oleh hampir semua kalangan bukan untuk hal lain kecuali agar seseorang berdaya saing, berorientasi ke depan, mumpuni secara keilmuan, berpikir cerdas, kredibel dan berintegritas.

Untuk saat ini dan ke depan, wakil rakyat kita memang harus banyak belajar untuk meningkatkan kompetensinya. Namun, belajar dimaksud tak harus berupa kunjungan kerja ke luar negeri yang menghabiskan banyak uang rakyat. Belajar, salah satunya, bisa lewat kerajinan membaca buku.

Menjinakkan Korupsi

Buku bisa menjadi rujukan bagi setiap usaha dan jalan keluar bagi setiap problema. Buku secara sabar mengajarkan seseorang bagaimana harus bertindak, menerangkan yang etis dan tidak. Pertanyaan yang penting diajukan, mungkinkah kegiatan membaca buku bisa memberantas atau paling tidak menjinakkan perilaku koruptif?

Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jawa Timur, pada satu kesempatan pernah berujar, bahwa kegiatan membaca buku itu tak ubahnya upaya membiasakan kejujuran. Sebab, tak ada seorang pembaca buku yang bertujuan mencari kebohongan, dan tak ada penulis buku yang menulis tentang kebohongan. Semuanya harus bisa dipertanggung jawabkan secara akademik, dan harus dkritisi sedemikian rupa. Meskipun ada setitik kebohongan, hal itu sulit untuk tidak diketahui.

Dari sini kemudian jelas bahwa kegiatan membaca buku itu bisa menjadi upaya membiasakan diri untuk jujur. Membaca buku berarti kita mencari kebenaran akan sesuatu. Kita masih bisa terus bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Perbedaan keduanya tidaklah kabur.

Lebih jauh, kegiatan membaca buku sebenarnya juga menjadi upaya perbaikan mental yang sakit. Termasuk dalam hal ini mental tidak jujur. Buku bisa mempengaruhi bahkan mengubah pribadi seseorang. Kita tentu masih ingat dengan cerita Levi-Strauss yang mengaku diubah oleh buku yang dibelinya di pasar loak.

Alhasil, membaca akan membuat seseorang menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran. Andai saja, para politikus kita rajin membaca buku….***

No comments:

Post a Comment