Bisa dimaklumi mengapa di era reformasi ini partai-partai yang mengklaim diri sebagai partai Islam menjamur dan bersaing, tak lain adalah karena babak baru sejarah negeri ini, yaitu dengan dibukanya kran demokrasi segera setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang meniscayakan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negaranya, termasuk dalam hal berpolitik. Setiap orang berhak berpolitik, mendirikan partai, ikut Pemilihan Umum (Pemilu), dan menjadi pemimpin negara.
Bagi partai-partai Islam, babakan sejarah baru ini mungkin merupakan sebuah angin segara yang baru berhembus, mengingat dalam sejarah, partai Islam tak pernah menunjukkan performa terbaiknya. Hal tersebut bukan akibat dari tak adanya kompetensi, melainkan system negara yang sudah terpolarisasi yang mengharuskan demikian.[1] Betapapun partai Islam berjuang, karena mereka tidak menguasai sistem, maka tetaplah tak ada kemajuan-kemajuan yang berarti dalam perjalanannya.
Menjamurnya partai-partai Islam, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai bom waktu masa lalu, membawa implikasi-implikasi penting lainnya. Hal yang sangat menarik dan akan menjadi pembahasan dalam risalah sederhana ini, ada terlibatnya kalangat elit tradisional, dalam hal ini kyai ke dalam pusaran politik tanah air. Kyai yang selama ini identik dengan sosok yang alim ilmu agama, meiliki banyak santri, dan bertugas membumikan nilai-nilai luhur agama (Islam), terjun pula ke ranah politik praktis (real politic) yang berliku dan penuh jurang jebakan yang curam. Banyak spekulasi muncul menanggapi hal ini, antara mendukung kyai untuk masuk struktural, atau tetap konsisten di ranah kultural saja. Mengenai mana yang lebih tepat, tentu harus dilihat dari banyak segi, mulai dari motivasi, kompetensi, kemudian menghubungkannya dengan fakta dilapangan.
Islam, Kyai, dan Bargaining Position-nya
Diakui atau tidak, dalam konteks perpolitikan nasional saat ini, agama Islam, kyai dan kharismanya, memiliki posisi tawar yang sangat tinggi di mata masyarakat, terutama masyarakat tradisional pinggiran yang jumlahnya berjibun di Indonesia. Di antara alasannya, pertama, agama disadari bahkan diyakini sebagai media perbaikan kehidupan umat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah kaum Muslim, meihat agama mereka sebagai harapan dan pandangan hidup; semua akan diukur dari sudut pandang agama; ketidaksesuaian dengan spirit agama akan diabaikan. Sebuah partai, yang mengklaim dirinya sebagai partai berlatar agama, dalam hal ini Islam, bisa ditebak akan meraup simpati yang luar biasa dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Kedua, kyai dan kharismanya yang seakan diagungkan di tengah masyarakat, juga sangat penting bagi penggalangan massa. Kyai dengan pesantrennya, tentu memiliki banyak simpatisan yang loyal. Sebab dalam tradisi pesantren, seorang murid atau santri, haruslah sami’na wa atha’na pada kyainya. Sekali sang kyai memerintahkan untuk melakukan sesuatu, maka siapapun akan segera melakukannya tampa banyak tanya. Kepatuhan atau ketundukan, begitu tertanam kuat dalam tradisi pesantren. Bukan perkara mustahil bagi seorang kyai, yang dinilai alim ilmu agama, bagus perilakunya, bersih ucapan-ucapannya, untuk sekadar memfatwakan para santrinya untuk menyatukan suara untuk satu partai.
Kedua alasan ini, telah benar-benar dibaca dengan sangat baik oleh para politikus masa kini, tidak hanya yang berhaluan Islam saja, tetapi juga yang berhaluan nasional tak mau kalah untuk menggandeng para kyai dengan fatwa-fatwanya yang bertuah di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit para kyai yang ‘tergiur’ ke arena politik praktis, meski tak sedikit pula yang tetap konses di ranah kekyaiannya tanpa bersibuk diri di are politik praktis. Biasanya, para kyai digandeng dengan cara diberi posisi dalam kepengurusan partai. Di sini, tentu bukan lagi berbicara kompetensi, melainkan bagaimana nantinya kyai bisa menjadi vote getter, menggalam massa sebanyak-banyaknya, melayangkan fatwa yang menguntungkan partai, dan membuat justifikasi-justifikasi untuk menaikkan elektabilitas partai.
