Dalam sebuah organisasi, bagaimanapun kapasitasnya, apakah itu organisasi
relawan, ekstra kampus, warung makan, atau perusahaan, ada satu kata kunci yang
terkenal belakangan ini yang disebut dengan passion. Apakah passion itu?
Pernahkah Anda melihat orang-orang yang malas-malasan dalam bekerja,
baik itu mengerjakan pekerjaan rumah, atau tugas organisasi, dan kenyataan
banyaknya para karyawan 'nakal' di sebuah perusahaan, pegawai negeri sipil yang
ngelencer saat jam kerja? Itu merupakan suatu fenomena kerja yang tidak
memiliki sentuhan dingin dari apa yang saya sebut tadi dengan passion. Ya,
passion itu adalah semangat, tntuk bekerja dalam hal apapun, baik itu berupah
maupun tidak.
Passion memberikan kenyamanan dan kenikmatan pada seseorang dalam
bekerja. Passion mengajarkan seseorang mengerti apa yang seharusnya dikerjakan,
signifikansinya, dan mengerti tentang siapa yang akan senang ketika kita
mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, dan sebaliknya. Passion adalah
kekuatan yang profit dalam suksesi program-program kerja sebuah organisasi.
Tanpanya, organisasi akan mandeg, kehilangan taring, dan tidak bisa memberikan
kontibusi apapun baik bagi pelaku organisasi itu sendiri maupun orang lain
secara luas.
Menurut Louis Sastrawijaya, seorang motivator ulung kenamaan kita,
setidaknya ada tiga hal untuk menumbuhkan passion tersebut. Pertama, berusaha
untuk selalu menikmati pekerjaan dalam situasi dan kondisi apapun. Kedua,
semangat untuk terus berkembang, berubah, dan memberikan kontribusi positif.
Dalam hal ini juga bisa dimasukkan rasa tidak puas dan selalu haus kemajuan dengan
berkontribusi positip pada orang lain. Ketiga, memahami nilai (value) dalam
malakukan suatu pekerjaan.
Maksud yang terakhir ini, seseorang tidak asal bekerja, tapi harus
memahami betul nilai apa yang bisa didapat dari pekerjaan itu. Misalnya, banyak
orang yang akan bahagia karena terselamatkan dengan pekerjaan tersebut, atau
bernilai pengabdian pada bangsa dan negara. Haltersebut dengan sendiri akan
menjadi kekuatan besar bagi setiap orang dalam menuntaskan segala tanggung
jawab yang berada dipundaknya.
Meskipun nanti ternyata ada orang yang bekerja secara terpaksa, karena
desakan kebutuhan ekonomi, misalnya, tidak boleh tidak mind set pikiran harus
diubah dan diperbarui. Sebab jika tidak demikian, pekerjaan akan terasa amat
sulit dan menyiksa, sehingga dalam kadaan seperti itu tak bisa diharapkan
darinya suatu hasil pekerjaan yang baik dan positif.
Perasaan Bersalah
Makna harfiah dari sense of guilty adalah perasaan bersalah. Istilah
ini telah umum digunakan untuk menunjukkan ikhtiar seseorang yang selalu
mengevaluasi kinerjanya dan senantiasa untuk selalu melakukan yang lebih baik
dan lebih baik lagi.
Jika boleh saya mengatakan, maka perasaan bersalah itu merupakan modal
awal untuk menjadi pemimpin yang baik. Barangkali Anda bingung dengan maksud
saya ini, mengingat pemimpin seharusnya percaya diri, bukan justru merasa
bersalah yang berpotensi menjadi penyebab terbengkalainya sebuah pekerjaan.
Tapi, mari saya jelaskan lebih jauh. Mudah-mudahan Anda paham maksud saya.
Saya akan mulai menjelaskan dengan cara bertanya pada Anda terlebih
dahulu, sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana respon anda ketika melihat orang
yang berlagak paling benar seduania, bagai tak pernah melakukan kesalahan atau
lalai sedikit pun, seperti seorang malaikat? Jika Anda orang baik-baik dan
waras, tampaknya tak perlu saya menunggu jawaban Anda, saya sudah bisa
menebaknya tak jauh dari yang satu ini: jengkel.
