Saturday, August 25, 2012

Pak Polisi, Ajari Kami Menjadi Orang-Orang yang Tertib!

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams… (Eleanor Roosevelt)
http://haukil.files.wordpress.com/2012/06/tawuran-pelajar-dari-httpwww-hai-online-comhai2skulizmstudent-talk1.jpg

Minggu sore, kemarin tanggal 3 Juni 2012, saya sedang menunggu bus di salah satu titik jalan Ahmad Yani Surabaya. Saat itu saya akan menuju Mojokerto menemui salah satu kawan untuk sebuah urusan. Sore Surabaya yang kurang indah, karena selalu ramai oleh mobil-mobil yang mengular karena macet, dan bau solar yang tak sedap.

Bus mini berwarna hijau yang saya tunggu belum jua tiba. Dalam penantian yang agak panjang itu, dengan suasana sekitar yang tidak karuan, tiba-tiba terdengar sorak sorai gerombolan anak-anak yang tiba-tiba menyerbu ke jalan raya yang lumpuh, masuk ke sela-sela mobil, berlarian, dan kejar-mengejar. “Ada apa gerangan?” tanyaku dalam hati.

Anak-anak remaja itu, yang usia mereka berkisar antara 15-20 tahun, dari gayanya ketahuan mereka adalah anak-anak kota. Rupanya, mereka baru saja pulang dari perhelatan konser band yang biasanya dihelat pada tiap Minggu sore di salah satu mall yang tidak jauh dari tempat saya berada saat itu.

Anak-anak itu begitu ramai, gaduh, dan tampak mengganggu ketertiban umum. Mereka bersorak-sorai dengan keras dan senang tanpa beban, kejar-kerjaran, menunjuk-nunjuk, memaki-maki, dan mengangkat-angkat lengan dengan tangan posisi tangan menggenggam seperti halnya ketika bonek berteriak “hidup Persebaya!” (tapi bukan itu). Akhirnya, saya tahu bahwa itu adalah aksi tawuran, yang sangat meresahkan masyarakat kota selama ini.

Aksi tawuran merupakan fenomena anak muda yang marak belakangan ini. Hal itu merupakan salah satu perwujudan dari kenakalan remaja. Remaja, yang menurut Zakiyah Drajat sebagai masa peralihat dari kanak-kanak menuju usia dewasa, memanglah sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh lingkungannya. Mereka gencar berekspresi, mencari performa yang tepat, yang terkadang tidak bisa melihat baik-buruknya sesuatu.

Dalam masa ini sebenarnya mereka membutuhkan pendampingan yang intens, dan selalu membutuhkan pengarahan-pengarahan bijak untuk jalan mereka ke depan. Jika dibiarkan, tentulah mereka akan tenggelam jauh ke jurang kenakalan yang tentu sangat merugikan bagi masa depan mereka sendiri.

Sejauh ini, rupanya anak-anak kota sering kali lepas dari kontrol orang tua. Karena alasan profesi, tidak jarang orang tua mengabaikan urusan anak. Mereka tampak tidak mau tahu bagaimana perkembangan anaknya. Dalam pikiran para orang tua semacam ini, adalah yang penting sudah menyekolahkan anak, memberi uang belanja dan memenuhi kebutuhan materi lainnya. Kebutuhan batin berupa sentuhan kasih sayang sulit anak dapatkan. Akibatnya, mereka berngas, tak kenal belas kasih, dan bahkan pada titik yang ekstrem, tumpul hati nurani.

Keadaan seperti ini, tentu sangat berbahaya, tidak hanya bagi diri dan masa depan anak itu saja, melainkan juga bagi khalayak masyarakat di sekitarnya. Anak-anak semacam ini seringkali menyulut keributan di tengah masyarakat, yang kemudian merepotkan banyak pihak, termasuk, pada titik tertentu, pemerintah kota.
Harus diakui bahwa anak-anak semacam mereka telah begitu sering merepotkan Pak Polisi di jalan-jalan maupun di tempat-tempat hiburan. Yang paling meresahkan adalah di saat mereka melakukan aksi tawuran, seperti yang saya lihat sore itu. Mereka urakan, gaya penampilan berlebihan, wajah kusut, laki-laki maupun perempuan tak ada batas, bergandeng tangan, merayu, dan berteriak lantang. Di desa atau kampung pinggiran yang masih tradisionalis, pemandangan seperti di atas sungguhlah tidak etis.

“Anjing!”

