Betapa negeri ini malang, ketika tindakan korupsi telah menjelma kebudayaan yang subur. Korupsi bukan hanya masalah mencuri uang negara, tapi lebih dari itu merampas hak-hak orang banyak. Tidaklah berlebihan jika korupsi dipandang sebagai pelanggaran HAM yang mesti dibasmi.
Pemosisian korupsi sebagai kebudayaan bukan tanpa alasan. Banyak hasil survey membuktikan, korupsi telah meraja lela di negeri ini, mulai di tingkat pemerintah pusat, daerah, sampai ke tingkat kelurahan; mulai dari kota hingga kampung pinggiran; mulai dari tingkat elite hingga level akar rumput. Korupsi telah membudaya, akrab dan lekat dengan masyarakat. Memang tidak semua orang melakukan korupsi, tapi efek yang ditimbulkannya bisa dirasakan bersama.
Selain kemiskinan dan pelanggran HAM, ada satu kenyataan paling ditakuti kaitannya dengan budaya korupsi, yaitu masa depan generasi muda. Mengingat seringnya kasus-kasus kasus korupsi menghiasi head-line media massa baik koran, televisi maupun website, tidak menutup kemungkinan akan mencuci otak generasi muda sehingga mereka cenderung menganggap korupsi sebagai kenyataan yang wajar, atau budaya yang legal. Jika hal ini terjadi, maka semakin kecil harapan bangsa ini untuk segera terbebas dari belenggu budaya korupsi yang rumit.
Telah banyak usaha dijalankan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda kepunahan budaya korupsi. Telah banyak para koruptor diungkap dan dimeja-hijaukan, tapi selau muncul generasi koruptor yang lebih muda dan bersemagat. Gugur satu tumbuh seribu. Korupsi rupanya bukan masalah dangkalnya ilmu yang dimiliki seseorang, melainkan karena kecelakaan mental stadium lanjut.
Mengatasi kebudayaan korupsi, tampaknya kita perlu belajar pada teori-teori mengenai penjajahan atau pergeseran budaya. Sebuah budaya itu akan bergeser dan musnah karena tiga hal: bencana alam, peperangan, dan adanya pengaruh kebudayaan lain. Hal pertama dan kedua jelas tidak sesuai dengan keadaan kita saat ini. Bencana alam sudah sering terjadi, sementara peperangan tak akan pernah terjadi. Maka satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan budaya tandingan yang tak kalah tangguh, dalam hal ini, budaya baca.
Diakui atau tidak, sejauh ini, generasi muda kita belum sampai pada tataran membaca sebagai budaya dan kebutuhan. Hal ini bisa dilihat pada hasil survey Taufik Ismail terhadap anak-anak SMA di beberapa negara mengenai jumlah bacaan buku sastra, yang menempatkan anak-anak Indonesia sebagai generasi 0 buku.
Membaca adalah kegiatan menyerap ide, mengasah imaji dan intuisi, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, dan mencari kebenaran suatu masalah. Membaca tidak cukup hanya dengan mengenal huruf dan angka, tapi dibutuhkan kesabaran dan konsentrasi. Menurut Sindhunata, membaca adalah upaya memetik ide dan pelajaran untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Sementara itu, Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jatim mengatakan, bahwa membaca buku itu mengasah kejujuran, baik kejujuran dalam berpikir maupun bertindak. Membaca buku adalah upaya mencari kebenaran, sebab memang tak ada buku yang ditulis berdasar kebohongan. Untuk hasil yang optimal, kegiatan membaca hendaklah dilanjutkan dengan kegiatan menulis dan diskusi.
Alhasil, membaca akan membuat seseorang menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran.
Pemosisian korupsi sebagai kebudayaan bukan tanpa alasan. Banyak hasil survey membuktikan, korupsi telah meraja lela di negeri ini, mulai di tingkat pemerintah pusat, daerah, sampai ke tingkat kelurahan; mulai dari kota hingga kampung pinggiran; mulai dari tingkat elite hingga level akar rumput. Korupsi telah membudaya, akrab dan lekat dengan masyarakat. Memang tidak semua orang melakukan korupsi, tapi efek yang ditimbulkannya bisa dirasakan bersama.