Sejatinya tak pernah ada orang yang tidak pernah lalai dalam dalam
hidupnya, sebagaimana manusia diciptakan sebagai mahluk yang lemah (dha’if).
Yang sempurnah dan tidak pernah salah hanyalah Allah semata, tak ada duanya.
Nabi Muhammad saja, yang kita junjung tinggi dan dimuliakan oleh Allah, juga
tak lepas dari yang namanya kesalahan. Mengenai Nabi Muhammad, salah satunya
kita bhsa menunjuk teguran Allah kepada beliau ketika mengatakan “ya” dalam
membuat janji dengan seseorang, seharusnya beliau menjawab “insyaallah”, sebab
Allahlah yang maha mengatur segala sesuatu.
Hal ini memang sepele, tapi bagaimanapun hal ini menunjukkan betapa
lemahnya manusia sehingga tak luput dari kesalahan. Tapi memang, kebanyakan
manusia di abad ini enggan untuk mengakui kesalahannya, selalu menganggap
dirinya paling benar, seakan kesalahan hanyalah milik orang lain. Apa ini
namanya kalau bukan kesombongan seorang manusia? Ia berarti berusaha menyaingi
Allah yang tak tersaingi.
Keadaan tersebut tentu tak akan pernah terjadi pada orang-orang yang
maju dan berdaya saing. Sebab mereka selalu mengeveluasi diri, mencari
kesalahan diri, lalu memperbaikinya dan mempersiapkan proyeksi-proyeksi matang
untuk hari esok. Mereka tidak sombong, mengaku salah jika memang salah, dan
siap menerima teguran dan belajar pada siapapun tanpa pandang bulu. Orang
sukses tidak cukup sukses secara materi, tidak hanya berarti mendapatkan apapun
yang dia ingin, melainkan merasakan ketenangan batin, dan mendapatkan tempat
yang baik dalam masyarakat sekitarnya.
Maka dari itu, untuk mencapai kemajuan, kita harus pandai-pandai
mengakui kesalahan. Tentu saja, mengakui kesalahan setelah adanya alasan-alasan
yang bisa diterima. Mengaku salah jika memang sama sekali tidak merasa
melakukan kesalahan itu juga tidak baik, berarti lemah, dan akan merasa selalu
terganggu. Namun bisa saja begitu, asal untuk meredakan ketegangan atau
mengakhiri perselisihan demi kekompakan bersama.
Sense of guilty yang dimaksud adalah perasaan bersalah terhadap sebuah
kelalaian sekecil apapun lalu berusaha memperbaikinya. Menunurut hemat saya,
ini adalah modal utama untuk menjadi pribadi yang maju dan pemimpin yang
berkarakter. Sense of guilty, jika diperhatikan secara seksama, pada titik
tertentu meniscayakan adanya rasa tanggung
jawab yang tinggi. Anda pasti setuju, jika saya mengatakan bahwa si Paijo itu
adalah orang yang bertanggung jawab sebab ia merasa bersalah ketika tidak
menjemput adiknya yang pulang sekolah sebagaimana tugas yang diberikan padanya
oleh orang tuanya.
Tidak hanya itu, perasaan bersalah tak cukup hanya sebatas pearasaan
tanpa makna, apalagi berakibat kerugian pada orang lain. Perasaan bersalah
harus dibarengi dengan permintaan maaf untuk kemudian diperbaiki dan tidak
mengulangi kembali.
Jika tidak demikian, maka lupakankanlah cita-cita untuk menjadi orang
sukses. Yang ada, kita hanya akan dikucilkan, menjadi bahan pembicaraan orang,
dan tidak mendapat kepercayaan orang karena kita dicap sebagai ‘orang nakal’.
Keadaan ini akan menyulitkan kita untuk menyongsong hari esok.
Sekali lagi, padai-pandailah mengoreksi kesalahan diri sendiri, meminta
maaf, dan selalu berusaha mengerjakan yang terbaik, terutama untuk kepentingan
orang lain (termasuk organisasi), bukan untuk pribadi dan golongan yang
bersifat parsial.***
No comments:
Post a Comment