Kekuatan Kristen itu kemudia
mencapai puncaknya ketika dua kerajaan Kristen besar bersatu, yakni Aragon dan
Castile. Persatuan ini disebabkan oleh perkawinan Ferinand (raja Aragon) dan
Isabella (ratu cantik Castile), tahun 1469 M.[1] Kekutan
kristen kemudian bisa sedikit demi sedikit mendorong dan mendesak kekuatan
Islam ke Selatan, hingga Islam hanya bercokol di Granada sebagai benteng
terakhir. Tapi bagaimanapuun, keberadaan Islam di benteng terakhir ini terus
terusik, dan takluk pada 1492 pada kekuasaan Ferdinand-Isabella.[2]
Kejayaan Islam Spanyol, sejak
awal pembebasannya (futuhat) pada tahun 711 M sampai masa-masa
terakhir Granada, tidak lepas dari bayangan-banyangan kaum Kristen di belahan
Utara Spanyol. Pada masa pembebasan Spanyol ini, kekuasaan Kristen yang labil,
berhasil diberangus dan Kristen kemudian lari ke Utara Spanyol. Di sanalah
kemudian Kristen berbenah, dan kemudian terus mencoba melakukan
penyerangan-penyerangan terhadap kekuasaan Islam Andalusia.
Meski Granada takluk, namun
kaum Muslim kota ini tetap dalam perlindungan Ferdinand-Isabella. Namun hal ini
tidak berumur lama, karena pengaruh Gereja, kedua penguasa itu kemudian
berambisi untuk ‘menghabiskan’ kaum Muslim dari tanah Spanyol, yang puncaknya
pada tahun 1499, janji pelindungan bagi kaum Muslim dilanggar dan mereka
dihadapkan pada pilihan-pilihat yang sangat sulit: masuk Kristen dengan
bersedia dibabtis, hengkang segera dari tanah Spanyol, atau jika keduanya,
berarti siap untuk mati.
Banyak kaum Muslim yang memilih
untuk meninggalkan Spanyol, merantau dan berlayar ke luar Spanyol, mencari
kehidupan di daerah Islam lain, tetapi tidak sedikit pula mereka yang memilih
dibabtis, dan banyak pula yang dibunuh. Namun demikian, ternyata, mereka yang
dibabtis itu tetap saja secara diam-diam mempraktikkan Islam. Kesediaan mereka
untuk dibabtis semata karena hubungan mereka yang telah sangat dalam dengan
Spanyol. Kelompok Islam under-ground ini yang kemudian menjadi sasaran
inkuisisi (inquisition): sebuah lembaga Gerejawi yang bertujuan
kristenisasi dan pemurnian agama Kristen, dengan menyiksa-membunuh mereka
(mualaf Kristen) yang tidak taat dan membuat bidah.
Sampai di sini, ada pertanyaan
yang mesti dijawab, apakah pengaruh tiga pilihan sulit kaum Muslim Spanyol itu
terhadap dunia, khususnya Indonesia?
Inkuisisi dan Semangat Reconquista
Tidak banyak literatur yang
membahas tentang “tiga pilihan sulit” bagi kaum Muslim itu dan pengaruhnya bagi
dunia, terlebih Indonesia. Namun tulisan singkat dan sangat sederhana ini
mencoba membahas hal tersebut, namun akan lebih banyak menyinggung masalah
inkuisisi. Artinya tulisan ini mencoba melacak kaum Muslim yang masuk Kristen
secara formal, namun tidak secara substansial. Dalam pandangan sementara
penulis, kelompok inilah yang lebih bisa dijangkau dalam upaya mencari pengaruh
tiga pilihan sulit itu bagi Indonesia.
Reconquista (penaklukan kembali) Spanyol, dimulai pada abad ke-11
sejak keruntuhan Dinasti Umayyah Jilid II, ada pula sejarawan yang menyebut dimulai
sejak peperangan Covadonga tahun 718. Kapan pun upaya penaklukan kembali ini
dimulai, yang pasti, ini telah mengilhami kaum Kristen Eropa untuk
mempertahankan segala apa yang dipunyai, termasuk Spanyol yang terebut oleh
kekuasaan Islam. Sehingga banyak gerakan-gerakan maupun lembaga-lembaga Kristen
yang terinspirasi oleh semangat penaklukan kembali ini. Disamping hasrat
kekuasaan, sentimen keagamaan juga begitu kentara dalam upaya ini.
