Tanggal
10 Dzulhijjah adalah perayaan Hari Raya Idul Adha bagi suluruh umat muslim.
Hari raya ini dekenal pula sebagai Hari Raya Kurban. Sebab pada momen tersebut,
umat muslim yang mampu dianjurkan untuk berkurban. “Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat kepada Tuhan-mu
dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar/108: 1-2). Demikianlah salah satu ayat yang
mengandung anjuran berkurban.
Berkurban
yang dimaksud adalah menyembelih binatang kurban sebagai ibadah dan mensyukuri
nikmat Allah. Berkurban merupakan usaha manusia untuk taqarrub atau mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta (istilah kurban berasal dari bahasa Arab qaraba, yang
artinya dekat. Sementara padanan kata Indonesianya yaitu korban atu
pengorbanan). Ibadah kurban bermula dari ketulusan nabi Ibrahim as dahulu dalam
menjalankan perintah Allah untuk menyembelih (mengorbankan) putera tercintanya,
nabi Ismail as. Meski pada akhirnya Allah mengganti (posisi) nabi Ismail dengan
seekor binatang (Ismail tak jadi disembelih) , tapi peristiwa ini telah
memperlihatkan kepada kita akan totalitas keimanan seorang hamba kepada
Tuhannya. Maka dalam ibadah kurban ada harapan terbentuknya seorang hamba yang
benar-benar loyal kepada Tuhannya, sebagaimana nabi Ibrahim.
Adapun
pelaksanaan ritual ibadah kurban ini yaitu setelah pelaksanaan salat Idul Adha
sampai berkhirnya 3 hari tasyrik. Binatang kurban yang dimaksud yakni binatang
ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Selanjutnya daging binatang itu
dibagikan kepada kaum fakir-miskin. Perintah ibadah kurban ini tidak lain
adalah demi kemaslahatan dan kedamaian duniawi sampai ukhrawi.
Namun
yang menjadi masalah, rupanya optimalisasi ibadah termasuk ibadah kurban ini
terasa amat kurang di tengah masyarakat kita dewasa ini. Ibadah dilakukan hanya
sebatas ritual temporal belaka, tanpa dibarengi adanya kesadaran akan ruh atau
makna yang diusung. Banyak orang berkurban hanya sekadar untuk menjalankan
perintah, bukan menyucikan diri. Alhasil, ritual ibadah yang dilakoni tidak
mampu memberikan energi positif bagi perilaku hidupnya.
Keadaan seperti inilah yang saat ini membawa masyarakat kita pada kubangan krisis di berbagai lini, bahkan krisis kemanusiaan, di mana nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Kejahatan merajalela di sekitar kita, pembunuhan sewenang-wenang, trafficking, diskriminasi, dan yang paling akut adalah korupsi penguasa. Korupsi telah menjadi penyakit yang ‘mematikan’.
Keadaan seperti inilah yang saat ini membawa masyarakat kita pada kubangan krisis di berbagai lini, bahkan krisis kemanusiaan, di mana nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Kejahatan merajalela di sekitar kita, pembunuhan sewenang-wenang, trafficking, diskriminasi, dan yang paling akut adalah korupsi penguasa. Korupsi telah menjadi penyakit yang ‘mematikan’.
Pesan moral
Ibadah
kurban mengusung pesan-pesan moral yang mesti dipahami, yang ditunjukkan dengan
simbol-simbol yang ada dalam ritual kurban itu sendiri yang tak lepas dari
latar sejarahnya. Barangkali pesan-pesan moral tersebut akan menjadi terapi
mujarab bagi problem kemanusiaan yang kronis.
Pesan-pesan
yang dimaksud terdapat antara lain, pertama, pada besarnya pengorbanan nabi
Ibrahim. Sejarah kurban nabi Ibrahim sarat dengan nilai pengorbanan. Hal itu
bisa dilihat dari keiklasannya untuk menyembelih Ismail, darah dagingnya
sendiri. Bagaimanapun, anak adalah nikmat Tuhan yang tiada taranya. Anak jauh lebih
berharga dari pada harta. Apalagi anak yang dimaksud adalah Ismail, anak semata
wayang Ibrahim dari hasil penantiannya bertahun-tahun. Kenyataan ini menandakan
betapa seorang yang beriman hendaklah rela mengorbankan segala hal untuk-Nya,
dan tidak terlena dengan gemerlapnya duniawi.
Arti
pengorbanan dalam konteks ibadah kurban sangatlah penting. Pengorbanan
merupakan salah satu bentuk sikap moral yang jika dijalankan bisa menjadi
solusi berbagai permasalahan. Orang kaya yang mengorbankan hartanya untuk orang
miskin, akan membantu meringankan beban hidup si miskin. Seorang penguasa yang
mengorbankan hawa nafsu dan egonya, dengan meninggalkan korupsi misalnya, akan
membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kedua,
binatang sebagai sesuatu yang disembelih dalam ritual ibadah kurban.
Sebagaimana diketahui bahwa binatang merupakan lambang keburukan yang ada pada
diri manusia. Allah seringkali menyamakan perilaku buruk manusia dengan
binatang. Simbol kedua ini menginginkan pemberdayaan manusia. Manusia haruslah
bertindak selaku mahluk yang dianugerahi akal: berpikir dan berperilaku etis.
Sifat-sifat dan karakter kebinatangan yang tanpa aturan, seperti menghalalkan
segala cara demi kepuasan nafsunya meski harus mendzalimi yang lain, haruslah
ditanggalkan.
Ketiga,
penggantian posisi Ismail dengan seekor binatang dalam penyembelihan. Ini
memberi kita pelajaran tentang betapa berharganya nyawa manusia, dan kita harus
menghargainya. Pembunuhan sewenang-wenang terhadap manusia adalah perbuatan
terkutuk dan dihukumi dosa besar. Dalam al-Qur’an terdapat pula penjelasan
bahwa barang siapa yang menghilangkan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah
ia telah menghilangkan nyawa manusia seuluruhnya. Nyawa manusia sungguh penting
artinya bagi hidup dan kehidupan.
Simbol
ini pula mengusung makna pembebasan manusia dari kesewenang-wenangan manusia
atas manusia lainnya. Dalam hal ini tersirat pesan agar manusia tidak lagi
merampas ataupun menginjak-injak harkat dan derajat manusia. Selanjutnya,
simbol ini ingin menegaskan bahwa Tuhannya Ibrahim tidak haus darah manusia,
justru Dia ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tradisi yang tidak
menghargai manusia dan kemanusiaan.
Demikianlah,
ritual ibadah tidak cukup hanya dimengerti kulit luarnya saja, tapi hendaklah
pula dipahami makna terdalamnya untuk kemudian diwujudkan sebagai prinsip
hidup. Sebab dari situlah kemaslahatan dan kedamaian hidup bisa direngkuh.
Ritual ibadah yang dipahami secara dangkal, akan menimbulkan sikap congkak yang
bisa jadi berujung pada praktik kekerasan dalam beragama.
Ritual
ibadah kurban mengusung makna mulia yang sarat dengan semangat emansipasi
kemanusiaan. Betapa indah dan damainya hidup jika setiap orang yang beriman
berusaha dan mampu memahami makna kurban dan menerjemahkannya ke dalam bingkai
realitas. Maka perayaan Hari Raya Idul Adha tahun ini hendaklah menjadi ajang
memuhasabahi diri. Tampaknya, tak perlu menunggu binatang kurban untuk
berkurban. Jika tidak mampu bisalah kita berkorban sesuatu yang lain semampu
kita yang sekiranya bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Khairunnasi anfa’uhum linnasi.
No comments:
Post a Comment