Setelah Bali pada 2002 (bom Bali I) dan
2005 (bom Bali II), sekarang giliran Ibu Kota Jakarta meledak, tepat di jantung
kota. Bom
menimpa hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, pada tanggal 17 Juli 2009 lalu yang
sampai menggagalkan pertandingan sepak bola antara Manchester United dan
Indonesia All-Stars. Tragedi menakutkan ini membuat bangsa ini panik, dan
tampak akan membuka memori lama negeri tercinta ini tentang aksi terorisme.
Terorisme adalah tindakan yang tak terpuji dan dapat merugikan orang banyak,
serta dapat mengganggu stabilitas negera. Terorisme adalah perusak
kedamai-sejahteraan umat. Aksi terorisme tampak lekat dengan negara tercinta
ini, Indonesia.
Pemerintah terutama, menjadi sibuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Apakah Indonesia negara
teroris? Tentu bukan, sebab negara ini adalah negaranya kaum beragama.
Pertanyaannya, mengapa aksi terorisme marak di negeri kaum beragama semisal Indonesia?
Fakta yang lebih mencengangkan, para
teroris itu mengatasnamakan agama, khususnya Islam, seperti yang terjadi pada
Amrozi cs. yang mengklaim dirinya sebagai mujahid. Seperti halnya juga yang
terjadi di Jakarta
baru-baru ini, para teroris mengaku mengusung misi agama. Tapi bukankah agama
melarang aksi terorisme? Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena hal ini, yang menjadi kambing hitam
adalah pesantren. Sejak maraknya aksi terorisme, pesantren sering kali
disebut-sebut sebagai sarang teroris. Sebab, pesantren adalah lembaga
pendidikan agama Islam sebagaimana diusung oleh para pelaku teror itu.
***
Agama adalah pedoman hidup. Landasan agama
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang mana keduanya ini merupakan pedoman yang
tidak boleh tidak dipegang erat guna menggapai kehidupan yang damai dan
sejahtera, sebagaimana dipesankan oleh sang junjungan, nabi Muhammad SAW. Agama
menjadikan manusia hidup sebagai manusia yang seutuhnya, yang arif, dan tidak
berbuat kekacauan dalam hidup. Tanpa agama, hidup manusia akan berantakan, dan
bencana pelecehan nilai-nilai kemanusiaan menjadi tak terelakkan.
Pendidikan agama (Islam) adalah suatu
keniscayaan, sebagai upaya mencetak generasi yang baik dalam beragama, memahami
ilmu-ilmu agama, dan menegakkan syari’at-syari’at Islam. Inilah yang coba
diusung oleh lembaga pendidikan tradisional Islam yang bernama pesantren.
Lembaga pendidikan tradisional ini tercatat sebagai lembaga pendidikan tertua
di nusantara ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menunjukkan keaslian
Indonesia; pesantren adalah
representasi dari kekayaan budaya Indonesia; bahkan, pesantren merupakan
state of mind dalam ranah pendidikan Islam.
Dalam pendidikan pesantren, aspek moral
adalah masalah utama yang harus ditekankan. Moral tak bisa dinafikan perannya
dalam membangun keutuhan umat beragama. Hal inilah yang kemudian
menumbuh-suburkan sikap altruisme di kalangan masyarakat pesantren (baca:
santri). Sehingga bentuk kepedulian sosial semisal silaturrahiem, gotong-royong
dan sejenisnya terus mengakar dan membudaya di kalangan santri. Damikian pula,
santri sangat menghargai akan perbedaan. Pada titik ini, segala bentuk
kekerasan dan kejahatan adalah pantangan yang harus ditinggalkan. Tak heran
kemudia Abu Hamid (1983) mengatakan bahwa santri adalah ‘orang yang baik, dan
suka menolong’. Selain itu, sikap hidup yang juga tertanam kuat, berurat-berakar
dalam kehidupan pesantren adalah kejujuran, kemandirian, kesederhanaan
(non-materialistik), serta semangat kesabaran dan keikhlasan.
Pendidikan agama di pesantren berjalan
sangat efektif. Hal ini maklum, mengingat pesantren itu sendiri adalah lembaga
pendidikan keagamaan. Pendidikan agama berjalan tidak hanya sebatas teori
‘saja’, melainkan ‘teoritis-praktik’. Apa saja yang dipelajari kaum santri,
maka itu pulalah yang dikerjakannya. Pada gilirannya, santri menjadi sangat
awas terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang, tabu, yang dilarang oleh
agama.
