Ada apa dengan bahasa Indonesia kita? Apakah ia sedang dalam
masalah berat, sehingga kita harus menyelamatkannya? Ini adalah beberapa
pertayaan untuk mengawali tulisan yang merupakan sebuah refleksi ini.
Disadari atau tidak, keberadaan bahasa Indonesia kita
semakin hari semakin menghawatirkan. Ia tak ubahnya orang tua, yang dihantam di
sana-sini oleh orang-orang muda tak diundang. Ia seharusnya awet muda, tapi apa
mau dikata, tak ada yang peduli dengannya. Angin hedonisme dan konsumerisme pun
berhembus kencang menerpanya, sehingga ia harus segera mencari pegangan yang
kuat sebelum terlambat.
***
Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar
nasional di lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di Gedung
Self Access Centre (SAC) lantai 3. Seminar seputar perpolitikan nasional itu
mengundang beberapa narasumber yang semuanya terdiri dari dosen IAIN Sunan
Ampel, semuanya adalah akademisi.
Seminar berjalan dengan lancar. Namun tiba-tiba saya merasa
gelisah, ada beberapa kata-kata yang dilontarkan narasumber yang terdengar
kurang pas. Ini bukan masalah SARA, tapi semata-mata masalah penggunaan bahasa
Indonesia yang baik. Ya, saya berpikir bahwa narasumber itu kurang bisa
(mungkin karena kurang biasa) menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Mengapa
saya berpikir demikian, akan saya tunjukkan.
Disadari atau tidak, sangat jelas saya mendengar salah
seorang narasumber beberapa kali mengatakan “kepingin” (untuk kata “ingin”).
Padahal, kata tersebut tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
artinya kata itu salah. Yang benar adalah “ingin”. Memang saya mengerti dengan
kata itu, tapi sebagai mahasiswa yang berusaha belajar bahasa Indonesia dengan
baik, wajarlah jika saya gelisah. Apalagi, kata yang salah itu dilontarkan oleh
seorang akademisi (well-educated) di forum yang sangat formal seperti seminar
ini. Memang hal ini sepele, tapi kita tentu harus terbiasa dengan perkara yang
sepele itu.
Ini hanya contoh kecil saja, yang terjadi pada orang-orang
yang seharusnya menjadi rujukan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang
baik. Melihat kesalahan yang dibuat oleh seorang akademisi di atas, meski
sifatnya ringan, bisalah kita mengira-ngira bagaimana bahasa Indonesia di
tangan orang yang tidak berpendidikan, lebh-lebih kalangan muda dan anak-anak
yang suka meniru (modelling).
Menilik bahasa-bahasa yang banyak digunakan oleh anak-anak
dan kaum muda sekarang, akan jelas bahwa mereka lebih banyak belajar dari
televisi dari pada guru bahasa Indonesianya di sekolah. Menurut mereka, bahasa
Indonesia yang mereka gunakan adalah bahasa gaul, dan sesuai zaman (up to
date). Kita bisa melihat bagaimana ketika mereka mengatakan loe-gue
(saya-kamu), kamseupay (singkatan dari: kampungan sekali uh payah), lengkap
dengan gaya-gayanya yang khas dan, jujur saja, menggemaskan. Bahasa versi ini
tak ada kaidah bakunya, sehingga bisa dikatakan ia bukan bahasa Indonesia yang
baik.
Hal ini tentu bukanlah masalah, jika dibarengi dengan
pengetahuan bahasa Indonesia yang mumpuni. Sehingga, seseorang bisa bisa
membedakan mana bahasa Indonesia yang baik (versi aslinya) dan mana bahasa
Indonesia yang hancur (versi gaulnya). Namun, kenyataan yang ada, mereka yang suka
memakai bahasa Indonesia versi gaul, tidak tahu versi aslinya. Mungkin
kesimpulan ini terlalu tajam. Tapi, cukuplah kesalahan yang diperbuat oknum
akademisi di atas sebagai ukuran.
Problem ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh bahasa
Indonesia, bahasa-bahasa yang lain pun menghadapi problem yang sama. Namun, di
sini saya tidak bermaksud menyinggung apa yang dikatakan para ahli bahasa
sebagai perkembangan bahasa. Sebab perkembangan bahasa itu harus melewati jalan
berliku nan panjang, dengan kaidah-kaidah yang diatur secara khusus. berbeda dengan kasus bahasa versi
gaul sebagaimana diganderungi kaum muda yang modis.
Kasus Bahasa Arab
Di antara bahasa-bahasa itu, adalah bahasa Arab. Dalam
bahasa Arab, bahasa asli disebut sebagai bahasa yang fasih (fusha), dah bahasa
versi gaul disebut bahasa pasaran (‘amiyah). Contoh bahasa yang pasaran yaitu
kata lisy (untuk apa), dan bahasa fusha-nya adalah liayyi syai’in (untuk apa).