Sebagaimana kepemilikan yang
direbut, hal itu tentu menyisakan rasa sakit hati yang mendalam bagi pihak
objek, dan pasti terlintas pikiran untuk merebutnya kembali. Demikianlah yang
terjadi pada reconquista itu, ingin merebut kembali Spanyol dari tangan
kekuasaan Islam. Sebab, sebelum Islam, Spanyol adalah milik Kristen (pandangan
mereka).
Namun para pakar kurang setuju
atau lebih tepatnya tidak suka dengan penyebutan reqconquista ini,
sebab, dahulu, umat Muslim datang ke Spanyol bukan sebagai penakluk atau
perebut Spanyol, akan tetapi ia hanya membantu rakyat yang dirugikan oleh
kekuasaan Kristen yang tiranik. Upaya Islam ini disebut pembebasan, pembukaan (futuhat).[3] Jadi, sekali
lagi, bukan penaklukan yang konotasinya kemaruk akan kekuasaan.
Salah satu upaya yang kemudian
terlembagakan yang termasuk produk (semangat) penaklukan kembali ini adalah
inkuisisi. Sebagaiamana telah sedikit disinggung tadi, bahwa inkuisisi ini
adalah gerakan lembaga gerejawi yang bertujuan kristeisasi dan membersihkan
Kristen dari kotoran bidah. Kotoran bidah yang dimaksud di sini adalah
praktik-praktik ‘tersembunyi’, dalam hal ini, umat Kristen yang berasal dari
Islam pasca-tiga pilihan sulit. Kelompok bawah tanah ini (disebut moriscoss[4])
sangat menghawatirkan Kristen, sehingga mereka selalu dicurigai, diawasi,
didekte, sehingga segala konflik keagamaan saat itu bertiti tolak dari keadaan ini.
jika ditelusuri lebih jauh, rupanya keberadaan kelompok bawah tanah inilah,
setelah semangat reconquista, yang banyak mempengaruhi semangat
imperealisme Eropa dengan berbagai misinya.
Setelah peristiwa-peristiwa di
atas, Islam tenggelam dari permukaan Spanyol. Peristiwa-peristiwa itu juga
menjadikan hubungan keagaaman antara Kristen dan Islam semakin memburuk.
Kebencian antara satu dengan yang lainnya kemudian menjalar ke mana-mana.
Setiap ada orang Islam, selalu membawa kesan kebencian di benak Kristen.
Kristen selalu mencurigai Islam, dan ingin menaklukkan Islam, sebagaimana
mereka memandang kaum (Kristen) moriscoss yang selalu menjadi sasaran
inkuisisi Spanyol. Dalam inkuisisi ada tiga macam siksaan, guna meminta janji
setia si ‘terdakwa’ pada Kristen: yakni dikerek ke langit-langit ruangan,
diikat dengan pemberat besi atau diangkat ke atas dan di jatuhkan.
Semangat reconquista
sungguh telah menjadi semangat yang terpatri di dada kaum Kristen. Bahkan
imperialisme yang sebentar lagi mereka lakukan, juga tak bisa dilepaskan dari
semangat itu.
Aroma Rempah-Rempah Mengundang
Imperealisme
Jika dirunut, pada dataran
generalisasi yang lebih tinggi, maka akan didapat bahwa imperialisme (dalam hal
ini imperelisme Eropa) juga lekat dengat semangat reconquista, namun
selain itu, juga bisa dengan mudah dilacak bahwa dinamika imperialisme ini tak
lepas dari peristiwa “tiga pilihan sulit” di atas. Nah, pada bagian ini
pula, akan dibahas bagaimana angin peristiwa itu menghembus sampai ke
Nusantara.