Dari pesantrenlah, orang-orang alim, para
cendekiawan, dan orang-orang berintegritas dilahirkan. Selain itu, kaum santri
memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Bisa
dilihat, mulai dari tokoh masyarakat, guru, hingga mereka yang duduk di kursi
pemerintahan, yang terjun ke ranah politik praktis, banyak di antara mereka
yang pernah nyantri atau ngaji di pesantren sebelumnya. Demikianlah salah satu
bentuk kontribusi pendidikan pesantren terhadap agama, bangsa dan negara. Semua
ini masih belum andil pesantren dalam lika-liku perjuangan kemerdekaan negara
Republik Indonesia
dahulu di masa penjajahan.
Namun pada perkembagannnya saat ini,
seiring laju arus zaman yang begitu massif, di tengah ketatnya persaingan
dengan lembaga-lembaga pendidikan baru milik pemerintah, seperti
sekolah-sekolah ipres, ataupun sekolah-sekolah lain yang berlabel negeri, pamor
pesantren secara pelan-pelan tertutupi oleh itu semua. Pesantren mulai tidak
memiliki bargaining position yang bagus di mata masyarakat luas. Pesantren
tampak semakin masuk pada garis-garis marginal. Pesantren kemudian dipandang
sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat era ini. Bisa dilihat, saat ini
pesantren sering kali menjadi tempat pelarian bagi mereka yang tak mampu masuk
ke sekolah-sekolah negeri karena berbagai keterbatasan, dan lebih banyak kerena
keterbatasan biaya. Hal ini disebabkan biaya pendidikan pesantren yang relatif
terjangkau. Alhasil, pesantren lebih banyak dihuni oleh anak-anak miskin.
Pesantren tampil apa adanya, tanpa fasilitas yang memadai. Ironisnya lagi, hal
ini tampak semakin dilegitimasi oleh minimnya kepedulian pemerintah terhadap
pendidikan pesantren.
Konsekuensinya kemudian, alumnus-alumnus pesantren
tak mendapat perhatian yang seharusnya dari masyarakat. Out put jebolan
pesantren dinilai tak punya integritas yang bagus. Peran alumnus pesantren
diragukan di tengah masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan
misalnya, santri hanya kebagian peran yang nilai gengsinya tak bagus dalam
pandangan masyarakat itu sendiri. Santri lebih dipercaya memimpin tahlil, salat
tarawih maupun salat mayit, dari pada peran-peran penting lain yang bersifat go
public. Dengan kenyataan seperti ini terkadang santri mengalami tekanan
psikologis yang berakibat kepasifan, kecil hati, dan enggan untuk maju. Semua
ini adalah dampak dari posisi tawar pendidikan pesantren yang terpuruk di mata
masyarakat.
Adalah Hadi Subeno (alm) yang mengejek
kaum santri dengan “kaum sarungan”. Hal ini merujuk pada penampilan santri yang
tradisional, seperti memakai sarung, baju koko, kopiah, dan sandal jepit.
Maksudnya, santri adalah sekolompok orang yang kolot, udik, pasif, tak dinamis,
dan tersuruk-suruk dalam menapaki masa depan (Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan). Namun ironisnya, stereotipe ini tak
jarang dipakai kaum santri sendiri dalam menyebutkan dirinya. Seakan mereka
bangga dengan sebutan itu. Mereka tak tau asal-muasal sebutan itu. Seharusnya,
sebutan miring semacam itu tak dipakai. “Kaum sarungan” bukanlah kebanggaan,
tapi penghinaan!
Tak Adil
Jika ada yang mengatakan bahwa semakin
tinggi pohon itu maka semakin besar pula tantangannya, itu benar dan kita semua
setuju. Jika dikatakan semakin pandai seseorng maka semakin berat tanggung
jawabnya, kita juga setuju itu. Tapi, setujukah kita, jika dikatakan semakin
reot sebuah gubuk maka semakin berat pula beban yang harus ditanggung? Atau
semakin parah penyakit seseorang maka semakin banyak pula tugas-tugas yang
harus dikerjakan?
