Monday, May 9, 2011

Pesantren, Terorisme, dan Islamophobia

Setelah Bali pada 2002 (bom Bali I) dan 2005 (bom Bali II), sekarang giliran Ibu Kota Jakarta meledak, tepat di jantung kota. Bom menimpa hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, pada tanggal 17 Juli 2009 lalu yang sampai menggagalkan pertandingan sepak bola antara Manchester United dan Indonesia All-Stars. Tragedi menakutkan ini membuat bangsa ini panik, dan tampak akan membuka memori lama negeri tercinta ini tentang aksi terorisme.

Terorisme adalah tindakan yang tak terpuji dan dapat merugikan orang banyak, serta dapat mengganggu stabilitas negera. Terorisme adalah perusak kedamai-sejahteraan umat. Aksi terorisme tampak lekat dengan negara tercinta ini, Indonesia. Pemerintah terutama, menjadi sibuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Apakah Indonesia negara teroris? Tentu bukan, sebab negara ini adalah negaranya kaum beragama. Pertanyaannya, mengapa aksi terorisme marak di negeri kaum beragama semisal Indonesia?


Fakta yang lebih mencengangkan, para teroris itu mengatasnamakan agama, khususnya Islam, seperti yang terjadi pada Amrozi cs. yang mengklaim dirinya sebagai mujahid. Seperti halnya juga yang terjadi di Jakarta baru-baru ini, para teroris mengaku mengusung misi agama. Tapi bukankah agama melarang aksi terorisme? Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena hal ini, yang menjadi kambing hitam adalah pesantren. Sejak maraknya aksi terorisme, pesantren sering kali disebut-sebut sebagai sarang teroris. Sebab, pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam sebagaimana diusung oleh para pelaku teror itu.

***
Agama adalah pedoman hidup. Landasan agama adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang mana keduanya ini merupakan pedoman yang tidak boleh tidak dipegang erat guna menggapai kehidupan yang damai dan sejahtera, sebagaimana dipesankan oleh sang junjungan, nabi Muhammad SAW. Agama menjadikan manusia hidup sebagai manusia yang seutuhnya, yang arif, dan tidak berbuat kekacauan dalam hidup. Tanpa agama, hidup manusia akan berantakan, dan bencana pelecehan nilai-nilai kemanusiaan menjadi tak terelakkan. 

Pendidikan agama (Islam) adalah suatu keniscayaan, sebagai upaya mencetak generasi yang baik dalam beragama, memahami ilmu-ilmu agama, dan menegakkan syari’at-syari’at Islam. Inilah yang coba diusung oleh lembaga pendidikan tradisional Islam yang bernama pesantren. Lembaga pendidikan tradisional ini tercatat sebagai lembaga pendidikan tertua di nusantara ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menunjukkan keaslian Indonesia; pesantren adalah representasi dari kekayaan budaya Indonesia; bahkan, pesantren merupakan state of mind dalam ranah pendidikan Islam.

Dalam pendidikan pesantren, aspek moral adalah masalah utama yang harus ditekankan. Moral tak bisa dinafikan perannya dalam membangun keutuhan umat beragama. Hal inilah yang kemudian menumbuh-suburkan sikap altruisme di kalangan masyarakat pesantren (baca: santri). Sehingga bentuk kepedulian sosial semisal silaturrahiem, gotong-royong dan sejenisnya terus mengakar dan membudaya di kalangan santri. Damikian pula, santri sangat menghargai akan perbedaan. Pada titik ini, segala bentuk kekerasan dan kejahatan adalah pantangan yang harus ditinggalkan. Tak heran kemudia Abu Hamid (1983) mengatakan bahwa santri adalah ‘orang yang baik, dan suka menolong’. Selain itu, sikap hidup yang juga tertanam kuat, berurat-berakar dalam kehidupan pesantren adalah kejujuran, kemandirian, kesederhanaan (non-materialistik), serta semangat kesabaran dan keikhlasan.