Pasca peristiwa “tiga pilihan
sulit” itu, hubungan antara Kristen-Islam semakin runyam. Keadaan ini, pada
satu titik, membuat posisi Eropa ada dalam garis eksistensi yang sangat tidak
menguntungkan. Kebutuhan pangan, cita rasa, menjadi problem utama dalam hal
ini. Eropa yang sebelumnya bergantung pada negera Islam dalam urusan pasokan
rempa-rempah, maka karena hubungan keagamaan yang meruncing, mereka tidak bisa
mendapatkan rempah-rempah dengan mudah seperti dahulu kala.[5] Eropa memutar
otak, tidak ingin lagi bergantung pada negara Islam (seperti Turki, Afrika
Utara dan negara Arab lainnya), mereka sampai pada kesimpulan imperialisme;
mencari sendiri rempah-rempah ke pusatnya, di samping tujuan-tujuan ambisius
lainnya.
Orang-orang Eropa ini,
khususnya dataran Spanyol atau semenanjung Iberia, lebih khusus lagi portugis,
dengan teknologi yang lumayan mumpuni, mereke melakukan pelayaran yang berani
ke arah Afrika, menelusuri pantai barat Afrika. Di setiap tepat yang mereka
kunjungi, mereka selalu terlibat dan memenangi pertempuran, dan mengepung
lawan-lawan yang beragama Islam.[6] Pelayaran ini
tergolong berani, karena harus menerobos ombak atlantik yang buas, perompak,
dan bahaya-bahaya laut lain yang setiap waktu mengancam.
Pelayaran terus berjalan,
menyususi tepi-tepi pantai Asia, sampai di India, Malaka, hingga akhirnya sampai
di Nusantara (Indonesia). Terutama daerah bagian Timur, Nusantara memiliki
kekayaan alam yang melimpah ruah, termasuk rempah-rempah, cengkih, lada, buah
dan bunga pala. Oleh karena itulah, maka kawasan Indonesia Timur ini yang
menjadi tujuan utama orang-orang Eropa itu.
Selain itu, di Nusantara,
Portugis juga sempat terlibat gonjang-ganjing politik kerajaan, yakni Ternate
dan Tidore. Portugis berada di pihak Ternate karena bujukan yang getol
dilakukan oleh rajanya Sultan Abu Lais (w. 1522). Namun jalinan hubungan ini
tidak berlangsung lama, karena ada upaya-upaya Portugis melakukan Kristenisasi
dan karena tingkah laku mereka yang umumnya sangat buruk.[7]
Sampai di sini, ada beberapa
hal penting yang harus ditekankan terkait pengaruh peristiwa “tiga pilihan
sulit” itu bagi Indonesia yang kesemuanya terbungkus rapi dalam kotak
imperialisme. Pertama, peristiwa “tiga pilihan sulit” itu yang kemudian
membuka jalan inkuisisi, begitu mendasar perannya dalam mendorong orang-orang
Eropa untuk berlayar dengan bendera imprealisme yang juga sampai ke Indonesia.
Hubungan Eropa yang sulit dengan negara-negara Islam penghasil maupun agen
rempah-rempah, membuat Eropa kesulitan dalam mengakses rempah-rempah, sehingga
mereka bermaksud untuk mencari rempah-rempah ke sumbernya (Asia Tenggara).
Kedua, inkuisisi sebagai
konsekuensi dari peristiwa mengerikan itu sangat lekat dengan sentimen
keagamaan. Sentemen ini memang sudah muncul benih-benihnya pada masa-masa
bergulirnya reconquista, tetapi hal itu mencapai puncaknya ketika inkuisisi
bergulir. Orang Kristen begitu benci dengan orang Islam dan selalu mencurigai
mereka. Hal ini pula menjadi salah satu tujuan dari imprealisme Eropa itu.
Sebagaimana diketahui, bahwa imprealisme Eropa memiliki tujuan gold, glory
dan gospel, yang dikenal dengan 3 G. Pada tujuan gospel (ajaran
kitab atau mis keagamaan/Kristen), poin kedua ini menemukan porsinya.