Tentu saja kita tidak mau payah-payah
untuk ‘sekadar’ mengatakan setuju. Gubuk reot pertanda lemah, dan akan segera
roboh. Alangkah tidak bijak jika gubuk reot itu diberi bebat yang berat. Gubuk
yang reot seharusnya diperbaiki dengan ekstra-hati-hati, bukan malah ditambah
berat bebannya. Hal itu tak akan pernah menyelesaikan maslah, justru hanya akan
membuat masalah tambah runyam. Demikian halnya dengan seseorang yang mempunyai
penyakit parah yang harus banyak istirahat. Berkerja keras adalah sama saja
dengan bunuh diri. Namun, pernyataan yang kedua inilah yang terjadi pada
pesantren dewasa ini.
Dalam wacana terorisme di negeri ini,
selalu saja bersinggungan dengan persoalan agama. Sebab para pelaku teror tak
henti-hentinya mengusung nama agama dengan dalih jihad fi sabilillah. Agama pun
kemudian menjadi sorotan dan perbincangan hangat mengiringi wacana seputar
terorisme. Agama sering kali menjadi pihak tertuduh. Pesantren segera saja
menjadi kambing hitam, sebab pesantren adalah lembaga pendidikan yang kental
dengan nilai-nilai agama. Pesantren yang mengajarkan seseorang untuk menegakkan
syari’at Islam, amar ma’ruf-nahi mungkar, dan jihad fi sabilillah. Pesantren
pun kemudian diklaim sebagai sarang teroris.
Sungguh ini adalah kesimpulan yang tak
bijak, tak adil. Mengapa bisa pesantren yang lembaga pendidikan tradisional
yang tampil apa adanya, yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat, yang kurang
dipedulikan oleh pemerintah, yang diejek sebagai lembaga konservatif, kolot,
nggak zaman, yang hunian orang-orang miskin, justru kemudian dianggap sebagai
sarang teroris? Apakah tidak aneh, jika “kaum sarungan” si udik itu melakukan
aksi teror? Mungkinkah santri, orang yang baik dan penolong itu telah berubah
profesi menjadi teroris?
Ketahuilah, dalam konteks kekinian, dalam
pandangan masyarakat modern, di tengah persaingan yang begitu ketat, pesantren
ibarat gubuk reot sebagaimana disebutkan tadi, atau ibarat manusia yang
mengidap penyakit parah. Adalah tidak masuk akal jika pesantren (yang sering
kali dicampakkan itu) diberi atau dimintai tanggung jawab yang besar dan berat
seperti masalah terorisme. Tapi bagaimanapun, anggapan miring itu telah membuat
keadaan pesantren semakin terpuruk. Sungguh tak adil!
Tampaknya, mencuatnya stigma terorisme
yang dialamatkan kepada Islam dimulai ketika gedung pencakar langit WTC di
Amerika Serikat runtuh, yang kemudian dikenal dengan tragedi 11 September.
Seorang muslim Usamah bin Laden pun segera menjadi buronan. Hingga seorang
penonton sepak bola pada Piala Dunia 2006 di Jerman ditangkap gara-gara
berpenampilan ala muslim Timur Tengah, seperti Usamah. Tentu ingatan ini juga
masih segar bagaimana ketika seorang muslim, salah satu bintang sepak bola
dunia dari Perancis Zinedine Zidane, menyundul dada salah seorang pemain Italia
dalam laga final Perancis vs Italia pada Piala Dunia 2006 di Jerman. Dari hasil
pengamatan, diketahui hal itu terjadi berawal dari tuduhan teroris yang
dialamatkan ke Zidane.
Aksi terorisme secara pelan-pelan menodai
citra Islam dan membuat ruang gerak umat Islam termasuk juga pesantren, kian
sempit. Tak jarang umat Islam menjadi pihak tertuduh pada setiap terjadi
kekerasan yang disebut terorisme. Aksi terorisme juga telah sanggup mengaburkan
makna jihad yang sebenarnya. Terorisme, kekrasan, dan jihad, tampak semakin
sulit saja dicari perbedaannya. Banyak kelompok orang yang telah berani
menyimpulkan bahwa Islam menjunjung tinggi terorisme.
Jihad, dalam Islam, adalah mulia dan wajib
dijalankan. Jihad dijalankan ikhlas semata-mata mengharap ridla Tuhan. Jihad
dijalankan tidak lain karena tujuan mulia membangun kemaslahatan bersama. Jihad
adalah perjuangan mulia mengahapuskan keangkara-murkaan dan kezaliman yang ada
di muka bumi. Bagi orang yang menjalankan, adalah surga baginya. Namun, tidak
serta merta sebuah perjuangan itu bisa dikatakan jihad. Untuk bisa dikatan
jihad, maka perjuangan itu haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam agama. Para mufti sudah banyak
menyinggung dan menjelaskan secara rinci mengenai hal ini. Di
pesantren-pesantren pun hal ini bukanlah perkara asing.
