BEBERAPA tahun terakhir, keberadaan
olahraga kita masuk dalam fase-fase yang kurang menggembirakan. Daya gedor
olahraga negeri ini sangat lemah, kehilangan taringnya, berbeda dengan kisaran
tahun 80 sampai 90-an di mana olahraga kita menjadi aset negeri yang bisa
dibanggakan.
Ada banyak hal yang menyebabkan
keterpurukan olahraga kita, di antaranya, pertama,
keadaan ekonomi yang tidak stabil. Keadaan ini terutama terjadi setelah terpaan
krisis moneter menyelimuti negeri ini
pada tahun 1999. Akibat krisis itu, harga barang-barang melonjak naik, banyak
orang yang kehilangan pekerjaan, dan
angka pengangguran terus membengkak. Krisis ini telah mengubah wajah negeri
hampir dalam segala lini, termasuk olahraga. Bisa dilihat setelah itu, betapa
dinamika olahraga kita mulai tersendat-sendat.
Kedua, kemiskinan.
Pasca-krisis moneter, Indonesia menjadi rentan. Problem yang sampai kini tak
terselesaikan adalah kemiskinan. Problem ini terus merambah pada yang lain,
seperti akses pendidikan yang tidak merata, banyak anak negeri yang putus
sekolah dan banting setir ke dunia kerja. Kemiskinan ini kemudian mempengaruhi
kualitas sumber daya Indonesia. Banyak potensi anak negeri yang tak
terakomodir. Dalam kondisi yang berat seperti itu, adakah orang yang masih sudi
mengurus olahraga yang–menurut sebagian kita—kurang penting? Walaupun ada, bisa
ditebak, hasilnya tak akan maksimal.
Ketiga, bau anyir
politik. Terutama belakangan ini, ketika konstelasi politik nasional kehilangan
arah, maka banyak manuver-manuver radikal yang sporadis. Orientasi profit
partai politik begitu mengental. Salah satu korban yang dirugikan adalah
olahraga. Persaingan politik mulai mengerogoti keberadaan lembaga keolahragaan
kita. Alhasil, panggung olahraga menjadi pincang, dan para atlet potensial bagai
anak ayam yang kehil`ngan induknya. Yang menjadi target para pemegang kebijakan
olahraga kita tidak jauh dari keuntungan yang seringkali sifatnya pribadi,
bukan pemberdayaan. Terjadinya mis-orientasi inilah yang kemudian menistakan
mimpi-mimpi manis olahraga tanah air.
Saat ini, Indonesia dipercaya menjadi
tuan rumah bagi perhelatan SEA Games XXVI. Perhelatan akbar itu telah resmi
dibuka oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 11 November lalu. Dalam konteks
Indonesia, banyak fenomena menarik yang mewarnai perhelatan olahraga
negara-negara Asia Tenggara itu, mulai histeria masyarakat Indonesia, sampai
heroisme para atlet tuan rumah. Kita semua berharap, semoga SEA Games XXVI ini menjadi
momentum bagi kebangkitan olahraga Indonesia.
Terlepas dari itu, ada satu semangat
yang bisa kita tangkap dari perhelaan olahraga ini, bahkan dalam setiap
kompetisi olahraga. Semangat itu bernama nasionalisme, yakni cinta tanah air.
Rasa cinta ini kemudian mewujud kebanggaan dan pembelaan akan tanah air,
persaudaraan, tenggang rasa, dan bahu-membahu untuk satu tekad, dalam hal ini
kemajuan Indonesia. Nasionalisme merupakan kekuatan berharga bagi usaha
pembanguan banga. Tanpa nasionalisme, maka martabat sebuah bangsa akan
diinjak-injak oleh bangsa lain. Dalam termenologi Islam, nasionalisme (hubbul wathan) dihukumi wajib
ditegakkan.
Lebih jauh, nasionalisme berarti
pluralisme. Sebab, nasionalisme meniscayakan peleburan segala perbedaan ke dalam
satu emosi. Pluralitas bukanlah batu sandungan yang harus selalu diungkit,
melainkan aset bangsa yang harus diapresiasi. Pluralitas memberikan pengalaman
penting baik dalam hal budaya, peradaban dan banyak hal, yang ketika semua itu
diakomodir akan menghasilkan jati diri Indonesia yang kokoh. Nasionalisme
memang seharusnya meletakkan titik tolaknya pada pluralisme ini.
Dalam olahraga, semangat nasionalisme-pluralisme
ini sungguhlah kental. Bisa dilihat dalam setiap kompetisi olahraga
antarnegara, seperti SEA Games, betapa perbedaan itu melebur, dan nafas
nasionalisme berhembus keras. Hal ini terutama bisa kita rasakan ketika Tim
Sepakbola dan Tim Bulu Tangkis Indonesia turun lapangan. Seluruh masyarakat
Indonesia, baik yang menyaksikan langsung maupun yang menyaksikan lewat saluran
televisi, di seluruh penjuru negeri, adrenalin mereka begitu terp`cu. Segala
perbedaan diletakkan, baik yang kulit hitam maupun putih, suku ini atau suku
itu, agama ini dan itu, tanpa terkecuali memekikkan satu kata: Indonesia!
Meskipun Oktavianus Maniani (striker
Tim Kesebelasan Indonesia) berkulit hitam dan seorang Kristiani, semua elemen
masyarakat kita terus mendukung manuver-manuver berbahaya yang diciptakannya.
Jika ditelisik agak dalam, aktivitas
olahraga bisa dibilang berbeda dari aktivitas lainnya. Olahraga tidak hanya
untuk kesehatan ragawi, tetapi ia juga membawa pesan-pesan universal untuk
kemanusiaan, dalam hal ini pluralisme. Olahraga sama sekali tidak mempersoalkan
perbedaan SARA. Di lapangan olahraga, selain faktor keberutungan, yang memiliki
kapabilitas bagus dialah yang menang, tak peduli dari agama dan suku yang mana.
Dalam konteks sepakbola, pada hakikatnya adalah kerja sama yang solid, bukan
egoisme agama atau suku.
Di tengah keadaan nasionalisme dan
pluralisme kita yang tercabik-cabik, maka universalisme olahraga ini haruslah
dirawat dengan baik, dengan cara meletakkan olahraga pada posisinya secara
proporsional sebagai kesenian ragawi yang menyehatkan dan menghibur; menjauhkan
kepentingan politik dari segala kebijakan keolahragaan; membangun mental dan
menyejahterakan kehidupan para atlet. Pada universalisme olahraga, cita-cita
nasionalisme dan pluralisme bisa kita sandarkan. Diakui atau tidak, dimensi
inilah yang seringkali dilupakan dari olahraga, sehingga olahraga selalu tampak
parsial.
Selain itu, kita terus berharap keadaan ekonomi
negeri terus membaik, angka kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan, dan
aktivitas korupsi kaum elite bisa sesegera mungkin diberangus. Sebab jika
dirunut, beberapa problem ini telah menjadi ‘penyakit’ kronis negeri ini yang
selalu menghambat segala usaha pembangunan.
No comments:
Post a Comment