Kenapa saya belajar bahasa Prancis? Sebuah pertanyaan yang saya sendiri merasa tidak yakin dengan jawabannya. Dari kecil saya memang tidak terbiasa mempelajari sesuatu dengan terlebih dahulu memahami betul tujuannya apa, apa yang seharusnya saya pelajari, saya pelajari, tanpa bertanya mengapa. Saya selalu yakin bahwa belajar itu baik, selama tidak membawa kita ke arah penyekutuan Tuhan, maka saya belajar sebanyak yang saya bisa, jika itu tidak berguna sekarang, mungkin nanti.
Sejatinya, melakukan, termasuk mempelajari, sesuatu kita mesti tahu apa tujuan yang sebenarnya, agar kita bisa menyusun perencanaan yang matang, berusaha sungguh-sungguh dan sistematis, dan memiliki standard dan bidikan target yang jelas; agar kita tidak seperti orang berjalan dalam sepi tanpa arah dan tujuan. Tujuan adalah sesuatu yang haus dijunjung tinggi, dipegang kuat, dan dirapal dalam hati. Dengan demikian kita akan memiliki daya gedor yang luar biasa dahsyatnya.
Maka, agar tidak menimbulkan spekulasi yang bermacam-macam dan tidak terasa aneh, saya “terpaksa” membuat alasan-alasan, yang pada suatu titik mungkin juga bisa mejadi tujuan, mengapa saya belajar bahasa Prancis, salah satu bahasa Eropa, yang dikomunikasikan tidak hanya oleh penduduk negara Prancis (France), mulai dari Eropa sendiri, Afrika, Asia, dan Amerika, yang negara-negara itu kemudian tergabung dalam L’Organisation Internationale de la Francophonie (L’OIF). Alasan-alasan tersebut (jika bisa dikatakan alasan), di antaranya:
Pertama, konon bahasa Prancis adalah bahasa yang sangat romantis. Ini adalah pernyataan pertama yang saya dengar tentang bahasa Prancis, ketika saya masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Saya tidak tahu ini benar atau tidak, karena saya memang tidak tahu sama sekali sepeti apa bahasa Prancis, bentuk tulisan dan gaya pengucapannya. Yang saya tahu waktu itu hanyalah bahasa Arab dan Inggis, karena memang diajarkan di sekolah, dan juga bahasa Cina, lewat film-film perang. Saya mulai sedikit pecaya tentang romantisme bahasa Prancis, ketika nonton filmEiffel I am in Love, yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Shandy Aulia tampak imut dan cantik di film itu.
Saya ingat sekali, bagaimana Samuel Rizal mengungkapkan rasa pada Shandy Aulia, dalam bahasa Prancis, di malam yang dingin, tepat di bawah menara Eiffel, Paris. Sangat romantis memang. Tapi, bahasanya Samuel kala itu yang katanya bahasa Prancis, terdengar sangat aneh, seperti orang berkumur-kumur, dan seakan mulutnya penuh busa. Saya belum menemukan sisi romantis dalam bahasa Prancis-nya, hanya suasananya saja yang memang sangat romantis. Akhirnya saya penasaran, dan semakin banyak saja orang yang bilang bahwa bahasa Prancis itu romantis. “Apa mereka tak pernah berpikir itu hanya mitos”, batin saya. Tanpa terasa saya selalu mencari tahu tentang bahasa ini, dan pada satu titik, ingin mempelajarinya suatu waktu.
Kedua, bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa international yang tidak sedikit penggunanya, selain bahasa Arab dan Inggris tentunya. Frase bahasa internasional berarti bahasa tersebut digunakan oleh banyak masyarakat internasional. Negara-negara angota L’OIF bisa dijadikan dasar akan ke-internasional-an bahasa Prancis, seperti Belgia, Swiss, Maroko, Kamerun, Kongo, Madagaskan, Mesir, Nigeria, Mauritania, Senegal, Haiti, Armenia, Lebanon dan masih banyak lagi. Sebagaimana bahasa internsional, mempelajarinya menjadi sangat penting, dalam hal komunikasi dengan oang asing, hubungan luar negeri, di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Mempelajarinya berarti kita mengikuti perkembangan dan bisa lebih kompetitif di kancah internasional.
