Friday, December 21, 2012

Menyelamatkan Bahasa Indonesia

Ada apa dengan bahasa Indonesia kita? Apakah ia sedang dalam masalah berat, sehingga kita harus menyelamatkannya? Ini adalah beberapa pertayaan untuk mengawali tulisan yang merupakan sebuah refleksi ini.

Disadari atau tidak, keberadaan bahasa Indonesia kita semakin hari semakin menghawatirkan. Ia tak ubahnya orang tua, yang dihantam di sana-sini oleh orang-orang muda tak diundang. Ia seharusnya awet muda, tapi apa mau dikata, tak ada yang peduli dengannya. Angin hedonisme dan konsumerisme pun berhembus kencang menerpanya, sehingga ia harus segera mencari pegangan yang kuat sebelum terlambat.

***

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar nasional di lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di Gedung Self Access Centre (SAC) lantai 3. Seminar seputar perpolitikan nasional itu mengundang beberapa narasumber yang semuanya terdiri dari dosen IAIN Sunan Ampel, semuanya adalah akademisi.

Seminar berjalan dengan lancar. Namun tiba-tiba saya merasa gelisah, ada beberapa kata-kata yang dilontarkan narasumber yang terdengar kurang pas. Ini bukan masalah SARA, tapi semata-mata masalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Ya, saya berpikir bahwa narasumber itu kurang bisa (mungkin karena kurang biasa) menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Mengapa saya berpikir demikian, akan saya tunjukkan.


Disadari atau tidak, sangat jelas saya mendengar salah seorang narasumber beberapa kali mengatakan “kepingin” (untuk kata “ingin”). Padahal, kata tersebut tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya kata itu salah. Yang benar adalah “ingin”. Memang saya mengerti dengan kata itu, tapi sebagai mahasiswa yang berusaha belajar bahasa Indonesia dengan baik, wajarlah jika saya gelisah. Apalagi, kata yang salah itu dilontarkan oleh seorang akademisi (well-educated) di forum yang sangat formal seperti seminar ini. Memang hal ini sepele, tapi kita tentu harus terbiasa dengan perkara yang sepele itu.

Ini hanya contoh kecil saja, yang terjadi pada orang-orang yang seharusnya menjadi rujukan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Melihat kesalahan yang dibuat oleh seorang akademisi di atas, meski sifatnya ringan, bisalah kita mengira-ngira bagaimana bahasa Indonesia di tangan orang yang tidak berpendidikan, lebh-lebih kalangan muda dan anak-anak yang suka meniru (modelling).

Menilik bahasa-bahasa yang banyak digunakan oleh anak-anak dan kaum muda sekarang, akan jelas bahwa mereka lebih banyak belajar dari televisi dari pada guru bahasa Indonesianya di sekolah. Menurut mereka, bahasa Indonesia yang mereka gunakan adalah bahasa gaul, dan sesuai zaman (up to date). Kita bisa melihat bagaimana ketika mereka mengatakan loe-gue (saya-kamu), kamseupay (singkatan dari: kampungan sekali uh payah), lengkap dengan gaya-gayanya yang khas dan, jujur saja, menggemaskan. Bahasa versi ini tak ada kaidah bakunya, sehingga bisa dikatakan ia bukan bahasa Indonesia yang baik.

Hal ini tentu bukanlah masalah, jika dibarengi dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang mumpuni. Sehingga, seseorang bisa bisa membedakan mana bahasa Indonesia yang baik (versi aslinya) dan mana bahasa Indonesia yang hancur (versi gaulnya). Namun, kenyataan yang ada, mereka yang suka memakai bahasa Indonesia versi gaul, tidak tahu versi aslinya. Mungkin kesimpulan ini terlalu tajam. Tapi, cukuplah kesalahan yang diperbuat oknum akademisi di atas sebagai ukuran.

Problem ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh bahasa Indonesia, bahasa-bahasa yang lain pun menghadapi problem yang sama. Namun, di sini saya tidak bermaksud menyinggung apa yang dikatakan para ahli bahasa sebagai perkembangan bahasa. Sebab perkembangan bahasa itu harus melewati jalan berliku nan panjang, dengan kaidah-kaidah yang diatur secara  khusus. berbeda dengan kasus bahasa versi gaul sebagaimana diganderungi kaum muda yang modis.

Kasus Bahasa Arab

Di antara bahasa-bahasa itu, adalah bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, bahasa asli disebut sebagai bahasa yang fasih (fusha), dah bahasa versi gaul disebut bahasa pasaran (‘amiyah). Contoh bahasa yang pasaran yaitu kata lisy (untuk apa), dan bahasa fusha-nya adalah liayyi syai’in (untuk apa).