Jihad, bisalah disebut kekerasan. Namun
sebenarnya, suatu tindakan itu dikatakan kekerasan bila tidak benar dan
menyalahi prosedur. Namun, jika kekerasan itu memanglah tuntutan untuk
dilakukan, maka bukan kekerasan lagi namanya. Seorang maling yang merampok dan
membunuh, itu adalah kekerasan. Tapi seorang ibu atau ayah yang memukul anaknya
karena tidak shalat, itu bukan lagi kekerasan. Semuanya tentu paham akan
masalah ini. Dan jihad pun memiliki prosedur.
Di sinilah ‘kelemahan jihad’ para bomber
itu. Mereka menjadi mujahid amatiran demi meraup banyak keuntungan duniawi.
Mereka melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang sebenarnya
antikekerasan. Apa yang mereka lakukan tak ubahnya aksi terorisme. Tindakan
yang mereka namakan jihad ternyata bukan membawa kemaslahatan bagi bangsa dan
negara, justru menimbulkan kecauan, meresahkan orang banyak, dan mengganggu
stabilitas negara. Merekalah teroris bertopeng mujahid. Kenyataan inilah yang
membuat Abdul A’la, Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, lewat tulisannya yang
argumentatif, dengan tegas menyebutkan bahwa Amrozi cs., bukan mujahid (Abdul
A’la, “Amrozi cs. Bukan Mujahid!”, Jawa
Pos).
Islamophobia
Saat ini tampaknya sudah terasa tak
“sedap” jika membincang terorisme tanpa “dibumbui” persoalan agama. Hal ini
karena, aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi selalu saja bersinggungan
dengan persoalan agama. Termasuk yang terjadi baru-baru ini, teror bom di hotel
Ritz-Carlton dan JW Marriott, Jakarta.
Pascapengeboman di wilayah Jakarta tersebut, terlacak
sebuah situs internet (http://mediaislam-bushro.blogspot.com) yang memuat
“pengakuan” para pelaku teror itu, dengan mangatasnamakan Islam. Tidak hanya
itu, di situs itu juga terdapat beberapa kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an.
Meski situs itu masih diragukan kebenarannya, bagaimanapun hal ini sangat
mengecewakan dan mengguncang umat Islam. Aksi terorisme itu jelas dilarang oleh
agama. Agama memiliki misi perdamaian, bukan kekerasan. Sebagaimana Muhammad
Al-Khathath, sekjen Forum Umat Islam, menegaskan bahwa aksi terorisme bukan
bagian dari perjuangan umat Islam.
Kenyataan-kenyataan terorisme yang selalu
dikaitkan dengan agama Islam, menyisakan stigma tak baik bagi agama Islam.
Seakan agama menjadi satu kesatuan dengan terorisme. Dalam pandangan
masyarakat, agama kemudian memiliki stigma kekerasan, terorisme. Hal ini pada
gilirannya akan menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap agama.
Masyarakat menjadi tidak percaya dengan kedamaian yang dijanjikan oleh agama,
dan mulai meyakini bahwa jihad adalah kekerasan. Dan mungkin juga pada saatnya
nanti, akan ada sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan fatalis dan
nihilis terhadap eksistensi agama.
Jika diperhatikan secara seksama, tampak
ada misi sekelompok orang untuk menghembuskan nafas Islamophobia di jagad ini.
Tuduhan demi tuduhan terorisme yang sering kali dialamatkan ke umat Islam, aksi
kekerasan atau terorisme yang dibungkus nama jihad, kemudian aksi terorisme
yang sering kali muncul di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti
Indonesia, semakin menguatkan asumsi bahwa ada misi untuk membuat umat dunia
(termasuk umat Islam sendiri) mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap
Islam (Islamophobia). Sehingga segala apa yang berhubungan dengan Islam akan
membuat alergi seseorang.
