The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams… (Eleanor Roosevelt)
Minggu sore, kemarin tanggal 3 Juni 2012, saya sedang menunggu bus di salah satu titik jalan Ahmad Yani Surabaya. Saat itu saya akan menuju Mojokerto menemui salah satu kawan untuk sebuah urusan. Sore Surabaya yang kurang indah, karena selalu ramai oleh mobil-mobil yang mengular karena macet, dan bau solar yang tak sedap.
Minggu sore, kemarin tanggal 3 Juni 2012, saya sedang menunggu bus di salah satu titik jalan Ahmad Yani Surabaya. Saat itu saya akan menuju Mojokerto menemui salah satu kawan untuk sebuah urusan. Sore Surabaya yang kurang indah, karena selalu ramai oleh mobil-mobil yang mengular karena macet, dan bau solar yang tak sedap.
Bus mini berwarna hijau yang saya
tunggu belum jua tiba. Dalam penantian yang agak panjang itu, dengan
suasana sekitar yang tidak karuan, tiba-tiba terdengar sorak sorai
gerombolan anak-anak yang tiba-tiba menyerbu ke jalan raya yang lumpuh,
masuk ke sela-sela mobil, berlarian, dan kejar-mengejar. “Ada apa gerangan?” tanyaku dalam hati.
Anak-anak remaja itu, yang usia mereka
berkisar antara 15-20 tahun, dari gayanya ketahuan mereka adalah
anak-anak kota. Rupanya, mereka baru saja pulang dari perhelatan konser
band yang biasanya dihelat pada tiap Minggu sore di salah satu mall yang
tidak jauh dari tempat saya berada saat itu.
Anak-anak itu begitu ramai, gaduh, dan tampak mengganggu ketertiban umum. Mereka bersorak-sorai dengan keras dan senang tanpa beban, kejar-kerjaran, menunjuk-nunjuk, memaki-maki, dan mengangkat-angkat
lengan dengan tangan posisi tangan menggenggam seperti halnya ketika
bonek berteriak “hidup Persebaya!” (tapi bukan itu). Akhirnya, saya tahu
bahwa itu adalah aksi tawuran, yang sangat meresahkan masyarakat kota
selama ini.
Aksi tawuran merupakan fenomena anak muda yang marak belakangan ini. Hal itu merupakan salah satu perwujudan dari
kenakalan remaja. Remaja, yang menurut Zakiyah Drajat sebagai masa
peralihat dari kanak-kanak menuju usia dewasa, memanglah sangat rentan
terhadap pengaruh-pengaruh lingkungannya. Mereka gencar berekspresi,
mencari performa yang tepat, yang terkadang tidak bisa melihat baik-buruknya sesuatu.
Dalam masa ini sebenarnya mereka membutuhkan pendampingan yang intens, dan selalu
membutuhkan pengarahan-pengarahan bijak untuk jalan mereka ke depan.
Jika dibiarkan, tentulah mereka akan tenggelam jauh ke jurang kenakalan
yang tentu sangat merugikan bagi masa depan mereka sendiri.
Sejauh ini, rupanya anak-anak kota
sering kali lepas dari kontrol orang tua. Karena alasan profesi, tidak
jarang orang tua mengabaikan urusan anak. Mereka tampak tidak mau tahu
bagaimana perkembangan anaknya. Dalam pikiran para orang tua semacam
ini, adalah yang penting sudah menyekolahkan anak, memberi uang belanja dan memenuhi
kebutuhan materi lainnya. Kebutuhan batin berupa sentuhan kasih sayang
sulit anak dapatkan. Akibatnya, mereka berngas, tak kenal belas kasih, dan bahkan pada titik yang ekstrem, tumpul hati nurani.
Keadaan seperti ini, tentu sangat berbahaya, tidak hanya bagi diri dan masa
depan anak itu saja, melainkan juga bagi khalayak masyarakat di
sekitarnya. Anak-anak semacam ini seringkali menyulut keributan di
tengah masyarakat, yang kemudian merepotkan banyak pihak, termasuk, pada
titik tertentu, pemerintah kota.
Harus diakui bahwa anak-anak semacam
mereka telah begitu sering merepotkan Pak Polisi di jalan-jalan maupun
di tempat-tempat hiburan. Yang paling meresahkan adalah di saat mereka
melakukan aksi tawuran, seperti yang saya lihat sore itu. Mereka urakan,
gaya penampilan berlebihan, wajah kusut, laki-laki maupun perempuan tak
ada batas, bergandeng tangan, merayu, dan berteriak lantang. Di desa atau kampung pinggiran yang masih tradisionalis, pemandangan seperti di atas sungguhlah tidak etis.
“Anjing!”