“Sapi Perah”
Terlepas dari posisi tawar kyai yang mentereng, ada sebuah fakta miris yang hampir selalu terjadi di setiap momen politik yang tak bisa diinkari dan telah menjadi rahasia umum, bahwa kyai tidak memiliki peran dominan dalam arah kebijakan partai. Kyai yang pada dasarnya adalah sosok-sosok legowo dan rendah hati sesuai dengan perintah agama, kalah pamor dibanding politikus-politikus yang sebenarnya. Arah kebijakan partai tak kuasa dikendalikan otoritas kekyaian, sebab ia adalah ranah politis yang setiap sesuatu memiliki kemungkinan untuk terjadi, terlepas dari baik-buruknya. Kyai, paling banter hanya memimpin doa setelah rapat pengambilan kebijakan selesai. Mungkin penulis terlalu berlebihan dalam hal ini, tapi begitulah kira-kira untuk menunjukkan betapa kyai tak memiliki taring yang cukup bertuah dalam internal partai.
Menurut hemat penulis, ada sedikitnya dua alasan untuk menjelaskan situasi ini. Pertama, kyai tidak cakap. Terjunnya kyai ke ranah politik praktis biasanya bukan atas dasar keinginan sendiri yang dating dari hati nurani dan bukan pula atas pertimbangan kompetensi yang mumpuni. Terjunnya kyai ke area politik praktis lebih banyak didorong oleh gairah sesaat karena ajakan dari beberapa politikus yang berhasil memikatnya dengan janji-janji politik yang gila.
Kyai pada dasarnya tidak memiliki bekal pendidikan politik yang cukup. Sebab, sedari kecil, kyai yang biasanya menjadi pengganti kyai sebelumya (bisa ayahnya), tumbuh dewasa di pesantren yang sangat tertutup dengan dunia luar, belajar kitab kuning, dan bergumul dengan justifikasi halal-haram dan suci-najis. Bahkan tak jarang-pesantren-pesntren yang semacam ini, memandang haram terhadap rutinitas politik praktis; haram diketahui dan dipraktikkan. Tentu merupakan pengalaman yang sangat baru bagi kyai jika suatu waktu ada ajakan menggiurkan untuk memasuki area panas politik praktis, tanpa berpikir panjang mengenai apa yang bisa mereka lakukan dan kecakapan apa yang mereka punya. Alhasil, para kyai lebih sering menjadi penonton atau pendukung saja ketimbang pemain inti. Meski pun mereka sebenarnya memiliki bakat, tapi proses belajar tentulah tak bisa secepat itu.
Mengingat terjunnya kyai ke arena politik praktis lebih banyak bukan atas pertimbangan kompetensi atau kecakapan, maka penjelasan kedua, kyai hanya lebih banyak dimanfaatkan. Cukup mudah untuk menjelaskan ini. Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak cakap? Mengapa orang cakap direkrut menjadi pengurus partai? Bukannya orang-orang partai atau politikus itu tidak bodoh sehingga tidak perlu merekrut orang-orang yang tidak bisa diandalkan seperti kyai? Jawabannya hanya satu, yang tak lain adalah kyai memiliki massa, kharisma dan fatwa. Kyai dengan pesantrennya, sebagaimana telah sempat disinggung di depan, adalah sosok potensial untuk menggalang massa. Fatwa-fatwanya akan didengar, serta justifikasi-justifikasinya akan dipatuhi tanpa banyak bertanya. Inilah sebenarnya alasan para politikus mengajak kyai ke arena politik praktis sebagai pengurus dari partai yang digawanginya.
Selain itu, banyak apologi-apologi baik yang dibuat kyai sendiri atau yang datang dari luar untuk memantapkan keputusannya menaiki panggung politik praktis. Apologi tersebut tak kurang dari keyakinan kyai akan perlunya memperbaiki sistem dari dalam, tak cukup hanya dari luar; kyai adalah teladan yang diharapkan akan mampu mengayomi masyarakat, sesuai tuntunan agama serta membaca perdamain bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Betulkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya dimunculkan pula konsekuensi-konsekuensi yang perlu dicermati ketika sosok kyai yang disakralkan bermetamorfosis menjadi politisi.
