Menulis adalah sebuah usaha mengabadi. Descartes, seorang pemikir ulung, jauh di zamannya dahulu pernah melontarkan kredo “Cagito ergo sum”, yang artinya aku berpikir maka aku ada. Di abad ini, kita mengenal kredo sebanding, “Aku menulis maka aku ada”, Gus Zainal punya. Kredo yang terakhir menjelaskan kredo yang sebelumnya. Artinya bahwa, sebuah pikiran yang ditulis, akan mengabadi. Bersama itu pula, sang pemilik buah pikiran yang tertulis itu, akan terus “ada”, terus dikenal dan dikenang (mengabadi).
Menulis adalah pula sebuah usaha mengabdi. Dalam hal ini mengabdi pada bangsa, negara, dan dunia. Menulis merupakan upaya mentransformasikan ide-ide kepada orang banyak, untuk pemecahan problematika yang ada, dan demi terciptanya tatanan kehidupan yang lebih baik dan dinamis. Selain itu, menulis juga sebagai usaha memperkaya ilmu pengetahuan, sehingga peradaban akan terus berkibar maju, dari satu generasi ke generasi seterusnya. Jelas, menulis adalah usaha pengabdian yang mulia. Maka barang siapa yang menulis, mengabdi, akan mengabadi, dan jangan khawatir akan hilang dari peredaran sejarah!
***
Tradisi menulis, diakui atau tidak, saat ini keberadaannya kurang menggembirakan di lingkungan pendidikan sekalipun, lebih-lebih di kalangan mahasiswa yang menjadi ikon kebangkitan bangsa. Agaknya, keadaan ini tak lepas dari masifitas laju globalisasi yang ditandai dengan kecanggihan perangkat teknologi mutakhir. Globalisasi kemudian menjadi era serba instan, yang melahirkan budaya materialisme, hedonisme, konsumerisme dan lainnya. Hal ini tampak menjadi batu sandungan bagi kelanggengan tradisi menulis mahasiswa. Mengenai hal ini, akan saya buktikan kemudian.
Belum lama ini, saya menerima surat via e-mail dari salah seorang teman di Jawa Barat. Dia curhat mengenai keberadaan tradisi menulis di kampusnya yang memprihatinkan. Dia adalah teman menulis saya semasa SMA lalu. Dalam surat sigkat itu, dia sempat bilang begini:
“…sungguh saya kecewa, kawan. Teman-teman di sini banyak yang tak bisa menulis, dan mereka tak mau berusaha. Di kampus kami tiada hari tampa menulis makalah. Mereka mengumpulkan makalah tepat pada waktunya. Tapi tahukah kamu, makalah itu adalah hasil copy-paste dari internet! Akhirnya mereka mempresentasikan makalah itu. Benar saja, mereka tampak bukan mempresentasikan makalah, tapi lebih pas disebut membaca Koran! Ketika ditanya lebih jauh tentang ide, dan istilah-istilah sulit yang ada, jawaban mereka jauh, ngawur. Saya kira dunia kampus adalah dunianya tulis-menulis; dunianya mahasiswa kritis. Tapi apa kenyataannya? Nihil!”
Kenyataan miris seperti cerita dalam surat teman saya ini, amat menyesakkan dada. Betapa tidak, praktik plagiasi (copy-paste), sebuah wujud kecelakaan intelektual (intellectual accident), harus terjadi pada mahasiswa, yaitu kaum terdidik dan tumpuan harapan masyarakat yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Dapat dikatahui, bahwa salah satu penyebab penting dari masalah ini adalah perangkat teknologi yang demikian canggih, yang dibuat kesempatan untuk mendapatkan segala keinginan secara instan. Mahasiswa yang tidak mau capai, mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan tugasnya. Jika disikapi secara bijak, maka teknolongi selayaknya diposisikan bukan sebagai kesempatan, melainkan sebagai tantangan. Mahasiswa harus tahu proses, dan paham artinya. Pada titik proseslah sebenarnya sebuah kepuasan akan direngkuh. Jangan sampai terlena dengan ‘rayuan manis’ teknologi. Sebab teknologi, jika dibiarkan, hanya akan melahirkan generasi-generasi yang rapuh.
Sejauh pengamatan pribadi saya, ada beberapa hal yang sering kali menjadi alasan mahasiswa malas berproses atau bahkan tidak menulis. Pertama, tugas kuliah yang menumpuk. Banyaknya tugas termasuk tugas menulis makalah sering kali dipandang sebagai beban berat oleh sebagian besar mahasiswa, bukan sebagai upaya pemberdayaan potensi. Cara pandang yang keliru seperti inilah yang berpotensi melahirkan prilaku-prilaku tak etis serupa plagiasi. Namun, tampaknya dalam hal ini mereka juga tak bisa disalahkan, sebab di kampus mereka tak menemukan iklim yang mondorong pada pemberdayaan potensi.
