Friday, November 2, 2012

Kurban dan Emansipasi Kemanusiaan


Tanggal 10 Dzulhijjah adalah perayaan Hari Raya Idul Adha bagi suluruh umat muslim. Hari raya ini dekenal pula sebagai Hari Raya Kurban. Sebab pada momen tersebut, umat muslim yang mampu dianjurkan untuk berkurban. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat kepada Tuhan-mu dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar/108: 1-2). Demikianlah salah satu ayat yang mengandung anjuran berkurban.

Berkurban yang dimaksud adalah menyembelih binatang kurban sebagai ibadah dan mensyukuri nikmat Allah. Berkurban merupakan usaha manusia untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Sang Pencipta (istilah kurban berasal dari bahasa Arab qaraba, yang artinya dekat. Sementara padanan kata Indonesianya yaitu korban atu pengorbanan). Ibadah kurban bermula dari ketulusan nabi Ibrahim as dahulu dalam menjalankan perintah Allah untuk menyembelih (mengorbankan) putera tercintanya, nabi Ismail as. Meski pada akhirnya Allah mengganti (posisi) nabi Ismail dengan seekor binatang (Ismail tak jadi disembelih) , tapi peristiwa ini telah memperlihatkan kepada kita akan totalitas keimanan seorang hamba kepada Tuhannya. Maka dalam ibadah kurban ada harapan terbentuknya seorang hamba yang benar-benar loyal kepada Tuhannya, sebagaimana nabi Ibrahim.

Adapun pelaksanaan ritual ibadah kurban ini yaitu setelah pelaksanaan salat Idul Adha sampai berkhirnya 3 hari tasyrik. Binatang kurban yang dimaksud yakni binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Selanjutnya daging binatang itu dibagikan kepada kaum fakir-miskin. Perintah ibadah kurban ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kedamaian duniawi sampai ukhrawi.

Namun yang menjadi masalah, rupanya optimalisasi ibadah termasuk ibadah kurban ini terasa amat kurang di tengah masyarakat kita dewasa ini. Ibadah dilakukan hanya sebatas ritual temporal belaka, tanpa dibarengi adanya kesadaran akan ruh atau makna yang diusung. Banyak orang berkurban hanya sekadar untuk menjalankan perintah, bukan menyucikan diri. Alhasil, ritual ibadah yang dilakoni tidak mampu memberikan energi positif bagi perilaku hidupnya.

Keadaan seperti inilah yang saat ini membawa masyarakat kita pada kubangan krisis di berbagai lini, bahkan krisis kemanusiaan, di mana nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Kejahatan merajalela di sekitar kita, pembunuhan sewenang-wenang, trafficking, diskriminasi, dan yang paling akut adalah korupsi penguasa. Korupsi telah menjadi penyakit yang ‘mematikan’.

Pesan moral

Ibadah kurban mengusung pesan-pesan moral yang mesti dipahami, yang ditunjukkan dengan simbol-simbol yang ada dalam ritual kurban itu sendiri yang tak lepas dari latar sejarahnya. Barangkali pesan-pesan moral tersebut akan menjadi terapi mujarab bagi problem kemanusiaan yang kronis.

Pesan-pesan yang dimaksud terdapat antara lain, pertama, pada besarnya pengorbanan nabi Ibrahim. Sejarah kurban nabi Ibrahim sarat dengan nilai pengorbanan. Hal itu bisa dilihat dari keiklasannya untuk menyembelih Ismail, darah dagingnya sendiri. Bagaimanapun, anak adalah nikmat Tuhan yang tiada taranya. Anak jauh lebih berharga dari pada harta. Apalagi anak yang dimaksud adalah Ismail, anak semata wayang Ibrahim dari hasil penantiannya bertahun-tahun. Kenyataan ini menandakan betapa seorang yang beriman hendaklah rela mengorbankan segala hal untuk-Nya, dan tidak terlena dengan gemerlapnya duniawi.

Arti pengorbanan dalam konteks ibadah kurban sangatlah penting. Pengorbanan merupakan salah satu bentuk sikap moral yang jika dijalankan bisa menjadi solusi berbagai permasalahan. Orang kaya yang mengorbankan hartanya untuk orang miskin, akan membantu meringankan beban hidup si miskin. Seorang penguasa yang mengorbankan hawa nafsu dan egonya, dengan meninggalkan korupsi misalnya, akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Kedua, binatang sebagai sesuatu yang disembelih dalam ritual ibadah kurban. Sebagaimana diketahui bahwa binatang merupakan lambang keburukan yang ada pada diri manusia. Allah seringkali menyamakan perilaku buruk manusia dengan binatang. Simbol kedua ini menginginkan pemberdayaan manusia. Manusia haruslah bertindak selaku mahluk yang dianugerahi akal: berpikir dan berperilaku etis. Sifat-sifat dan karakter kebinatangan yang tanpa aturan, seperti menghalalkan segala cara demi kepuasan nafsunya meski harus mendzalimi yang lain, haruslah ditanggalkan.

Ketiga, penggantian posisi Ismail dengan seekor binatang dalam penyembelihan. Ini memberi kita pelajaran tentang betapa berharganya nyawa manusia, dan kita harus menghargainya. Pembunuhan sewenang-wenang terhadap manusia adalah perbuatan terkutuk dan dihukumi dosa besar. Dalam al-Qur’an terdapat pula penjelasan bahwa barang siapa yang menghilangkan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah ia telah menghilangkan nyawa manusia seuluruhnya. Nyawa manusia sungguh penting artinya bagi hidup dan kehidupan.

Simbol ini pula mengusung makna pembebasan manusia dari kesewenang-wenangan manusia atas manusia lainnya. Dalam hal ini tersirat pesan agar manusia tidak lagi merampas ataupun menginjak-injak harkat dan derajat manusia. Selanjutnya, simbol ini ingin menegaskan bahwa Tuhannya Ibrahim tidak haus darah manusia, justru Dia ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.

Demikianlah, ritual ibadah tidak cukup hanya dimengerti kulit luarnya saja, tapi hendaklah pula dipahami makna terdalamnya untuk kemudian diwujudkan sebagai prinsip hidup. Sebab dari situlah kemaslahatan dan kedamaian hidup bisa direngkuh. Ritual ibadah yang dipahami secara dangkal, akan menimbulkan sikap congkak yang bisa jadi berujung pada praktik kekerasan dalam beragama.

Ritual ibadah kurban mengusung makna mulia yang sarat dengan semangat emansipasi kemanusiaan. Betapa indah dan damainya hidup jika setiap orang yang beriman berusaha dan mampu memahami makna kurban dan menerjemahkannya ke dalam bingkai realitas. Maka perayaan Hari Raya Idul Adha tahun ini hendaklah menjadi ajang memuhasabahi diri. Tampaknya, tak perlu menunggu binatang kurban untuk berkurban. Jika tidak mampu bisalah kita berkorban sesuatu yang lain semampu kita yang sekiranya bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Khairunnasi anfa’uhum linnasi.

No comments:

Post a Comment