Thursday, July 21, 2016

Oui, Je Parle Français (3)

Saya terdaftar sebagai peserta kelas ekstensif bahasa Prancis di Institut Français Indonesia (IFI) Surabaya. Meski saya tahu kelas ini tak “seserius” kelas semi-intensif maupun kelas intensif, ada alasan yang menurut saya cukup penting terkait keadaan saya sekarang ini yang serba terbatas. Pertama, saya tidak punya cukup uang untuk membayar lebih mahal seperti di kelas semi-intensif maupun intensif, sehingga saya tidak terlalu berangan-angan mengambil kelas intensif. Pikiran saya adalah yang penting belajar bahasa Prancis dulu, bagaimanapun keadaannya. Kedua, saya tidak punya cukup waktu untuk setiap hari (sebagaimana jadual kelas semi-intensif dan intensif) masuk kelas, mengingat saya setiap hari harus kuliah, banyak buku yang harus dibaca, dan banyak tugas yang mesti diselesaikan. Belajar bahasa Prancis pelan-pelan asal pasti itu sudah bagus.

IFI Surabaya bertempat di komplek AJBS di jalan Ratna, lumayan dekat dari Wonocolo, tempat saya. Tetapi meski begitu jangan coba menempuhnya dengan jalan kaki. Saya kira gedung IFI Surabaya bukanlah gedung yang dibangun khusus IFI, melainkan gedung sewaan, atau mungkin saja (karena saya belum sempat bertanya) telah dibeli oleh IFI Surabaya dan dilakukan perbaikan seperlunya di bagian dalam. Dari luar, melihat arsitekturnya, gedung tersebut tampak tua seperti sisa-sisa gedung Surabaya tempoe doeloe lainnya. Tua di luar, tapi tidak demikian halnya di dalam, yang tampak elit, nyaman, dan representatif untuk sekadar belajar bahasa Prancis. Di sana adalah ruangan full AC, Wifi area, beralaskan karpet, tersedia pula ruang perpustakaan yang nyaman (bibliotèque). Di setiap sudut ruangan, dalam gedung yang bentuknya persegi panjang itu, terpampang gambar-gambar bernuansa Prancis, peta Prancis, papan dan kotak-kotak informasi (tentang kampus dan kuliah di Prancis, even budaya, lowongan magang), papan khusus untuk menampung oret-oretan peserta dalam bahasa Prancis, dan ornamen-ornamen terkenal yang dipunya Prancis, seperti menara Eiffel yang perkasa dan museum Leuvre yang berbentuk Piramida itu.

Gedung tersebut memanjang dari barat ke timur dan menghadap ke selatan. Bagian ujung timur gedung, terdapat ruang layanan Campus France, yaitu tempat konsultasi dan pendampingan bagi mereka yang membutuhkan informasi apapun yang dibuthkan tentang kampus dan kuliah di Prancis, didampingi ia berangkat ke Prancis. Pas di depan ruangan tersebut adalah perpustakaan, dan kemudian meja resepsionis. Meja resepsionis ada dua, yaitu di samping pintu masuk perpustakaan dan di depan pintuk masuk utama. Untuk meminjam dan mengembalikan buku, seerta mendaftar kursus, dilayani oleh resepsionis yang ada di perpustakaan. Resepsionis yang ada di depan pintu masuk utama, tampaknya hanya sebagai tempat bertanya, mengambil buku, mengembalikan angket, tempat komplain, dan hal lain yang berkaitan dengan jalannya program kelas bahasa Prancis. Kalau saya perhatikan, resepsionis yang berada di samping pintu masuk perpus perannya lebih vital. Waktu saya pertama kali masuk ke gedung tersebut, setelah bilang ke Satpam mengenai tujuan saya untuk tahu lebih banyak mengenai kursus bahasa Prancis di IFI, Satpam tersebut membawa saya ke resepsionis di ruang perpustakaan itu.

Saya memulai kelas bahasa Prancis pertama saya pada hari Senin tanggal 7 Oktober 2013. Saya memilih jam 18.15-20.15, setelah Maghrib, dua kali dalam seminggu, yaitu hari Senin dan Rabu. Alasan saya memilih jam tersebut tiada lain karena waktu pagi sampai siang saya beraktivitas di kampus, yang sejak tanggal 4 Desember sudah resmi beralih status dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ke Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel. Pada tanggal 7 tersebut, sebelum masuk kelas, saya terlebih dahulu menghadap resepsionis depan pintu masuk utama untuk menukar kwitansi pembayaran (saya mendaftar tanggal 6 Oktober, hari Sabtu) dengan dua buku modul, (masing-masing dilengkapi DVD), sebuah buku catatan, pena, sticker, t-shirt, dan sebuah tas yang menurut saya unik, dan meminta surat tanda terima yang sekaligus menjadi ‘tiket’ untu membuat kartu keanggotaan IFI Surabaya.