Pendidikan agama di pesantren berjalan sangat efektif. Hal ini maklum, mengingat pesantren itu sendiri adalah lembaga pendidikan keagamaan. Pendidikan agama berjalan tidak hanya sebatas teori ‘saja’, melainkan ‘teoritis-praktik’. Apa saja yang dipelajari kaum santri, maka itu pulalah yang dikerjakannya. Pada gilirannya, santri menjadi sangat awas terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang, tabu, yang dilarang oleh agama.
Dari pesantrenlah, orang-orang alim, para cendekiawan, dan orang-orang berintegritas dilahirkan. Selain itu, kaum santri memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Bisa dilihat, mulai dari tokoh masyarakat, guru, hingga mereka yang duduk di kursi pemerintahan, yang terjun ke ranah politik praktis, banyak di antara mereka yang pernah nyantri atau ngaji di pesantren sebelumnya. Demikianlah salah satu bentuk kontribusi pendidikan pesantren terhadap agama, bangsa dan negara. Semua ini masih belum andil pesantren dalam lika-liku perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia dahulu di masa penjajahan.
Namun pada perkembagannnya saat ini, seiring laju arus zaman yang begitu massif, di tengah ketatnya persaingan dengan lembaga-lembaga pendidikan baru milik pemerintah, seperti sekolah-sekolah ipres, ataupun sekolah-sekolah lain yang berlabel negeri, pamor pesantren secara pelan-pelan tertutupi oleh itu semua. Pesantren mulai tidak memiliki bargaining position yang bagus di mata masyarakat luas. Pesantren tampak semakin masuk pada garis-garis marginal. Pesantren kemudian dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat era ini. Bisa dilihat, saat ini pesantren sering kali menjadi tempat pelarian bagi mereka yang tak mampu masuk ke sekolah-sekolah negeri karena berbagai keterbatasan, dan lebih banyak kerena keterbatasan biaya. Hal ini disebabkan biaya pendidikan pesantren yang relatif terjangkau. Alhasil, pesantren lebih banyak dihuni oleh anak-anak miskin. 

Pesantren tampil apa adanya, tanpa fasilitas yang memadai. Ironisnya lagi, hal ini tampak semakin dilegitimasi oleh minimnya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan pesantren.
Konsekuensinya kemudian, alumnus-alumnus pesantren tak mendapat perhatian yang seharusnya dari masyarakat. Out put jebolan pesantren dinilai tak punya integritas yang bagus. Peran alumnus pesantren diragukan di tengah masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan misalnya, santri hanya kebagian peran yang nilai gengsinya tak bagus dalam pandangan masyarakat itu sendiri. Santri lebih dipercaya memimpin tahlil, salat tarawih maupun salat mayit, dari pada peran-peran penting lain yang bersifat go public. Dengan kenyataan seperti ini terkadang santri mengalami tekanan psikologis yang berakibat kepasifan, kecil hati, dan enggan untuk maju. Semua ini adalah dampak dari posisi tawar pendidikan pesantren yang terpuruk di mata masyarakat. 

Adalah Hadi Subeno (alm) yang mengejek kaum santri dengan “kaum sarungan”. Hal ini merujuk pada penampilan santri yang tradisional, seperti memakai sarung, baju koko, kopiah, dan sandal jepit. Maksudnya, santri adalah sekolompok orang yang kolot, udik, pasif, tak dinamis, dan tersuruk-suruk dalam menapaki masa depan (Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan). Namun ironisnya, stereotipe ini tak jarang dipakai kaum santri sendiri dalam menyebutkan dirinya. Seakan mereka bangga dengan sebutan itu. Mereka tak tau asal-muasal sebutan itu. Seharusnya, sebutan miring semacam itu tak dipakai. “Kaum sarungan” bukanlah kebanggaan, tapi penghinaan!

Tak Adil
Jika ada yang mengatakan bahwa semakin tinggi pohon itu maka semakin besar pula tantangannya, itu benar dan kita semua setuju. Jika dikatakan semakin pandai seseorng maka semakin berat tanggung jawabnya, kita juga setuju itu. Tapi, setujukah kita, jika dikatakan semakin reot sebuah gubuk maka semakin berat pula beban yang harus ditanggung? Atau semakin parah penyakit seseorang maka semakin banyak pula tugas-tugas yang harus dikerjakan? 