Di banyak kampus saat ini, pemberian tugas khususnya menulis makalah, agaknya hanya berjalan ala kadarnya. Yang masih tampak adalah mahasiswa mengerjakan (bagaimanapun caranya) dan dosen menerima (bagaimanapun keadaannya). Tak ada koreksi, apalagi sugesti. Idealnya, tugas menulis makalah adalah upaya membangun tradisi menulis di kalangan mahasiswa; dan mahasiswa lebih memahami materi; serta kreatif-sistematis dalam menguraikan gagasan. Pada titik ini, dibutuhkan kesadaran tidak hanya di kalangan mahasiswa, tapi tapi juga di jajaran dosen. Diharapkan, kegiatan pembelajaran menjadi lebih bertenaga, dan para mahasiswa pun tidak lagi memandang tugas sebagai beban berat, melainkan sebagai ajang berkreativitas yang memicu semangat.
Kedua, aktivitas berorganisasi. Pernah saya bertanya pada seorang teman mahasiswa aktivis, “Mengapa kamu tidak menulis?” jawabnya: “Bung, mana sempat saya menulis. Saya ini kan aktivis, banyak acara, berdemonstrasi, sibuk, penting,...”. Mereka tampak meremehkan kegitan menulis, padahal itu penting. Mereka bilang tak punya waktu, padahal menulis bisa kapan dan di mana saja. Bahkan di toilet pun jadi, kalau mau. Kalau boleh saya katakan, mereka adalah aktivis amatiran yang sok sibuk.
Sekadar usul untuk dipertimbangkan oleh para aktivis; bagaimana jika Anda menulis? Bukankah itu akan sangat mendukung bagi karir Anda? Bukankah bahasa tulisan akan lebih menusuk dan ‘mengancam’ dari pada bahasa lisan, demonstrasi? Bagaimana jika sekali-kali berdemonstrasi dengan tulisan? Coba lihat Gie, ia adalah seorang mahasiswa, aktivis, idealis, namun juga penulis produktif. Ia menjadi ikon perjuangan mahasiswa ’66. Dia berdemonstrasi billisan, namun dalam waktu yang bersamaan tulisan-tulisannya yang ‘tajam’ bertaburan di media massa. Apa hasilnya? Rezim Orde Lama tumbang. Elegan, bukan? Aktivitas organisasi bukanlah alasan untuk tidak menulis.
Ketiga, alasan klasik, yakni awam teori menulis. Sebagian besar mahasiswa memandang bahwa menulis itu sulitnya minta ampun. Padahal tidaklah demikian adanya. Man jadda wajada. Semua tergantung pada pada kemauan yang kuat, usaha keras, dan pembiasaan yang dibarengi dengan kesabaran. Sering dikatakan oleh banyak penulis besar, bahwa untuk bisa menulis caranya hanya satu: “Menulislah!”. Ya, hanya menulis, bukan belajar teori. Sebagaimana maklum, bahwa teori itu akan muncul dengan sendirinya setelah kita melakukan sesuatu tanpa teori.
Andrea Hirata, penulis buku fenomenal Laskar Pelangi bertutur: “Ketika saya mau menulis buku sastra, maka saya lupakan semua teori-teori sastra”. Menurutnya, teori itu hanya akan mengikat dan mempersulit kita, sehingga kita tidak bebas berimajinasi. Salah-salah, teori itu membodohkan!
Untuk memulai menulis, bisa diupayakan dengan menulis catatan harian. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, sebab di sini hanyalah menerjemahkan aktivitas apa adanya ke dalam bahasa tulisan. Lebih-lebih mahasiswa (kaum muda), biasanya mudah dekat dengan buku harian. Target awal bukanlah “tulisan bagus, tapi “yang penting manulis” dulu. Brangkat dari catatan harian inilah nanti kita bisa kembangkan kemampuan menulis kita, menjadi lebih baik, menuju luar biasa baik.
Sungguh menulis itu baik dan bermanfaat bagi kehidupan kita. Dengan menulis, kita bisa berbagi ilmu pengetahuan, menegakkan peradaban, dan dijamin tidak hilang dari peredaran sejarah, sebagaimana menulis adalah sebuah usaha meng-‘ada” atau mengabadi. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan Hujjatul Islam Al-Ghazali: “Jika engkau bukan anak seorang raja, dan bukan keturunan kiai, maka jadilah penulis!”
No comments:
Post a Comment