Berhaji
sejatinya memenuhi panggilan Tuhan, ajang menyucikan diri dari segala “kotoran”
duniawi, membuang ego, dan bertaubat dengan merenungi jati diri sebagai hamba
Allah yang lemah. Berhaji merupakan upaya manusia untuk menjadi hamba Allah
yang baik, arif, egaliter, yang memberikan manfaat pada manusia dan lingkungan
sekitarnya.
Diberitakan,
bahwa setiap tahun para calon jamaah haji Indonesia selalu membludak. Bertambah
tahun, antrean calon jamaah haji kian memanjang. Bahkan, tidak sedikit
orang-orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji sampai dua kali. Pemerintah
hampir selalu dibikin kalangkabut oleh proses pemberangkan calon jamaah haji Indonesia
yang berjumlah besar. Barangkali, ini adalah kabar baik, yang mengisyaratkan
tingginya ghirah orang-orang Indonesia naik haji, dan bahwa akan semakin banyak
orang-orang Indonesia yang arif dan menjadi pioner bagi penegakan nilai-nilai
kemanusiaan.
Secara
bersamaan, kita seringkali dibuat bingung ketika menaburkan pandangan pada
masalah-masalah kebangsaan yang sampai detik ini tak kunjung menemui ujung,
malah semakin runyam saja. Tampak sangat kontras, bahwa di balik antusiasme
orang-orang melakukan ibadah haji, ada masalah-masalah destruktif yang
mengancam jiwa-jiwa kemanusiaan. Salah satu contoh konkretnya, korupsi. Korupsi
telah melemahkan eksistensi bangsa ini di semua lini. Korupsi telah menjadi
akar dari masalah kemiskinan, kelaparan, kekerasan dan keterpurukan bangsa
lainnya. Pendek kata, antusiasme berhaji bangsa ini, yang seharusnya melahirkan
insan-insan arif, belum berbanding lurus dengan kesejahteraan bangsa yang
terkoyak.
Sampai di sini, pertanyaan awam muncul: mengapa di negara yang besar jumlah orang-orang berhajinya, korupsi terus merajalela? Bukankah ibadah haji melahirkan orang-orang arif yang jauh dari perilaku koruptif?
Pada
hakikatnya, ibadah haji membimbing seseorang untuk meningkatkanketakwaannya
kepada Allah, dan menjadi pribadi-pribadi arif yang anggun dalam segala
tindakannya. Perilaku korupsi tentulah bukan cerminan perilaku orang-orang yang
telah menunaikan ibadah haji. Namun, ketika hal itu terjadi, yang perlu
disoroti tentu bukan ibadah hajinya, malainkan orang-orang yang menjalankannya.
Sebab ibadah haji adalah ketentuan Allah sebagai jalan manusia menuju kebaikan,
sementara manusia (pelaku) adalah makhluk lemah yang tak lepas dari kesalahan.
Dalam persoalan haji, tidak sedikit orang-orang tergelincir, terutama dalam
proses awal membangun niat berhaji.
Dengan
tidak bermaksud su’uzhan
(berperasangka buruk), sejauh pengamatan penulis, ada banyak macam motivasi
masyarakat naik haji yang hal tersebut sangat mempengaruhi niat. Di antaranya
adalah perasaan gengsi. Tidak sedikit orang naik haji yang tidak berangkat dari
kesadaran berhaji, melainkan karena menuruti rasa gengsi yang menuntut. Ibadah
haji dilakukan bukan karena ingin memenuhi panggilan Ilahi, melainkan untuk
berbangga diri, meraup kehormatan dan menaikkan kelas sosial di masyarakat. Sungguh,
gaya hedonis, materialis dan rasionalis sebagai reaksi fatal dari era
globalisasi telah membuat ego masyarakat kita kian tebal.
Orang
naik haji yang berangkat dari motivasi semacam ini tidak akan maksimal dan
sulit untuk mencicipi nikmat haji yang sebenarnya. Haji hanya akan menjadi
simbol-simbol yang miskin makna, dan tidak berpengaruh pada perangai seseorang.
Haji lebih pas disebut ngelencer dari
pada memenuhi panggilan suci Ilahi.
Selain
perasaan gengsi, seringkali karena perasaan malu. ‘Orang yang memiliki cukup
biaya untuk naik haji, maka bersegeralah menunaikannya’. Begitulah “hukum” yang
tidak hanya berdengung di lembaran literatur agama, tapi juga dalam kamus
sosial masyarakat kita, terutama hal itu kental di kalangan masyarakat pinggiran.
Sehingga, ketika ada orang kaya yang memiliki cukup biaya namun tak kunjung
berhaji, akan menjadi pergunjingan masyarakat. Menyikapi hal demikian, si kaya
kemudian “terpaksa” naik haji. Bisa ditebak, ia berhaji tidak total, alias
setengah-setengah.
Orang
naik haji dengan motivasi-motivasi lain (tidak murni karena memenuhi panggilan
ilahi), akan sulit menjiwai nilai-nilai egalitarianisme haji. Maka tidak heran,
jika tak ada perubahan antara sebelum haji dan setelahnya; tetap memelihara
rasa iri hati dan dengki, dan melakukan pembiaran terhadap kejahatan-kejahatan
sosial yang terjadi di sekitarnya.
Kita
perlu memikiran fenomena calon jamaah haji kita yang terus membludak, dan
menjaga agar orang-orang Indonesia yang naik haji sesuai tuntunan agama. Kita
terus berharap akan hadirnya orang-orang arif di negeri ini, yang peduli
terhadap masalah-masalah kebangsaan seperti korupsi. Untuk kepentingan ini,
maka peran pemerintah haruslah optimal, terutama dalam hal menyediakan
pelayanan yang baik. Selain itu, pribadi jamaah haji sendiri, hendaklah senantiasa
mengoreksi diri untuk menjadi sesuai dengan tuntunan Allah.
Tampaknya, frasa
“memenuhi panggilan haji” tidak bisa serta merta dimaknai sempit sebagai mendatangi
mekkah dan ber-thawaf di sana, ia
tidak sekadar perkara memiliki biaya atau tidak, melainkan lebih dari itu,
yakni adanya kemantapan hati, niat yang tulus, kesiapan mental, dan usaha
menjadi insan kamil yang diridhoi Allah swt.***
No comments:
Post a Comment