Menurut Prof Saidun Fiddaroini, bahasa ‘amiyah atau pasaran
dalam bahasa Arab sejatinya adalah perusakan terhadap bahasa yang benar atau
fusha. Bahasa Arab disingkat-singkat sedemikia rupa, atau hanya diambil
inisialnya saja. Dala konteks bahasa Arab, bahasa fusha adalah bahasa yang
benar, akademis, dan formal, dan bahasanya para bangsawan. Sementara bahasa
‘amiyah adalah bahasa yang tak ada dasar kaidahnya, bahasa pasar, dan
orang-orang yang tak terdidik yang biasanya menggunakan bahasa ini.
Namun, seperti di Indonesia, menurut Prof Saidun bahasa Arab
‘amiyah ini menjadi trend yang memiliki nilai gengsi tersendiri. Sehingga ada
beberapa institusi yang berkehendak untuk mempelajari bahasa ‘amiyah ini
walaupun bahasa Arab fusha sudah dipelajari sekian lama. Keadaan ini oleh Prof
Saidun dikatakan sebagai langkah mundur. Sebab, bahasa ‘amiyah biasanya
dipelajari oleh masyarakat awam yang tak memiliki dasar bahasa Arab yang kuat,
dan sejatinya sebagai pengantar menuju bahasa yang fusha.
Nah, ketika seseorang yang sudah belajar bahasa Arab fusha
mau belajar bahasa ‘amiyah, itu adalah langkah mundur. Bahasa Arab fusha
nilainya jauh lebih tinggi dari bahasa ‘amiyah itu. Memang tak dapat
dipungkiri, karena hembusan budaya hedonisme yang masif, masyarakt kita lebih
bangga dengan bahasa pasaran yang krisis identitas.
Kasus bahasa Arab ini kurang lebih sama dengan kasus bahasa
Indonesia, kaitannya dengan versi asli dan gaul. Bahasa gaul tak ubahnya bahasa
yang hanya merusak tatanan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa yang gaul telah
membuat anak bangsa malas untuk mengetahui kaidah bahasa Indonesia yang benar.
Tanpa sadar, bahasa Indonesia versi gaul ini, telah merasuk begitu dalam ke
tubuh bangsa ini, sehingga, seorang akademis sekalipun, sesekali teracuni
bahasa yang merusak ini.
Bahasa Indonesia versi gaul ini sangat diganderungi oleh
kaum muda kita bahkan yang masih anak-anak sekalipun. Dari masalah ini, jika
kita berpikir secara sehat, maka kaum muda kita sedang mengalami penyakit
'kemunduran berbahasa'.
Dari Kita untuk Bahasa Indonesia
Usaha-usaha kita untuk menyelamatkan bahasa Indonesia bisa
bersifat personal maupun kolektif. Di sini ada beberapa hal yang mungkin akan
sedikit membantu membela bahasa Indonesia dari usaha pengrusakan dari
pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Pertama yang bisa dilakukan adalah membaca buku secara
intensif. Hal ini akan membantu kita memperbaiki bahasa, sehingga kita
mengalami kedewasaan berbahasa dalam arti yang sebenarnya. Dengan banyak
membaca buku, kita akan berhadapan dengan kalimat-kalimat yang baku dan sesuai kaidah. Jia ada beberapa
kata yang kukrang bisa dimengerti, maka pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
ataupun KBBI bisa menjadi rujukan.
Selanjutnya, yakni membiasakan diri berdiskusi. Hal ini
masih paralel dengan usaha membaca buku. Dengan banyak membaca, maka akan
banyak pula bahan yang didapat, sehingga bahan itu akan memainkan perannya
dengan sangat baik dalam diskusi. Diskusi, baik formal maupun informal,
mengajarkan kita bangaimana mengemukakan pendapat, tentunya dalam hal ini menggunakan
bahasa Indonesia yang baik. Sebab, jika hanya membaca buku, terkadang kita
mengalami kesulitan dalam mengungkap kannya.
Berdiskusi dilanjutnya dengan menulis. Menulis yang dimaksud
bisa di buku harian ataupun di koran dan majalah lokal maupun nasional. Namun,
menulis di koran atau majalah tentu lebih baik, sebab karya kita secara
keseluruhan (mencakup ide dan bahasa) benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.
Tak ada koran atau majalah profesional (keucali hanya majalah remaja yang
berorientasi pasar) yang ditulis dengan bahasa Indonesia versi gaul.
Keluarga dan lembaga pendidikan memainkan peran sangat
penting di sini. Usaha membaca, menulis dan berdiskusi bisa dikemas dalam
banyak cara yang elegan. Orang tua dan para pendidik, dituntut untuk kreatif,
dan tentunya, pertama sekali, merekalah yang memberikan contoh yang baik dalam
berbahasa Indonesia.
Dengan demikian, harapan kita akan terjaganya bahasa
Indonesia tidaklah berlebihan. Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas
penting kita sebagai bangsa Indonesia, maka dari itu ia haruslah di jaga. Jika
tidak, maka kita terancam jatuh ke jurang krisis identitas. Awalnya mungkin
bahasa Indonesia yang tercerabut, maka apa selanjutnya, siapa yang tahu? Save
our nation’s herritage! Wallahu a’lam bisshawaab.***
No comments:
Post a Comment