Ketiga, tradisi akademis di Prancis yang sangat bagus. Mengenai hal ini, kita tak bisa berpaling dai masa kebangkitan intelektual Eropa, yaitu masa pencerahan ataurenaissance, yang hal ini, bermula dari Prancis. Prancis menjadi pelopor pencerahan Eropa hingga mencapai kemajuannya sepeti sekarang. Hal tersebut lebih dari cukup bagi kita untuk sekadar mengakui bahwa tradisi akademis atau intelektual di Prancis memang baik. Prancis terutama terkenal dengan tradisi filsafatnya, banyak para filsuf besar lahir di sana. Kita bisa dengan mudah menemukan perguruan tinggi di Prancis yang memiliki track-record sangat baik dan bereputasi internasional.
Banyak mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia, belajar ke Prancis. Para Sarjana Jebolan Prancis, selalu memberi warna terhadap dinamika intelektual internasional. Tunjuk saja, Lucien Fèbvre (sejarawan), Lévi-Strauss (antropolog), Emile Durkheim (sosiolog), di jaman kontemporer kita mengenal Muhammad Arkoun (pemikir Muslim), Hassan Hanafi (pemikir Muslim jebolan Prancis, asal Mesir), di Indonesia ada H. M. Rasjidi (cendekiawan Muslim), dan baru-baru ini ada Andrea Hirata (novelis).
Kedaan tersebut membawa implikasi pada transformasi keilmuan Prancis ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Banyak tulisan-tulisan akademis yang ditulis mengunakan bahasa Prancis, atau paling tidak, mengingat saat ini telah banyak upaya penerjemahan, sumber aslinya berbahasa Prancis. Adalah sebuah kepuasan akademis, ketika seseorang melakukan riset dengan merujuk pada sumber asli, hal itu juga sebagai antisipasi kesalahan penerjemahan, dan bukti bahwa hasil riset tersebut bisa dipertanggung-jawabkan secara akademik. Alhasil, bahasa Prancis adalah bahasa akademis, seorang akademisi, idealnya, tahu bahasa Prancis, setidaknya pasif. Saya sebagai seorang mahasiswa yang cenderung akademis, bisa dimengerti mengapa saya belajar bahasa Prancis.
Keempat, ingin kuliah ke Prancis. Pertama kali mimpi kuliah ke Prancis ini terbesit, yaitu ketika saya duduk di semester V, jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel. Waktu itu ada mata kuliah wajib “Historiografi”, yang diampu oleh seorang dosen berkompeten Dr. Ahmad Nur Fuad, MA. Di situ kami diajari tentang historiografi tradisional dan historiografi modern. Historiografi yang terakhir ini, adalah sejarah sosial, sejarah orang ‘diam’, yang dipelopori oleh sarjana Prancis, Lucien Fèbvre. Fèbvre, bersama kawan-kawannya mengkritik sejarah tradisional yang selalu menarasikan raja, militer, dan peristiwa peristiwa penting. Sementara Fèbvre menawarkan corak sejarah lain, yaitu sejaran rakyat jelata, sejarah makan, pakaian dan hal yang mungkin dianggap remeh-temeh dalam historiografi tradisional.
Sejarah sosial Fèbvre ini, yang banyak dipengaruhi strukturalisme Lévi-Strauss, disebut juga sejarah total (total history, atau juga new history). Perkembangan demi perkembangan, sejarah total ini dikenal pula dengan sejarah mazhab Annales, yang digawangi para sarjana Prancis. Sekarang, tradisi Annales ini tumbuh subur terutama di perguruan tinggi EHESS, di Paris. Saya sebagai mahasiswa di jurusan sejarah, sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai sejarah total tersebut, yang hal itu berarti mengharuskan saya untuk membaca sumber-sumber Prancis. Lebih jauh mengenai sejah total dan mazhab Annales, baca tulisan saya, Annales dan Desakralisasi Sejarah.
