Tampaknya, buku dan karir politik merupakan
dua kubu yang sulit untuk didamaikan. Keduanya berposisi selalu
berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Orang yang
awalnya suka membaca dan produktif menulis buku, biasanya menjadi mandul
ketika ia mulai mengejar karir politik. Kenyataan ini mengacu pada
aktivitas kebanyakan—untuk tidak mengatakan semua—politikus kita yang
tampak jauh dengan buku.
Tidak sulit bagi kita untuk menunjuk para
politikus di negeri ini yang “meninggalkan” buku. Buku bagi mereka telah
menjadi sesuatu yang usang dan menghabiskan waktu belaka, politikus
lebih sibuk dengan kegiatannya yang rumit di lapangan, bermain intrik
dan segala tipu daya yang muaranya adalah menghasilkan uang
sebanyak-banyaknya. Dan, kalau perlu korupsi!
Tentu tidak bisa dibenarkan ketika membaca
buku dipandang hanya menghabiskan atau menyita waktu. Sebab kegiatan
membaca buku tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja di mana
saja tergantung bagaimana pribadi masing-masing memanage waktunya.
Membaca buku bisa dilakukan di waktu senggang. Sebagaimana setiap orang
pasti memiliki waktu senggang, sependek apapun itu, maka tak ada alasan
bagi politikus yang paling sibuk sekalipun untuk mengatakan tak punya
waktu untuk membaca buku.
Menurut hemat penulis, ketika kita jauh dari
buku, maka saat itu adalah saat rentan bagi aktivitas kehidupan kita.
Keadaan tersebut mudah memancing tindakan-tindakan jelek, kotor dan
asusila. Saat itu berarti kita jauh dari sentuhan ilmu pengetahuan, yang
mengajarkan kearifan, kebijaksanaan dan upaya-upaya membebaskan diri
dari keterbelengguan hidup yang menekan.
Sejauh ini bisa dilihat bagaimana sepak
terjang para politikus kita yang notabene jauh dari buku, terutama
mereka yang duduk di kursi wakil rakyat (DPR). Dari mereka, hampir kita
tidak pernah mendengar kabar yang menyejukkan hati, yang ada malah
menyesakkan dada. Tindakan koruptif, menipu rakyat, culas dan sikap
“semau-maunya” mereka pertontonkan secara terang-terangan pada rakyat.
Mereka tidak bisa menjadi wakil rakyat yang baik, yang menyambung
aspirasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyat negeri ini yang tengah
gamang dalam merambah masa depannya.
Hal tersebut tak lepas dari kenyataan para
politikus yang melulu sibuk berpolitik, bermain intrik, melakukan tipu
daya, gontok-gontokan satu sama lain yang keadaan ini kemudian membentuk
kepribadian mereka yang cenderung tidak jujur dan culas. Tak ada
sesuatu yang bisa menyeterilkan keadaan tersebut. Bagi mereka, kebenaran
adalah apa yang mereka lakukan, tidak ada kompromi bagi setiap apa yang
menghalangi kepentingan mereka dan kelompoknya.
Buku seharusnya menjadi sesuatu yang penting
di sini. Buku bisa memberikan pijakan konsep tentang suatu problem,
memberikan pencerahan dan jalan keluar. Anjuran membaca buku yang
dilakukan oleh hampir semua kalangan bukan untuk hal lain kecuali agar
seseorang berdaya saing, berorientasi ke depan, mumpuni secara keilmuan,
berpikir cerdas, kredibel dan berintegritas.
Untuk saat ini dan ke depan, wakil rakyat
kita memang harus banyak belajar untuk meningkatkan kompetensinya.
Namun, belajar dimaksud tak harus berupa kunjungan kerja ke luar negeri
yang menghabiskan banyak uang rakyat. Belajar, salah satunya, bisa lewat
kerajinan membaca buku.
Menjinakkan Korupsi
Buku bisa menjadi rujukan bagi setiap usaha
dan jalan keluar bagi setiap problema. Buku secara sabar mengajarkan
seseorang bagaimana harus bertindak, menerangkan yang etis dan tidak.
Pertanyaan yang penting diajukan, mungkinkah kegiatan membaca buku bisa
memberantas atau paling tidak menjinakkan perilaku koruptif?
Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jawa
Timur, pada satu kesempatan pernah berujar, bahwa kegiatan membaca buku
itu tak ubahnya upaya membiasakan kejujuran. Sebab, tak ada seorang
pembaca buku yang bertujuan mencari kebohongan, dan tak ada penulis buku
yang menulis tentang kebohongan. Semuanya harus bisa dipertanggung
jawabkan secara akademik, dan harus dkritisi sedemikian rupa. Meskipun
ada setitik kebohongan, hal itu sulit untuk tidak diketahui.
Dari sini kemudian jelas bahwa kegiatan
membaca buku itu bisa menjadi upaya membiasakan diri untuk jujur.
Membaca buku berarti kita mencari kebenaran akan sesuatu. Kita masih
bisa terus bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Perbedaan
keduanya tidaklah kabur.
Lebih jauh, kegiatan membaca buku sebenarnya
juga menjadi upaya perbaikan mental yang sakit. Termasuk dalam hal ini
mental tidak jujur. Buku bisa mempengaruhi bahkan mengubah pribadi
seseorang. Kita tentu masih ingat dengan cerita Levi-Strauss yang
mengaku diubah oleh buku yang dibelinya di pasar loak.
Alhasil, membaca akan membuat seseorang
menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang
pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi
tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku
memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran. Andai saja,
para politikus kita rajin membaca buku….***
No comments:
Post a Comment