Kita tentu masih ingat kejadian beberapa
tahun lalu yang mengguncang umat muslim sejagad, tepatnya pada 2005, ketika ada
pemuatan karikatur nabi Muhammad SAW oleh salah satu majalah terkemuka di Denmark. Tampak
dalam karikatur itu, salah satunya, sang nabi dihiasi dengan bom. Inilah pesan
bahwa Islam itu adalah agama kekerasan, menjunjung tinggi terorisme. Begitulah
salah satu perwujudan dari Islamophobia Eropa.
Kita sudah lama setuju, bahwa dalam
kekuatan yang besar terdapat tantangan yang besar pula. Islam adalah agama yang
besar, pemeluknya berjumlah besar, maka tantangannya pun sangatlah besar.
Kemungkinan besar, dalang dari problem terorisme yang bisa memicu terjadinya
Islamophobia ini adalah orang-orang non Islam yang membenci Islam dan
lebih-lebih gemar melakukan keonaran dan menyebarkan fitnah, semisal
orang-orang Yahudi. Salah seorang pengamat dari Rusia pernah menyimpulkan
bahwa, dalang dari semua kekacauan dan keonaran yang ada di muka bumi
sebenarnya adalah orang-orang Yahudi (lebih lengkap dalam buku Dajjal akan
Muncul dari Segitiga Bermuda).
Oleh karena itu, setiap ada upaya apapun
dan dalam bentuk apapun itu, yang terkesan memojokkan Islam dengan menyentil
stigma-stigma negatif, haruslah dihadapi dengan ekstra-hati-hati. Umat Islam
dituntut untuk benar-benar arif dan bijak dalam menyikapi isu. Tidak gampang
percaya terhadap isu. Di zaman sekarang ini, selalu ada saja orang nakal yang
gemar menunggangi isu demi kepentingannya. Menanggapi isu haruslah berdasar
pada proses nalar pikir yang jernih dan sehat. Sebab jika tidak, maka bencana
Islamophobia itu akan bergejolak bahkan di kalangan umat Islam sendiri.
Demikian pula, pesantren yang sering kali
kena dalam masalah ini tidak boleh tinggal diam, tidak boleh memilih no comment
dengan bersikap adem-ayem. Diam adalah mati, dan bergerak adalah maju.
Pesantren dituntut untuk bisa memulihkan ruh Islamiyah yang selama ini hampir
runtuh. Demikian pula sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dituntut
untuk bisa menunjukkan kepada publik akan Islam yang sebenarnya, yang cinta
kedamaian dan antikekerasan semisal terorisme; bahwa Islam mengecam aksi
kekerasan dalam bentuk apapun. Dari sinilah kemudian ruh jihad yang sering
diplesetkan itu akan hidup kembali.
Tugas ini memang tidak mudah, tapi
bagaimanapun sebagai lembaga yang berkompeten dalam urusan ini (agama), pesantren
haruslah memperjuangkannya. Pesantren adalah state of mind dalam hal pendidikan
Islam di tanah air. Maka, pesantren tidak boleh menyerah pada keterbatasan yang
mengkungkung, tapi bagaimana menjadikan keterbatasan itu sebagai tantangan yang
harus dihadapi.
Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk
selalu sigap dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul. Kita tahu, sudah lama
sebenarnya aksi terorisme mengguncang negeri ini. Namun sampai sekarang aksi
itu terus saja muncul dan meresahkan banyak orang. Memang sudah ada beberapa
teroris yang tertangkap dan dihukum mati. Tapi tak tahu kenapa, hingga sekarang
ini, para teroris itu masih saja berani unjuk gigi bahkan dengan kekuatan yang
tampak semakin besar dan liar. Seakan mati satu tumbuh seribu. Mungkin saja,
ini akibat dari kinerja pemerintah yang kurang sigap dan tak berkesinambungan
dalam menindak masalah, alias pasang-surut.
Indonesia tampaknya menjadi jargon Islam dunia. Sebab
Indonesialah yang mayoritas penduduknya muslim dan terbanyak di dunia. Maka Indonesia yang
sebentar lagi akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-64 ini adalah
awal yang baik untuk memperbaiki citra Islam. Untuk hal itu, keterlibatan semua
pihak adalah sebuah keniscayaan. Maka yakinkanlah dunia, bahwa sebentar lagi Indonesia
sebagai negeri kaum beragama, akan mewujudkan mimpi menuju gelanggang baldatun thayyibatun wa robbun ghafur!
Wallahu a’lam bisshawab.
No comments:
Post a Comment