Menurut Prof Saidun Fiddaroini, bahasa ‘amiyah atau pasaran dalam bahasa Arab sejatinya adalah perusakan terhadap bahasa yang benar atau fusha. Bahasa Arab disingkat-singkat sedemikia rupa, atau hanya diambil inisialnya saja. Dala konteks bahasa Arab, bahasa fusha adalah bahasa yang benar, akademis, dan formal, dan bahasanya para bangsawan. Sementara bahasa ‘amiyah adalah bahasa yang tak ada dasar kaidahnya, bahasa pasar, dan orang-orang yang tak terdidik yang biasanya menggunakan bahasa ini.

Namun, seperti di Indonesia, menurut Prof Saidun bahasa Arab ‘amiyah ini menjadi trend yang memiliki nilai gengsi tersendiri. Sehingga ada beberapa institusi yang berkehendak untuk mempelajari bahasa ‘amiyah ini walaupun bahasa Arab fusha sudah dipelajari sekian lama. Keadaan ini oleh Prof Saidun dikatakan sebagai langkah mundur. Sebab, bahasa ‘amiyah biasanya dipelajari oleh masyarakat awam yang tak memiliki dasar bahasa Arab yang kuat, dan sejatinya sebagai pengantar menuju bahasa yang fusha.

Nah, ketika seseorang yang sudah belajar bahasa Arab fusha mau belajar bahasa ‘amiyah, itu adalah langkah mundur. Bahasa Arab fusha nilainya jauh lebih tinggi dari bahasa ‘amiyah itu. Memang tak dapat dipungkiri, karena hembusan budaya hedonisme yang masif, masyarakt kita lebih bangga dengan bahasa pasaran yang krisis identitas.

Kasus bahasa Arab ini kurang lebih sama dengan kasus bahasa Indonesia, kaitannya dengan versi asli dan gaul. Bahasa gaul tak ubahnya bahasa yang hanya merusak tatanan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa yang gaul telah membuat anak bangsa malas untuk mengetahui kaidah bahasa Indonesia yang benar. Tanpa sadar, bahasa Indonesia versi gaul ini, telah merasuk begitu dalam ke tubuh bangsa ini, sehingga, seorang akademis sekalipun, sesekali teracuni bahasa yang merusak ini.

Bahasa Indonesia versi gaul ini sangat diganderungi oleh kaum muda kita bahkan yang masih anak-anak sekalipun. Dari masalah ini, jika kita berpikir secara sehat, maka kaum muda kita sedang mengalami penyakit 'kemunduran berbahasa'.

Dari Kita untuk Bahasa Indonesia

Usaha-usaha kita untuk menyelamatkan bahasa Indonesia bisa bersifat personal maupun kolektif. Di sini ada beberapa hal yang mungkin akan sedikit membantu membela bahasa Indonesia dari usaha pengrusakan dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Pertama yang bisa dilakukan adalah membaca buku secara intensif. Hal ini akan membantu kita memperbaiki bahasa, sehingga kita mengalami kedewasaan berbahasa dalam arti yang sebenarnya. Dengan banyak membaca buku, kita akan berhadapan dengan kalimat-kalimat  yang baku dan sesuai kaidah. Jia ada beberapa kata yang kukrang bisa dimengerti, maka pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) ataupun KBBI bisa menjadi rujukan.

Selanjutnya, yakni membiasakan diri berdiskusi. Hal ini masih paralel dengan usaha membaca buku. Dengan banyak membaca, maka akan banyak pula bahan yang didapat, sehingga bahan itu akan memainkan perannya dengan sangat baik dalam diskusi. Diskusi, baik formal maupun informal, mengajarkan kita bangaimana mengemukakan pendapat, tentunya dalam hal ini menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Sebab, jika hanya membaca buku, terkadang kita mengalami kesulitan dalam mengungkap kannya.

Berdiskusi dilanjutnya dengan menulis. Menulis yang dimaksud bisa di buku harian ataupun di koran dan majalah lokal maupun nasional. Namun, menulis di koran atau majalah tentu lebih baik, sebab karya kita secara keseluruhan (mencakup ide dan bahasa) benar-benar bisa dipertanggung jawabkan. Tak ada koran atau majalah profesional (keucali hanya majalah remaja yang berorientasi pasar) yang ditulis dengan bahasa Indonesia versi gaul.

Keluarga dan lembaga pendidikan memainkan peran sangat penting di sini. Usaha membaca, menulis dan berdiskusi bisa dikemas dalam banyak cara yang elegan. Orang tua dan para pendidik, dituntut untuk kreatif, dan tentunya, pertama sekali, merekalah yang memberikan contoh yang baik dalam berbahasa Indonesia.

Dengan demikian, harapan kita akan terjaganya bahasa Indonesia tidaklah berlebihan. Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas penting kita sebagai bangsa Indonesia, maka dari itu ia haruslah di jaga. Jika tidak, maka kita terancam jatuh ke jurang krisis identitas. Awalnya mungkin bahasa Indonesia yang tercerabut, maka apa selanjutnya, siapa yang tahu? Save our nation’s herritage! Wallahu a’lam bisshawaab.***

No comments:

Post a Comment