Tentu saja kita tidak mau payah-payah untuk ‘sekadar’ mengatakan setuju. Gubuk reot pertanda lemah, dan akan segera roboh. Alangkah tidak bijak jika gubuk reot itu diberi bebat yang berat. Gubuk yang reot seharusnya diperbaiki dengan ekstra-hati-hati, bukan malah ditambah berat bebannya. Hal itu tak akan pernah menyelesaikan maslah, justru hanya akan membuat masalah tambah runyam. Demikian halnya dengan seseorang yang mempunyai penyakit parah yang harus banyak istirahat. Berkerja keras adalah sama saja dengan bunuh diri. Namun, pernyataan yang kedua inilah yang terjadi pada pesantren dewasa ini.
Dalam wacana terorisme di negeri ini, selalu saja bersinggungan dengan persoalan agama. Sebab para pelaku teror tak henti-hentinya mengusung nama agama dengan dalih jihad fi sabilillah. Agama pun kemudian menjadi sorotan dan perbincangan hangat mengiringi wacana seputar terorisme. Agama sering kali menjadi pihak tertuduh. Pesantren segera saja menjadi kambing hitam, sebab pesantren adalah lembaga pendidikan yang kental dengan nilai-nilai agama. Pesantren yang mengajarkan seseorang untuk menegakkan syari’at Islam, amar ma’ruf-nahi mungkar, dan jihad fi sabilillah. Pesantren pun kemudian diklaim sebagai sarang teroris.

Sungguh ini adalah kesimpulan yang tak bijak, tak adil. Mengapa bisa pesantren yang lembaga pendidikan tradisional yang tampil apa adanya, yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat, yang kurang dipedulikan oleh pemerintah, yang diejek sebagai lembaga konservatif, kolot, nggak zaman, yang hunian orang-orang miskin, justru kemudian dianggap sebagai sarang teroris? Apakah tidak aneh, jika “kaum sarungan” si udik itu melakukan aksi teror? Mungkinkah santri, orang yang baik dan penolong itu telah berubah profesi menjadi teroris?
Ketahuilah, dalam konteks kekinian, dalam pandangan masyarakat modern, di tengah persaingan yang begitu ketat, pesantren ibarat gubuk reot sebagaimana disebutkan tadi, atau ibarat manusia yang mengidap penyakit parah. Adalah tidak masuk akal jika pesantren (yang sering kali dicampakkan itu) diberi atau dimintai tanggung jawab yang besar dan berat seperti masalah terorisme. Tapi bagaimanapun, anggapan miring itu telah membuat keadaan pesantren semakin terpuruk. Sungguh tak adil! 

Tampaknya, mencuatnya stigma terorisme yang dialamatkan kepada Islam dimulai ketika gedung pencakar langit WTC di Amerika Serikat runtuh, yang kemudian dikenal dengan tragedi 11 September. Seorang muslim Usamah bin Laden pun segera menjadi buronan. Hingga seorang penonton sepak bola pada Piala Dunia 2006 di Jerman ditangkap gara-gara berpenampilan ala muslim Timur Tengah, seperti Usamah. Tentu ingatan ini juga masih segar bagaimana ketika seorang muslim, salah satu bintang sepak bola dunia dari Perancis Zinedine Zidane, menyundul dada salah seorang pemain Italia dalam laga final Perancis vs Italia pada Piala Dunia 2006 di Jerman. Dari hasil pengamatan, diketahui hal itu terjadi berawal dari tuduhan teroris yang dialamatkan ke Zidane. 

Aksi terorisme secara pelan-pelan menodai citra Islam dan membuat ruang gerak umat Islam termasuk juga pesantren, kian sempit. Tak jarang umat Islam menjadi pihak tertuduh pada setiap terjadi kekerasan yang disebut terorisme. Aksi terorisme juga telah sanggup mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Terorisme, kekrasan, dan jihad, tampak semakin sulit saja dicari perbedaannya. Banyak kelompok orang yang telah berani menyimpulkan bahwa Islam menjunjung tinggi terorisme.