Bisa dilihat misalnya
Kristenisasi yang diupayakan Portugis di kawasan Ternate. Bisa dilihat pula
bagaimana Portugis mengepung lawan-lawan yang beragama Islam dalam sepanjang
pelayarannya sejak di pantai Barat Afrika, sebagaimana ditulis Ricklefs.
Portugis adalah bangsa pertama yang menyelimuti Nusantara dengan imperialisme.
Ketiga, persinggungan tahun
yang begitu dekat dan berurutan. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa
peristiwa “tiga pilihan sulit” itu terjadi pada masa Ferdinand-Isabella pada
tahun 1499 M. Kemudian bisa dilihat tahun kedatangan pertama kali orang-orang
Eropa (imperialis) di Indonesia, yaitu kurang lebih pada tahun 1509 M.[8] Waktu-waktu
ini berurutan, dan sangat masuk akal. Di sana juga terdapat interval waktu yang
barangkali untuk spekulasi dan lainnya. Melihat tahun-tahun tersebut,
imperialisme yang diusung oleh orang Eropa sehinga sampai ke Indonesia, tampak
merupakan tindak lanjut orang Eropa terhadap kebutuhan (rempah-rempah) mereka
yang kian sulit. Akan kurang masuk akal (bahwa peristiwa kelabu itu bagi
Indonesia membawa pengaruh berbentuk imprelisme ropa), jika tahun peristiwa
mengerika itu jauh mendahului tahun kedatanga orang Eropa ke Indonesia, dan
alangkah sangat tidak masuk akal jika sebaliknya.
Demikianlah, pengaruh peristiwa
“tiga pilihan sulit” itu bagi Indonesia. Pengaruh itu berwajah imperealisme
Eropa, dengan—paling tidak—tiga alasan yang disebutkan tadi.
Mengungkap 3 G
Sebagaimana sempat di singgung
tadi, bahwa tujuan dari imperealisme Eropa itu adalah 3 G. Huruf “G” yang
dimaksud adalah gold (emas), glory (kejayaan/kemenagan), gospel
(ajaran kitab atau misi keagamaan, dalam hal ini Kristen). Jarang—untuk tidak
mengatakan tidak ada—literatur yang menjustifikasi kebenaran 3 G ini secara
akurat. Sehingga, banyak pula orang yang meragukan keabsahannya.
Menurut hemat saya, sejatinya
istilah 3 G itu memang tidak pernah ada dalam literatur-literatur sejarah yang
bisa dipertanggungjawabkan. Istilah itu hanyalan buatan sebagian orang penekun
sejarah. Mungkin pula, istilah itu tidak pernah disebut dalam sidang-sidang
akademis. Namun demikian, saya tetap membenarkan 3 G itu, dengan alasan:
Pertama, 3 G itu merupakan sebuah kesimpulan sejarah yang tidak
mengada-ada. Semua itu berdasarkan fakta sejarah dan bisa dipertanggung
jawabkan. 3 G barangkali adalah istilah baru, tapi substansi yang dikandung
tidaklah baru. 3 G adalah kesimpulan dari penelaahan sejarah imperialisme Eropa
(Barat) dari berbagai literatur yang ada. Dalam sejarah, pelayaran imperialisme
tidak pernah melupakan 3 pelabuhannya, yaitu mendapatkan emas, uang ata
kekayaan, memperoleh an kejayaan atau kemenangan, dan pelabuhan terakhir yaitu
pada penyebaran agama, dalam hal ini Kristen.
Mengutip Ricklefs:
“Atas dorongan pangeran Henry
“Si Mualim” (w. 1460) dan para pelindung lainnya, para pelaut dan petualang
Portugis memulai pencarian panjang mereka menyusuri pantai barat Afrika untuk
menemukan emas, memenangi pertempuran, dan meraih jalan untuk mengepung lawan
yang beragama Islam.”[9]
Dari sini, Ricklefs tampak
setuju dengan istilah 3 G itu, meski ia sendiri tidak menggunakan istilah itu.
