Sunday, April 1, 2012

Universalisme Olahraga

BEBERAPA tahun terakhir, keberadaan olahraga kita masuk dalam fase-fase yang kurang menggembirakan. Daya gedor olahraga negeri ini sangat lemah, kehilangan taringnya, berbeda dengan kisaran tahun 80 sampai 90-an di mana olahraga kita menjadi aset negeri yang bisa dibanggakan.

Ada banyak hal yang menyebabkan keterpurukan olahraga kita, di antaranya, pertama, keadaan ekonomi yang tidak stabil. Keadaan ini terutama terjadi setelah terpaan krisis moneter  menyelimuti negeri ini pada tahun 1999. Akibat krisis itu, harga barang-barang melonjak naik, banyak orang yang kehilangan pekerjaan,  dan angka pengangguran terus membengkak. Krisis ini telah mengubah wajah negeri hampir dalam segala lini, termasuk olahraga. Bisa dilihat setelah itu, betapa dinamika olahraga kita mulai tersendat-sendat.

 Kedua, kemiskinan. Pasca-krisis moneter, Indonesia menjadi rentan. Problem yang sampai kini tak terselesaikan adalah kemiskinan. Problem ini terus merambah pada yang lain, seperti akses pendidikan yang tidak merata, banyak anak negeri yang putus sekolah dan banting setir ke dunia kerja. Kemiskinan ini kemudian mempengaruhi kualitas sumber daya Indonesia. Banyak potensi anak negeri yang tak terakomodir. Dalam kondisi yang berat seperti itu, adakah orang yang masih sudi mengurus olahraga yang–menurut sebagian kita—kurang penting? Walaupun ada, bisa ditebak, hasilnya tak akan maksimal.

Ketiga, bau anyir politik. Terutama belakangan ini, ketika konstelasi politik nasional kehilangan arah, maka banyak manuver-manuver radikal yang sporadis. Orientasi profit partai politik begitu mengental. Salah satu korban yang dirugikan adalah olahraga. Persaingan politik mulai mengerogoti keberadaan lembaga keolahragaan kita. Alhasil, panggung olahraga menjadi pincang, dan para atlet potensial bagai anak ayam yang kehil`ngan induknya. Yang menjadi target para pemegang kebijakan olahraga kita tidak jauh dari keuntungan yang seringkali sifatnya pribadi, bukan pemberdayaan. Terjadinya mis-orientasi inilah yang kemudian menistakan mimpi-mimpi manis olahraga tanah air.

Saat ini, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah bagi perhelatan SEA Games XXVI. Perhelatan akbar itu telah resmi dibuka oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 11 November lalu. Dalam konteks Indonesia, banyak fenomena menarik yang mewarnai perhelatan olahraga negara-negara Asia Tenggara itu, mulai histeria masyarakat Indonesia, sampai heroisme para atlet tuan rumah. Kita semua berharap, semoga SEA Games XXVI ini menjadi momentum bagi kebangkitan olahraga Indonesia.

Terlepas dari itu, ada satu semangat yang bisa kita tangkap dari perhelaan olahraga ini, bahkan dalam setiap kompetisi olahraga. Semangat itu bernama nasionalisme, yakni cinta tanah air. Rasa cinta ini kemudian mewujud kebanggaan dan pembelaan akan tanah air, persaudaraan, tenggang rasa, dan bahu-membahu untuk satu tekad, dalam hal ini kemajuan Indonesia. Nasionalisme merupakan kekuatan berharga bagi usaha pembanguan banga. Tanpa nasionalisme, maka martabat sebuah bangsa akan diinjak-injak oleh bangsa lain. Dalam termenologi Islam, nasionalisme (hubbul wathan) dihukumi wajib ditegakkan.

Lebih jauh, nasionalisme berarti pluralisme. Sebab, nasionalisme meniscayakan peleburan segala perbedaan ke dalam satu emosi. Pluralitas bukanlah batu sandungan yang harus selalu diungkit, melainkan aset bangsa yang harus diapresiasi. Pluralitas memberikan pengalaman penting baik dalam hal budaya, peradaban dan banyak hal, yang ketika semua itu diakomodir akan menghasilkan jati diri Indonesia yang kokoh. Nasionalisme memang seharusnya meletakkan titik tolaknya pada pluralisme ini.

Dalam olahraga, semangat nasionalisme-pluralisme ini sungguhlah kental. Bisa dilihat dalam setiap kompetisi olahraga antarnegara, seperti SEA Games, betapa perbedaan itu melebur, dan nafas nasionalisme berhembus keras. Hal ini terutama bisa kita rasakan ketika Tim Sepakbola dan Tim Bulu Tangkis Indonesia turun lapangan. Seluruh masyarakat Indonesia, baik yang menyaksikan langsung maupun yang menyaksikan lewat saluran televisi, di seluruh penjuru negeri, adrenalin mereka begitu terp`cu. Segala perbedaan diletakkan, baik yang kulit hitam maupun putih, suku ini atau suku itu, agama ini dan itu, tanpa terkecuali memekikkan satu kata: Indonesia! Meskipun Oktavianus Maniani (striker Tim Kesebelasan Indonesia) berkulit hitam dan seorang Kristiani, semua elemen masyarakat kita terus mendukung manuver-manuver berbahaya yang diciptakannya.

Jika ditelisik agak dalam, aktivitas olahraga bisa dibilang berbeda dari aktivitas lainnya. Olahraga tidak hanya untuk kesehatan ragawi, tetapi ia juga membawa pesan-pesan universal untuk kemanusiaan, dalam hal ini pluralisme. Olahraga sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan SARA. Di lapangan olahraga, selain faktor keberutungan, yang memiliki kapabilitas bagus dialah yang menang, tak peduli dari agama dan suku yang mana. Dalam konteks sepakbola, pada hakikatnya adalah kerja sama yang solid, bukan egoisme agama atau suku.

Di tengah keadaan nasionalisme dan pluralisme kita yang tercabik-cabik, maka universalisme olahraga ini haruslah dirawat dengan baik, dengan cara meletakkan olahraga pada posisinya secara proporsional sebagai kesenian ragawi yang menyehatkan dan menghibur; menjauhkan kepentingan politik dari segala kebijakan keolahragaan; membangun mental dan menyejahterakan kehidupan para atlet. Pada universalisme olahraga, cita-cita nasionalisme dan pluralisme bisa kita sandarkan. Diakui atau tidak, dimensi inilah yang seringkali dilupakan dari olahraga, sehingga olahraga selalu tampak parsial.

Selain itu, kita terus berharap keadaan ekonomi negeri terus membaik, angka kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan, dan aktivitas korupsi kaum elite bisa sesegera mungkin diberangus. Sebab jika dirunut, beberapa problem ini telah menjadi ‘penyakit’ kronis negeri ini yang selalu menghambat segala usaha pembangunan.

No comments:

Post a Comment