Jihad, dalam Islam, adalah mulia dan wajib dijalankan. Jihad dijalankan ikhlas semata-mata mengharap ridla Tuhan. Jihad dijalankan tidak lain karena tujuan mulia membangun kemaslahatan bersama. Jihad adalah perjuangan mulia mengahapuskan keangkara-murkaan dan kezaliman yang ada di muka bumi. Bagi orang yang menjalankan, adalah surga baginya. Namun, tidak serta merta sebuah perjuangan itu bisa dikatakan jihad. Untuk bisa dikatan jihad, maka perjuangan itu haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam agama. Para mufti sudah banyak menyinggung dan menjelaskan secara rinci mengenai hal ini. Di pesantren-pesantren pun hal ini bukanlah perkara asing. 

Jihad, bisalah disebut kekerasan. Namun sebenarnya, suatu tindakan itu dikatakan kekerasan bila tidak benar dan menyalahi prosedur. Namun, jika kekerasan itu memanglah tuntutan untuk dilakukan, maka bukan kekerasan lagi namanya. Seorang maling yang merampok dan membunuh, itu adalah kekerasan. Tapi seorang ibu atau ayah yang memukul anaknya karena tidak shalat, itu bukan lagi kekerasan. Semuanya tentu paham akan masalah ini. Dan jihad pun memiliki prosedur.

Di sinilah ‘kelemahan jihad’ para bomber itu. Mereka menjadi mujahid amatiran demi meraup banyak keuntungan duniawi. Mereka melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang sebenarnya antikekerasan. Apa yang mereka lakukan tak ubahnya aksi terorisme. Tindakan yang mereka namakan jihad ternyata bukan membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara, justru menimbulkan kecauan, meresahkan orang banyak, dan mengganggu stabilitas negara. Merekalah teroris bertopeng mujahid. Kenyataan inilah yang membuat Abdul A’la, Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, lewat tulisannya yang argumentatif, dengan tegas menyebutkan bahwa Amrozi cs., bukan mujahid (Abdul A’la, “Amrozi cs. Bukan Mujahid!”, Jawa Pos).

Islamophobia
Saat ini tampaknya sudah terasa tak “sedap” jika membincang terorisme tanpa “dibumbui” persoalan agama. Hal ini karena, aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi selalu saja bersinggungan dengan persoalan agama. Termasuk yang terjadi baru-baru ini, teror bom di hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott, Jakarta. 

Pascapengeboman di wilayah Jakarta tersebut, terlacak sebuah situs internet (http://mediaislam-bushro.blogspot.com) yang memuat “pengakuan” para pelaku teror itu, dengan mangatasnamakan Islam. Tidak hanya itu, di situs itu juga terdapat beberapa kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an. Meski situs itu masih diragukan kebenarannya, bagaimanapun hal ini sangat mengecewakan dan mengguncang umat Islam. Aksi terorisme itu jelas dilarang oleh agama. Agama memiliki misi perdamaian, bukan kekerasan. Sebagaimana Muhammad Al-Khathath, sekjen Forum Umat Islam, menegaskan bahwa aksi terorisme bukan bagian dari perjuangan umat Islam.

Kenyataan-kenyataan terorisme yang selalu dikaitkan dengan agama Islam, menyisakan stigma tak baik bagi agama Islam. Seakan agama menjadi satu kesatuan dengan terorisme. Dalam pandangan masyarakat, agama kemudian memiliki stigma kekerasan, terorisme. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap agama. Masyarakat menjadi tidak percaya dengan kedamaian yang dijanjikan oleh agama, dan mulai meyakini bahwa jihad adalah kekerasan. Dan mungkin juga pada saatnya nanti, akan ada sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan fatalis dan nihilis terhadap eksistensi agama.

Jika diperhatikan secara seksama, tampak ada misi sekelompok orang untuk menghembuskan nafas Islamophobia di jagad ini. Tuduhan demi tuduhan terorisme yang sering kali dialamatkan ke umat Islam, aksi kekerasan atau terorisme yang dibungkus nama jihad, kemudian aksi terorisme yang sering kali muncul di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia, semakin menguatkan asumsi bahwa ada misi untuk membuat umat dunia (termasuk umat Islam sendiri) mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap Islam (Islamophobia). Sehingga segala apa yang berhubungan dengan Islam akan membuat alergi seseorang. 