Substansinya sama persis. Pada kutipan Ricklefs di atas, frase untuk
menemukan emas kita bisa sebut gold dalam istilah 3 G; memenangi
pertempuran sama dengan glory; sedangkan meraih jalan untuk
mengepung lawan yang beragama Islam bisa kita sejajarkan dengan gospel.
Kedua, masalah selera dan
kenyamanan berbahasa. Istilah 3 G terasa lebih unik dan sederhana serta
mudah diingat. Bagaimanapun uniknya istilah ini, ia tetap tidak sampai
mereduksi makna-makna substansial dari tujuan-tujuan imperialisme Eropa. Hanya
persoalan dan pemainan kata.
Dengan ini, agaknya kita tidak
perlu mempersoalkan istilah 3 G ini, apalagi memperdebatkan keabsahannya. Ia
sebenarnya hanyalah bentuk simplifikasi dari data-data akurat yang ada. Sebab
ia tidak ada masalah dalam tataran substansial, meski secara formal, dalam
dunia akademik mungkin belum atau tidak diakui.
Epilog
Peristiwa pahit “tiga pilihan
sulit” di Spanyol tahun 1499, yang pada waktu itu kekuasaan Spanyol berada di
tangan pasang Ferdinand-Isabella, membawa pengaruh yang sangat penting bagi
sejarah Indonesia, yaitu Imprealisme Eropa. Imperialisme ini mengusung tujuan
mendapatkan emas atau kekayaan, memperoleh kemenangan, dan melancarkan misi
keagamaan Kristen. Beberapa tujuan ini, mengalami simplifikasi dengan istilah 3
G (Gold, Glory, Gospel).
Peristiwa pahit “tiga pilihat
sulit” yang kemudian menggulirkan imprealisme Eropa ini setidaknya mengetuk
kesadaran kita sebagai umat Muslim dan bangsa Indonesia untuk bangkit dari
segala keterpurukan. Sejarah hendaknya menjadi acuan untuk melahirkan
formula-formula baru yang futuristik. Menyesali sejarah kelam, maupun terjebak
pada romantisme sejarah, adalah suatu hal yang tidak banyak gunanya.
Akhirnya, tulisan ini sangat
sederhana sekali dan banyak kekurangan-kekurangan yang bertaburan di sana sini.
Demikian pula, selain kurangnya refernsi, tulisan ini masih debatable;
dapat dibantah dan dilakukan diskusi lebih lanjut. Kita masih terus berharap
adanya tangan-tangan kreatif yang terbesit hatinya untuk meluruskan segala
kekeliruan sejarah bangsa kita secara khusus. Wallahu a’lam.***
Footnotes:
[1]
Lih. Philip K. Hitti, History of The Arabs: Rujukan Induk dan Paling
Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Serambi, 2010),
hlm. 701.
[2]
Lih. Karen Armstrong, Perang Suci: Kisah Detail Perang Salim, Akar
Pemicunya, dan Dampaknya terhadap Zaman Sekarang, (Jakarta: Serambi, 2011),
hlm. 705.
[3]
Tuntaskan pada Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 17-19.
[4]
Umat Muslim yang masuk Kristen. Biasanya mereka, dalam praktik-praktik keagamaan,
tetap “setia” pada Islam, tapi secara sembunyi-sembunyi.
[5]
Dalam beberapa keterangan disebutkan, bahwa korban peristiwa “tiga pilihan
sulit” itu menjadikan Turki sebagai salah satu tempat pelarian utama Muslim
Spanyol. Dikatakan bahwa sebelum itu, Turki merupakan kolega (Islam) Spanyol
dalam hal pasokan rempah-rempah. Maka, dengan pelarian kaum Muslim
ke Turki, dan didengar oleh raja di sana, image Spanyol mejadi jelek,
dan menimbulkan kesinisan pula dari pemerintah Islam Turki (Ustmani), yang
membuat hubungan kedua negara rumit, termasuk urusan rempah-rempah. Dalam hal
ini, Spanyol adalah pihak yang kurang beruntung, karena ketergantungan mereka
sebelumnya pada Turki.
No comments:
Post a Comment