Kelima, mengisi waktu dan perbendaharaan bahasa. Semester VII ini, aktivitas sehari-hari saya tidak begitu padat, kuliah pun tidak setiap hari. Maka, saya ingin mengisi masa-masa santai ini dengan sesuatu yang penting dan berpengaruh terutapa pada perjalanan akademis saya selanjutnya. Jatuhlah pilihan saya untuk belajar bahasa Prancis. Memang, untuk saat ini, bagi saya, belajar bahasa Prancis tidak begitu mendesak, atau tidak begitu primer dalam mendukung tugas-tugas kuliah. Tapi, karena ini adalah bahasa, saya yakin suatu saat akan sangat berguna. Belajar bahasa tidak akan pernah sia-sia, karena bahasa itu terus ada dan tak akan pernah mati. Bahasalah yang akan membuat kita terus bisa survive dan bersaing terutama di era globalisasi seperti sekarang ini. Selain itu, pada dasarnya, saya memang suka mempelajari bahasa. Sejauh ini, saya baru bisa bahasa Arab, Inggris, dan sekarang proses belajar bahasa Prancis. Setelah ini, saya ingin mempelajari bahasa yang lain lagi.
Keenam, gengsi. Prancis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, memiliki nilai gengsi yang cukup tinggi. Prancis memiliki banyak ikon yang diterima secara internasional hampir di semua lini, mulai fashion, parfum, budaya yang dinamis, iklim yang sejuk, universitas bereputasi internasional, menara Eiffel, mueum Lèuvre, abad pencerahan, para iflsuf, sejarah yang mentereng, dan banyak lagi, yang kesemuanya itu menjadikan segala sesuatu yang berhubungan dengan Prancis menjadi wah di mata orang-orang. Bahasa Prancis, kemudian, tak luput dari padangan wah orang-orang. Orang yang bisa berbahasa Prancis akan mendapat nilai plus, terlihat sangat seksi, akademis, bahkan fashionable.
Apalagi, bahasa Prancis tidak begitu familiar di tengah masyarakat kita, maka orang yang bisa berbahasa Prancis menjadi langka, dicari, bergengsi, di-wah-kan, dan luar biasa. Tak pelu mendengar seseorang menguasai bahasa Prancis, mendengar seseroang sedang belajar bahasa Prancis saja, seperti saya sekarang, sudah begitu wah. Tapi, urusan gengsi ini, sebagaimana akan Anda ketahui, berada di urutan terakhir dari alasan-alasan saya belajar bahasa Prancis. Seandainya masi ada alasan-alasan lain nanti, alasan gengsi ini akan saya pindah lagi ke urutan terakhir, dan seterusnya. Sebab, saya sendiri merasa, bahwa gengsi sebenarnya adalah alasan yang kurang baik dan bisa menghambat perbaikan kualitas dan “kemajuan”.
Demikianlah beberapa alasan yang bisa saya munculkan. Alasan-alasan tersebut, bisa saja benar dan sesuai dengan keadaan saya, meski tidak pasti merepresentasikan seluruh apa yang sedang saya pikirkan tentang bahasa Prancis. Oleh karena itu, tetap saja, ketika ada seeorang bertanya secara serius mengenai apa tujuan penting saya belajar bahasa Prancis, saya selalu mengalami kebingungan dan akhirnya memberikan jawaban yang saya sendiri tidak yakin. Satu hal yang saya yakini: saya belajar bahasa Prancis karena saya ingin tahu dan itu pasti berguna, jika tidak berguna sekarang, mungkin nanti.
No comments:
Post a Comment