Kita tentu masih ingat kejadian beberapa tahun lalu yang mengguncang umat muslim sejagad, tepatnya pada 2005, ketika ada pemuatan karikatur nabi Muhammad SAW oleh salah satu majalah terkemuka di Denmark. Tampak dalam karikatur itu, salah satunya, sang nabi dihiasi dengan bom. Inilah pesan bahwa Islam itu adalah agama kekerasan, menjunjung tinggi terorisme. Begitulah salah satu perwujudan dari Islamophobia Eropa. 

Kita sudah lama setuju, bahwa dalam kekuatan yang besar terdapat tantangan yang besar pula. Islam adalah agama yang besar, pemeluknya berjumlah besar, maka tantangannya pun sangatlah besar. Kemungkinan besar, dalang dari problem terorisme yang bisa memicu terjadinya Islamophobia ini adalah orang-orang non Islam yang membenci Islam dan lebih-lebih gemar melakukan keonaran dan menyebarkan fitnah, semisal orang-orang Yahudi. Salah seorang pengamat dari Rusia pernah menyimpulkan bahwa, dalang dari semua kekacauan dan keonaran yang ada di muka bumi sebenarnya adalah orang-orang Yahudi (lebih lengkap dalam buku Dajjal akan Muncul dari Segitiga Bermuda).

Oleh karena itu, setiap ada upaya apapun dan dalam bentuk apapun itu, yang terkesan memojokkan Islam dengan menyentil stigma-stigma negatif, haruslah dihadapi dengan ekstra-hati-hati. Umat Islam dituntut untuk benar-benar arif dan bijak dalam menyikapi isu. Tidak gampang percaya terhadap isu. Di zaman sekarang ini, selalu ada saja orang nakal yang gemar menunggangi isu demi kepentingannya. Menanggapi isu haruslah berdasar pada proses nalar pikir yang jernih dan sehat. Sebab jika tidak, maka bencana Islamophobia itu akan bergejolak bahkan di kalangan umat Islam sendiri. 

Demikian pula, pesantren yang sering kali kena dalam masalah ini tidak boleh tinggal diam, tidak boleh memilih no comment dengan bersikap adem-ayem. Diam adalah mati, dan bergerak adalah maju. Pesantren dituntut untuk bisa memulihkan ruh Islamiyah yang selama ini hampir runtuh. Demikian pula sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dituntut untuk bisa menunjukkan kepada publik akan Islam yang sebenarnya, yang cinta kedamaian dan antikekerasan semisal terorisme; bahwa Islam mengecam aksi kekerasan dalam bentuk apapun. Dari sinilah kemudian ruh jihad yang sering diplesetkan itu akan hidup kembali. 

Tugas ini memang tidak mudah, tapi bagaimanapun sebagai lembaga yang berkompeten dalam urusan ini (agama), pesantren haruslah memperjuangkannya. Pesantren adalah state of mind dalam hal pendidikan Islam di tanah air. Maka, pesantren tidak boleh menyerah pada keterbatasan yang mengkungkung, tapi bagaimana menjadikan keterbatasan itu sebagai tantangan yang harus dihadapi. 

Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk selalu sigap dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul. Kita tahu, sudah lama sebenarnya aksi terorisme mengguncang negeri ini. Namun sampai sekarang aksi itu terus saja muncul dan meresahkan banyak orang. Memang sudah ada beberapa teroris yang tertangkap dan dihukum mati. Tapi tak tahu kenapa, hingga sekarang ini, para teroris itu masih saja berani unjuk gigi bahkan dengan kekuatan yang tampak semakin besar dan liar. Seakan mati satu tumbuh seribu. Mungkin saja, ini akibat dari kinerja pemerintah yang kurang sigap dan tak berkesinambungan dalam menindak masalah, alias pasang-surut. 

Indonesia tampaknya menjadi jargon Islam dunia. Sebab Indonesialah yang mayoritas penduduknya muslim dan terbanyak di dunia. Maka Indonesia yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-64 ini adalah awal yang baik untuk memperbaiki citra Islam. Untuk hal itu, keterlibatan semua pihak adalah sebuah keniscayaan. Maka yakinkanlah dunia, bahwa sebentar lagi Indonesia sebagai negeri kaum beragama, akan mewujudkan mimpi menuju gelanggang baldatun thayyibatun wa robbun ghafur! Wallahu a’lam bisshawab.



No comments:

Post a Comment