Runtuhnya Kharisma Politik Kiai
Ada sedikitnya dua hal yang perlu dicermati ketika gerbong ulama bermetamorfosis menjadi prolitisi. Pertama, jangan keulamaan bangsa ini akan mengalami deficit deposito moral.[2] Maksud dari hal ini adalah kita akan kehilangan orang-orang yang independent yang memosisikand dirinya di tengah-tengah orang yang bertikai di negeri ini. Kita akan kehilangan orang-orang yang mampu secara adil dan terlepas dari kepentingan-kepentingan apapun yang akan mendamaikan bangsa ini yang multicultural. Kita akan kehilangan orang-orang yang berbicara dari hati nurati tanpa tendensi apapun, yang murni untuk memperbaiki kemaslahatan umat. Meski secara mendasar politik adalah suatu uapaya untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab, tapi dalam knteks negeri ini yang masih belajar demokrasi, masih jauh panggang dari api. Alih-alih untuk memperbaiki umat lewat struktur dan system, poitik hanya manjadi jalan seseorang atau kelompok untuk melancarkan kepentingan-kepentingan yang sepihak.
Tak bisa dipungkiri pula saat ini, hal-hal negatif banyak pula dilakukan oleh kaum terdidik, orang yang pandai agama, pembuat kebijakan dan bahkan para ulama sendiri yang dipandang sakaral itu. Betapa problem di negara ini sangat kompleks. Ketika seseorang masuk ke dunia politik, maka ia telah tidak independen lagi, ia tidak lagi benar-benar bebas dari kepentingan-kepentingannya. Keadilan akan terasa jauh panggang dari api dalam segala tindak-tanduknya.
Ada sebuah ungkapan yang terdengat akrab sekali dalam literatur ilmu politik, bahwa power tends to corrupt, kekuasaan cenderung untuk korup. Politik, dalam hal ini politik praktis, sebagaimana ia adalah media untukmemperoleh dan mempertahankan kekuasaan, maka siapapun yang mulai menyentuhnya, tantangan terberatnya adalah membebaskan diri dari tindakan korup, yang mana hal itu sangat sulit sekali. Hanya ada beberapa orang sakti saja yang bisa membebaskan diri dari segala hal yang berbau korupsi dalam konteks negera kita Indonesia ini. Maka tidak heran, jika masih ada pandangan awam yang dengan tegas dan sinisnya bersikukuh menyatakan bahwa “politik itu kotor”, dan siapa yang memainkannya maka ia tak bersih lagi. Mungkin ini memang berlebihan dan terkesan telah menarik generalisasi yang terlalu tinggi, tapi begitulah pengalaman traumatik masyarakat yang selalu ditunjukk oleh rutinitas-rutinitas kita yang tidak sehat.
Kedua, profesi politisi ternyata jauh lebih ‘menggiurkan’. Para kyai merasa (penulis sebenarnya lebih suka menyebutnya ‘berapologi’), dengan berpolitik meraka akan lebih mudah mewujudkan idealitas dan moralitas. Namun pada kenyataannya, ketika kyai bermetamorfosis menjadi politisi, segera saja mereka kehilangan kebajikan sivilitasnya (the virtue of civility), kehilangan kharisma dan otoritas moral dan larut dalam keruntuhan rasa kemanusiannya yang menghanyutkan.
Kenyataan tersebut bisa di mengerti, mengingat kata Edward Shills (1972), bahwa praktik politik kita bukanlah lahan subur untuk idealitas dan perjuangan moral. Sebab, walau kyai-intelektual di negera pascakolonial telah memiliki ide kebangsaan dalam negerinya sendiri, tapi mereka tidak berhasil menciptakan sebuah bangsa, malah mereka menjadi korban idenya sendiri, yaitu ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarganegaraan (citizenship).[3] Ketika para rohaniawan rakus, dan para kyai atau ulama berbondong-bondong menjadi politisi busuk maka disinilah lahir apa yang disebut the end of morality, sehingga perlu disemai kembali ulama-ulama baru yang bersih dan berkomitmen.
Pada perkembangan selanjutnya, mengingat banyaknya kyai yang terjun ke dunia politik praktis, dan tidak sedikit di antara mereka yang juga cenderung korup dan tidak sesuai janji awalnya yang amat manis, masyarakat pun secara pelan-pelan mulai kurang percara pada orang yang selama ini mereka sangat percayai bahkan pada satu titik mereka sakralkan. Terbuktilah bahwa politik itu kotor, dan kekuasaan itu memang cenderung untuk korup. Sebuah pandangan yang sangat miris saat ini mengemuka di tengah masyarakat bahwa “mereka yang tidak korupsi, hanya belum mendapat kesempatan saja”.