Saya tersentak dalam diam, dan sontak mencari-cari asal suara yang demikian lantang dan tegas
itu. Hatiku bimbang, ragu, bahkan tidak karuan. Sungguh saya tidak
menyangka, tidak percaya, ketika mengetahui bahwa ternyata kata kotor
itu keluar dari mulut seseorang yang dihormati putusannya, ditakuti
sanksinya, dan dihindari oleh orang-orang yang beri’tikad tidak baik. Hatiku menyesal penuh kecewa, “mengapa kata jorok penuh dengki itu harus keluar dari mulut seorang Polisi, sang penertib?”
Dari saking kesalnya, Pak Polisi
mengucapkan kata yang seharusnya dihindari itu. Tujuannya memang benar,
yaitu untuk mencegah anak-anak yang sedang
tawuran. Tapi, bagaimanapun, jika harus menggunakan kata-kata seperti
itu, tetap saja tidak baik. Tidak adakah kata lain yang lebih santun dan elegan? Saya masih berharap, semoga Pak Polisi saat itu tidak sengaja mengatakannya.
Kenyataan itu membuat saya pusing, melayang-layang, dan tiba-tiba
memikirkan banyak hal. Saya putus asa akan masa depan ketertiban umum
di negeri ini, ketika melihat kenyataan petugas ketertibannya ternyata
juga tidak tertib.
Sekilas, hal itu mungkin sepele. Namun, jika ditelaah secara seksama, hal itu sangat berbahaya dan bisa
bereaksi fatal. lebih-lebih jika hal itu dilakukan oleh petugas
ketertiban. Ketertiban umum tidak akan tercapai selama petugasnya tidak
tertib. Teori yang bisa dirujuk adalah ibda’ binafsik,
mulailah dari diri sendiri. Jika kita ingin membuat orang lain tertib,
maka tertibkanlah diri sendiri terlebih dahulu. Menegakkan ketertiban
tidak bisa hanya dengan kata-kata belaka, tetapi yang paling penting
adalah dengan tindakan. Lisãnul hãl, khairun min lisãn al-maqãl.
Ketertiban
sejatinya bukan hanya ketertiban lalu lintas, sebagaimana biasanya
ditunjukkan oleh oleh para Polisi selama ini. Ketertiban meliputi banyak
hal, bisa agama, moral, dan sebagaimanya jika hal itu bisa mengganngu ketertiban umum.
Sebagai petugas keamanan, Polisi pun
tidak cukup hanya fokus pada tugas-tugas struktural yakni menjaga
keamanan. Tapi, menurut hemat saya, Pak Polisi juga punya beban kultural
yang tak bisa diabaikan, yakni memberikan contoh yang baik pada
khalayak dengan tujuan, seperti semula, mewujudkan terjaganya keamanan dan keseimbangan.
Mengeluarkan kata-kata kotor seperti
di atas, secara struktural itu mungkin tidak begitu berpengaruh. Namun,
secara kultural hal itu sangat fatal dan akan mengundang tindakan-tindakan amoral dan asosial selanjutnya. Ketika Pak Polisi berkata kotor dan mengumpat, didengar ataupun tidak, orang yang diumpat pasti mengeluarkan kata-kata balasan yang tak kalah kotor dan joroknya.
Minimal kata balasan itu diucapkan dalam hati. Tapi yang jelas, keadaan
tersebut akan merangsang orang-orang (dalam hal ini yang diumpat) untuk
melakukan hal yang lebih parah di kemudian hari. Sebagaimana teori
‘semakin banyak permintaan, semakin tinggi harga’. Praktis, ketertiban
umum selalu dalam ancaman.
Dengan pakaian seragam yang demikian apik, postur tubuh atletis dan ideal,
Pak Polisi hendaklah pula memperhatikan tugas-tugas moral sebagai
petugas ketertiban. Ketertiban hendaklah dimasukkan dalam arti yang
seluas-luasnya, termasuk memperhatikan implikasi-implikasi bawaan dari
upaya ketertiban yang diemban. Dengan begitu, negara kita yang kian hari
kian tidak aman saja ini, secara pelan-pelan bisa memberikan keamanan,
kenyamanan, dan harapan hidup yang lebih baik bagi rakyatnya yang plural.
Dalam hati, saya berseru: “Pak Polisi, Ajari Kami Jadi Orang-Orang yang Tertib!”.
Pak polisi seharusnya mengajarkan
orang-orang agar tertib, bukan memata-matai atau menghukum orang-orang
yang tidak tertib. Memang, dua kalimat tersebut memiliki maksud yang
hampir sama persis. Namun, titik tekannya sangatlah jauh berbeda.***
No comments:
Post a Comment