Selain kemiskinan dan pelanggran HAM, ada satu kenyataan paling ditakuti kaitannya dengan budaya korupsi, yaitu masa depan generasi muda. Mengingat seringnya kasus-kasus kasus korupsi menghiasi head-line media massa baik koran, televisi maupun website, tidak menutup kemungkinan akan mencuci otak generasi muda sehingga mereka cenderung menganggap korupsi sebagai kenyataan yang wajar, atau budaya yang legal. Jika hal ini terjadi, maka semakin kecil harapan bangsa ini untuk segera terbebas dari belenggu budaya korupsi yang rumit.
Telah banyak usaha dijalankan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda kepunahan budaya korupsi. Telah banyak para koruptor diungkap dan dimeja-hijaukan, tapi selau muncul generasi koruptor yang lebih muda dan bersemagat. Gugur satu tumbuh seribu. Korupsi rupanya bukan masalah dangkalnya ilmu yang dimiliki seseorang, melainkan karena kecelakaan mental stadium lanjut.
Mengatasi kebudayaan korupsi, tampaknya kita perlu belajar pada teori-teori mengenai penjajahan atau pergeseran budaya. Sebuah budaya itu akan bergeser dan musnah karena tiga hal: bencana alam, peperangan, dan adanya pengaruh kebudayaan lain. Hal pertama dan kedua jelas tidak sesuai dengan keadaan kita saat ini. Bencana alam sudah sering terjadi, sementara peperangan tak akan pernah terjadi. Maka satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan budaya tandingan yang tak kalah tangguh, dalam hal ini, budaya baca.
Diakui atau tidak, sejauh ini, generasi muda kita belum sampai pada tataran membaca sebagai budaya dan kebutuhan. Hal ini bisa dilihat pada hasil survey Taufik Ismail terhadap anak-anak SMA di beberapa negara mengenai jumlah bacaan buku sastra, yang menempatkan anak-anak Indonesia sebagai generasi 0 buku.
Membaca adalah kegiatan menyerap ide, mengasah imaji dan intuisi, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, dan mencari kebenaran suatu masalah. Membaca tidak cukup hanya dengan mengenal huruf dan angka, tapi dibutuhkan kesabaran dan konsentrasi. Menurut Sindhunata, membaca adalah upaya memetik ide dan pelajaran untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Sementara itu, Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jatim mengatakan, bahwa membaca buku itu mengasah kejujuran, baik kejujuran dalam berpikir maupun bertindak. Membaca buku adalah upaya mencari kebenaran, sebab memang tak ada buku yang ditulis berdasar kebohongan. Untuk hasil yang optimal, kegiatan membaca hendaklah dilanjutkan dengan kegiatan menulis dan diskusi.
Alhasil, membaca akan membuat seseorang menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran.
Di negara-negara berperadaban tinggi di dunia, yang minat baca masyarakatnya sangat tinggi, seperti Singapura, Cina, Jepang, Kanada dan lain-lain, nyaris tak ada jalan bagi segala bentuk ketidakjujuran. Kita pun berharap budaya baca akan menggeser dan memunahkan budaya korupsi. Memang tidak mudah jalan ke arah itu, tapi bisa diusahakan dengan keberadaan “keluarga (pecinta) buku” dan pelayanan perpustakaan yang ramah baca. Perpustakaan yang ramah baca tidak hanya berarti bersih dengan sirkulasi udara yang teratur, tapi lebih dari itu, adalah peran pustakawan yang santun, murah senyum dan sapa.
Apakah berarti para koruptor terdidik kita sudah tidak membaca buku? Mungkin mereka masih membaca, tapi sudah lupa bagaimana cara membaca buku yang baik.[]
Apakah berarti para koruptor terdidik kita sudah tidak membaca buku? Mungkin mereka masih membaca, tapi sudah lupa bagaimana cara membaca buku yang baik.[]
Mari kita tingkatkan budaya membaca, agar negeri kita terus maju.
ReplyDelete