Tuesday, November 13, 2012

Haji dan Kepedulian Sosial

Berhaji sejatinya memenuhi panggilan Tuhan, ajang menyucikan diri dari segala “kotoran” duniawi, membuang ego, dan bertaubat dengan merenungi jati diri sebagai hamba Allah yang lemah. Berhaji merupakan upaya manusia untuk menjadi hamba Allah yang baik, arif, egaliter, yang memberikan manfaat pada manusia dan lingkungan sekitarnya.

Diberitakan, bahwa setiap tahun para calon jamaah haji Indonesia selalu membludak. Bertambah tahun, antrean calon jamaah haji kian memanjang. Bahkan, tidak sedikit orang-orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji sampai dua kali. Pemerintah hampir selalu dibikin kalangkabut oleh proses pemberangkan calon jamaah haji Indonesia yang berjumlah besar. Barangkali, ini adalah kabar baik, yang mengisyaratkan tingginya ghirah orang-orang Indonesia naik haji, dan bahwa akan semakin banyak orang-orang Indonesia yang arif dan menjadi pioner bagi penegakan nilai-nilai kemanusiaan.

Secara bersamaan, kita seringkali dibuat bingung ketika menaburkan pandangan pada masalah-masalah kebangsaan yang sampai detik ini tak kunjung menemui ujung, malah semakin runyam saja. Tampak sangat kontras, bahwa di balik antusiasme orang-orang melakukan ibadah haji, ada masalah-masalah destruktif yang mengancam jiwa-jiwa kemanusiaan. Salah satu contoh konkretnya, korupsi. Korupsi telah melemahkan eksistensi bangsa ini di semua lini. Korupsi telah menjadi akar dari masalah kemiskinan, kelaparan, kekerasan dan keterpurukan bangsa lainnya. Pendek kata, antusiasme berhaji bangsa ini, yang seharusnya melahirkan insan-insan arif, belum berbanding lurus dengan kesejahteraan bangsa yang terkoyak.

Sampai di sini, pertanyaan awam muncul: mengapa di negara yang besar jumlah orang-orang berhajinya, korupsi terus merajalela? Bukankah ibadah haji melahirkan orang-orang arif yang jauh dari perilaku koruptif?

Pada hakikatnya, ibadah haji membimbing seseorang untuk meningkatkanketakwaannya kepada Allah, dan menjadi pribadi-pribadi arif yang anggun dalam segala tindakannya. Perilaku korupsi tentulah bukan cerminan perilaku orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji. Namun, ketika hal itu terjadi, yang perlu disoroti tentu bukan ibadah hajinya, malainkan orang-orang yang menjalankannya. Sebab ibadah haji adalah ketentuan Allah sebagai jalan manusia menuju kebaikan, sementara manusia (pelaku) adalah makhluk lemah yang tak lepas dari kesalahan. Dalam persoalan haji, tidak sedikit orang-orang tergelincir, terutama dalam proses awal membangun niat berhaji.

Dengan tidak bermaksud su’uzhan (berperasangka buruk), sejauh pengamatan penulis, ada banyak macam motivasi masyarakat naik haji yang hal tersebut sangat mempengaruhi niat. Di antaranya adalah perasaan gengsi. Tidak sedikit orang naik haji yang tidak berangkat dari kesadaran berhaji, melainkan karena menuruti rasa gengsi yang menuntut. Ibadah haji dilakukan bukan karena ingin memenuhi panggilan Ilahi, melainkan untuk berbangga diri, meraup kehormatan dan menaikkan kelas sosial di masyarakat. Sungguh, gaya hedonis, materialis dan rasionalis sebagai reaksi fatal dari era globalisasi telah membuat ego masyarakat kita kian tebal.

Orang naik haji yang berangkat dari motivasi semacam ini tidak akan maksimal dan sulit untuk mencicipi nikmat haji yang sebenarnya. Haji hanya akan menjadi simbol-simbol yang miskin makna, dan tidak berpengaruh pada perangai seseorang. Haji lebih pas disebut ngelencer dari pada memenuhi panggilan suci Ilahi.

Selain perasaan gengsi, seringkali karena perasaan malu. ‘Orang yang memiliki cukup biaya untuk naik haji, maka bersegeralah menunaikannya’. Begitulah “hukum” yang tidak hanya berdengung di lembaran literatur agama, tapi juga dalam kamus sosial masyarakat kita, terutama hal itu kental di kalangan masyarakat pinggiran. Sehingga, ketika ada orang kaya yang memiliki cukup biaya namun tak kunjung berhaji, akan menjadi pergunjingan masyarakat. Menyikapi hal demikian, si kaya kemudian “terpaksa” naik haji. Bisa ditebak, ia berhaji tidak total, alias setengah-setengah.

Orang naik haji dengan motivasi-motivasi lain (tidak murni karena memenuhi panggilan ilahi), akan sulit menjiwai nilai-nilai egalitarianisme haji. Maka tidak heran, jika tak ada perubahan antara sebelum haji dan setelahnya; tetap memelihara rasa iri hati dan dengki, dan melakukan pembiaran terhadap kejahatan-kejahatan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Kita perlu memikiran fenomena calon jamaah haji kita yang terus membludak, dan menjaga agar orang-orang Indonesia yang naik haji sesuai tuntunan agama. Kita terus berharap akan hadirnya orang-orang arif di negeri ini, yang peduli terhadap masalah-masalah kebangsaan seperti korupsi. Untuk kepentingan ini, maka peran pemerintah haruslah optimal, terutama dalam hal menyediakan pelayanan yang baik. Selain itu, pribadi jamaah haji sendiri, hendaklah senantiasa mengoreksi diri untuk menjadi sesuai dengan tuntunan Allah.

Tampaknya, frasa “memenuhi panggilan haji” tidak bisa serta merta dimaknai sempit sebagai mendatangi mekkah dan ber-thawaf di sana, ia tidak sekadar perkara memiliki biaya atau tidak, melainkan lebih dari itu, yakni adanya kemantapan hati, niat yang tulus, kesiapan mental, dan usaha menjadi insan kamil yang diridhoi Allah swt.***

No comments:

Post a Comment