Saya tersentak dalam diam, dan sontak mencari-cari asal suara yang demikian lantang dan tegas itu. Hatiku bimbang, ragu, bahkan tidak karuan. Sungguh saya tidak menyangka, tidak percaya, ketika mengetahui bahwa ternyata kata kotor itu keluar dari mulut seseorang yang dihormati putusannya, ditakuti sanksinya, dan dihindari oleh orang-orang yang beri’tikad tidak baik. Hatiku menyesal penuh kecewa, “mengapa kata jorok penuh dengki itu harus keluar dari mulut seorang Polisi, sang penertib?”

Dari saking kesalnya, Pak Polisi mengucapkan kata yang seharusnya dihindari itu. Tujuannya memang benar, yaitu untuk mencegah anak-anak yang sedang tawuran. Tapi, bagaimanapun, jika harus menggunakan kata-kata seperti itu, tetap saja tidak baik. Tidak adakah kata lain yang lebih santun dan elegan? Saya masih berharap, semoga Pak Polisi saat itu tidak sengaja mengatakannya.

Kenyataan itu membuat saya pusing, melayang-layang, dan tiba-tiba memikirkan banyak hal. Saya putus asa akan masa depan ketertiban umum di negeri ini, ketika melihat kenyataan petugas ketertibannya ternyata juga tidak tertib.

Sekilas, hal itu mungkin sepele. Namun, jika ditelaah secara seksama, hal itu sangat berbahaya dan bisa bereaksi fatal. lebih-lebih jika hal itu dilakukan oleh petugas ketertiban. Ketertiban umum tidak akan tercapai selama petugasnya tidak tertib. Teori yang bisa dirujuk adalah ibda’ binafsik, mulailah dari diri sendiri. Jika kita ingin membuat orang lain tertib, maka tertibkanlah diri sendiri terlebih dahulu. Menegakkan ketertiban tidak bisa hanya dengan kata-kata belaka, tetapi yang paling penting adalah dengan tindakan. Lisãnul hãl, khairun min lisãn al-maqãl.


Ketertiban sejatinya bukan hanya ketertiban lalu lintas, sebagaimana biasanya ditunjukkan oleh oleh para Polisi selama ini. Ketertiban meliputi banyak hal, bisa agama, moral, dan sebagaimanya jika hal itu bisa mengganngu ketertiban umum.

Sebagai petugas keamanan, Polisi pun tidak cukup hanya fokus pada tugas-tugas struktural yakni menjaga keamanan. Tapi, menurut hemat saya, Pak Polisi juga punya beban kultural yang tak bisa diabaikan, yakni memberikan contoh yang baik pada khalayak dengan tujuan, seperti semula, mewujudkan terjaganya keamanan dan keseimbangan.

Mengeluarkan kata-kata kotor seperti di atas, secara struktural itu mungkin tidak begitu berpengaruh. Namun, secara kultural hal itu sangat fatal dan akan mengundang tindakan-tindakan amoral dan asosial selanjutnya. Ketika Pak Polisi berkata kotor dan mengumpat, didengar ataupun tidak, orang yang diumpat pasti mengeluarkan kata-kata balasan yang tak kalah kotor dan joroknya. Minimal kata balasan itu diucapkan dalam hati. Tapi yang jelas, keadaan tersebut akan merangsang orang-orang (dalam hal ini yang diumpat) untuk melakukan hal yang lebih parah di kemudian hari. Sebagaimana teori ‘semakin banyak permintaan, semakin tinggi harga’. Praktis, ketertiban umum selalu dalam ancaman.

Dengan pakaian seragam yang demikian apik, postur tubuh atletis dan ideal, Pak Polisi hendaklah pula memperhatikan tugas-tugas moral sebagai petugas ketertiban. Ketertiban hendaklah dimasukkan dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk memperhatikan implikasi-implikasi bawaan dari upaya ketertiban yang diemban. Dengan begitu, negara kita yang kian hari kian tidak aman saja ini, secara pelan-pelan bisa memberikan keamanan, kenyamanan, dan harapan hidup yang lebih baik bagi rakyatnya yang plural.
Dalam hati, saya berseru: “Pak Polisi, Ajari Kami Jadi Orang-Orang yang Tertib!”.

Pak polisi seharusnya mengajarkan orang-orang agar tertib, bukan memata-matai atau menghukum orang-orang yang tidak tertib. Memang, dua kalimat tersebut memiliki maksud yang hampir sama persis. Namun, titik tekannya sangatlah jauh berbeda.***

No comments:

Post a Comment