Tentu miris hati ini ketika harus mendengar ungkapan pesimistis yang sedemikian dalamnya tersebut. Tampak bahwa di negera yang luas ini, tak ada sosok-sosok yang bisa diharapkan lagi untuk menjadi pemimpin yang pro-rakyat dan berjuangan atas idealitas dan moralitas. Meski jumlah perwakilan partai Islam di parleman tidak bisa dibilang sedikit, tapi sampai sekarang, mereka yang katanya taat beragama itu, dan katanya berjuang di jalan yang lurus sesuai tuntunan agama yang hanif, mereka belum bisa melakukan terobosan-terobosan berarti, yang ada malah beramai-ramai mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk korupsi miliaran rupiah. Kita bisa menunjuk banyak figure dari partai berlatar agama dalam hal ini, atau kyai. Kegagalan kyai untuk memperbaiki citra politik yang suram dewasa ini telah menyisakan pengalaman yang traumatik dalam benak masyarakat. Fatwa-fatwa para kyai politik tak lagi bertuah.
Kesimpulan
Adalah merupakan satu hal yang sangatlah mulia, ketika ada seseorang yang tergerak hatinya untuk meujudkan idealitas dan memperjuangkan moralitas masyarakat. Tak peduli itu akan diwujudkan lewat jalan structural atau politik praktis, maupun jalan kultural, sebuah gerakan di luar politik praktis. Kita harus memandang optimis kepada setiap orang yang bertekad membawa masyarakat negeri ini menuju taraf kehidupan yang lebih baik, termasuk ketika harus lewat politik praktis, karena pada hakikatnya, politik adalah untuk membangun manusia menjadi adil dan beradab.
Dalam politik praktis, semua dari kita maklum, segala sesuatu memiliki kemungkinan yang sama untuk berwujud, bisa berubah ubah cepat maupun lambat. Hal tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari prinsip politik yang berupaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Intrik politik, yang terkadang tak sehat, tidak menutup kemungkinan untuk terjadi. Kita semua tahu akan hal itu. Sesuatu menjadi heboh dan mengguncang naluri, ketika di abad XXI banyak kalangan kyai, yang sehari-harinya dikenal sebagai pengasuh para santri, alim ilmu agama, baik budi pekertinya, dan terbebas dari kepentingan-kepentingan duniawi. Tentulah bukan otoritas kita untuk menyalahkan para kyai yang bergairah masuk ke dunia politik praktis, sebab itu adalah hak semua warga negara dan merupakan bagian penting dari proses belajar demokrasi kita yang perlu dijunjung tinggi. Tapi bagaimanapun kita tetap perlu mempertanyakan ketahanan kyai yang lemah lembut dan jujur dalam arus politik praktis negeri ini yang kacau-balau.
Berdasarkan pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kyai, meskipun boleh, tapi tak seharusnya berpolitik praktis. Politik praktis adalah lahan para politisi saja. Sementara kyai, yang sebenarnya juga sangat bisa jadi politisi, lebih baik jika tetep menjadi sosok yang independen dan menjaga nilai dan norma-norma, serta bebas dari tendensi apapun. Sebab ketika kyai berpolitik praktis, kemudian kehilangan kebajikan civilitasnya, maka kepada siapa lagi masyarakat akan mengadukan segala kegundahan batin yang sebenarnya jauh lebih penting. Ungkapan memperbaiki dari dalam (sistem), hanyalah merupakan sebuah apologi saja, dan pada praktiknya, kyai sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak bisa—menjaga diri dari kecenderungan kekuasaan yang korup.
Bagaimanapun, ini adalah sebuah karya tulis yang tidak kebal kritik atau debatable. Kekurangan dan kelebihan bisa saja terjadi dalam banyak sisinya. Kita tetap berharap semoga masih ada tangan-tangan yang ‘tebersit’ hatinya untuk berkomitmen menyehatkan dan membersihkan citra politik tanah air yang sekarang sedang sengkarut, baik yang berhaluan agama maupun yang nasionalis. Tentu itu diperlukan kerja-kerja cerdas dan kreatif serta tanpa tendensi apapun. Karena hanya dengan demikian, kita bisa memperbaiki sistem yang tidak kondusif. Hal ini mungkin lama, tapi gabaimanapun, harus ada seseorang yang mengambil langkah pertama.
End Notes:
[1] Lebih jauh lihat Zainuddin Maliki, Politikus Busuk; Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik (Yogyakarta: Galang press, 2004), hlm. 184-186.
[2] Sigmund Freud, dalam Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono, Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara (Yogyakarta: Jalasurta, 2004), hlm. 11.
[3] Lewat Komaruddin Hidayat, hlm. 13.
No comments:
Post a Comment