Setelah ruang Campus France dan perpustakaan, terdapat ruang-ruang kelas berderet rapi, seluruhnya ada tujuh kelas. Memanjang dari timur ke barat, setiap kelas dipisah dengan tembok, mereka berdempetan, sehingga yang kellihatan hanya bagian depannya saja yang seluruhnya terdiri dari kaca putih transparan. Masing-masing kelas, di bagian depannya yang tampak dan terdiri dari kaca itu, terdapat tulisan angka yang sangat besar, yang dari saking besarnya, saya tidak menyadari bahwa itu adalah angka, saya mengira itu hanyalah gaya (hari pertama saya kursus, saya kebingungan mencari kelas, saya tidak menemukan angkanya, padahal angka yang saya cari sudah terlalu besar di depan hidung saya). Ya, setiap kelas ada angkanya masing-masing, kelas 1, 2, 3, 4, 5, 6, sampai 7. Kelas-kelas tersebut tidak menunjukkan level kemampuan bahasa Prancis. Peserta yang kelasnya berangka 7 bukan berarti jauh lebih pandai dari mereka yang berada di kelas dengan angka 2. Angka-angka tersebut hanya untuk memudahkan pencarian kelas saja, baik peserta maupun pengajar (professieur).

Kelas saya adalah kelas dengan nomor/angka 2 (saya tidak perlu masuk kelas angka 1 dulu untuk sampai ke kelas angka 2 ini). Ya, hari pertama masuk saya kebingungan cari angka 2 ini, dari sakin besarnya, lebih besar dan tinggi dari badan saya. Meski saya kelas dengan angka 2, pada suatu kesempatan, saya (dan teman sekelas tentunya) juga pernah masuk di kelas nomor 7 yang kebetulan kosong, dan kelas nomor 2 sedang dibersihkan. Pernah pula saya dan teman-teman masuk di kelas nomor 3, dan itu tidak masalah.

Ingin saya ceritakan pula di sini, bahwa di samping angka yang ditulis besar di bagian depan masing-masing kelas itu, terdapat tulisan, berbentuk frase dan ada pula yang berbentuk kalimat. Di bagian depan kelas nomor 1, di samping angka “1” itu, tertulis “Oui, je parle Français”, kelas nomor 2 tertulis “Le Français, une langue pour demain”, kelas nomor 3 “Oui je parle Europe”, kelas nomor 4 “Le Français, langue des affaires”, kelas nomor 5 “Le Français, langue de la culture”, Kelas nomor 6 “Le Français, langue pour voyager”, dan di kelas nomor 7 saya lupa tertulis apa.

Memang jika diperhatikan sekilas, tulisan-tulisan tersebut terkadang menunjukkan level, tapi juga tampak menunjukkan spesialisasi tema. Taruhlan tulisan di kelas nomor 2, “Le Français, une langue pour demain”, yang maksudnya adalah bahasa Prancis untuk pemula. Sekilas, ini menunjukkan level kemampuan bahasa. Tapi sebenarnya tidak, kelas ini dipakai oleh semua peserta, sesuai dengan jadualnya. Bisa saja yang memakai kelas ini kelas intensif yang mungkin para pesertanya pandai-pandai, atau bukan pemula lagi. Memang, saya, yang adalah pemula sekali dalam belajar bahasa Prancis, bertempat di kelas nomor 2 ini, tapi hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi bahwa tulisan itu menunjukkan level.

Selanjutnya, jika kita membaca tulisan yang tertera di kelas nomor 4, “Le Français, langue des affaires” (bahasanya para pebisnis), kelas nomor 5 “Le Français, langue de la culture” (bahasa kebudayaan), atau di nomor 6 “Le Français, langue pour voyager” (bahasa untuk para pejalan/penjelajah), terasa menunjukkan spesifikasi. Seakan-akan, secara sederhana, bagi mereka yang ingin belajar bahasa Prancis untuk kepentingan bisnis, akan ditempatkan di kelas nomor 4, bagi yang berkepentingan dalam urusan kebudayaan, di kelas nomor 5 tempatnya, dan bagi yang bertujuan untuk jalan-jalan, di kelas nomor 6-lah tempatnya. Keyakinan kita bahwa semua itu tidak menunjukkan level ataupun spesialisasi ketika kita melirik tulisan di kelas nomor 1 “Oui je parle Français”, dan nomor 3 “Oui je parle Europe”. Tentu dua tulisan yang terakhir ini, tak adakaitannya dengan level maupun spesialisasi. Semua kelas yang ada tentulah merupakan satu kesatuan, sehingga ketika kita mengatakan salah satu kelas menunjukkan level atau spesialisasi, maka terjadi inkonsistensi di situ. Ini sebenarnya sangat sederhana, tak parlu dibicarakan secara berlebihan.

Sejauh yang saya perhatikan, tulisan-tulisan tersebut ditulis bukan dengan tujuan ingin menunjukkan level atau spesialisasi, melainkan untuk menunjukkan betapa bahasa Prancis itu digunakan hampir di semua lini, baik urusan bisnis, pelesir, pendidikan, bahasa budaya yang dinamis, dan banyak lagi. Semua itu saya kira hanyalah ekspresi, untuk membakar semangat dan menginspirasi para peserta kursus bahasa Prancis. Masuk ke gedung IFI Surabaya, kita memang akan disuguhi pemandangan yang serba Prancis, ungkapan-ungkapan yang inspiratif dan informatif, serta everything about France.

Friday, July 15, 2016

Oui, Je Parle Français (2)

Pilihan untuk belajar bahasa Prancis sebenarnya adalah pilihan kedua, dan pilihan yang pertama adalah bahasa Persia. Ada satu alasan penting kenapa saya tertarik dengan bahasa yang disebut terakhir ini, yakni karena saya memiliki kecenderungan pada sejarah kebuadayaan Islam, yang tak bisa lepas kaitannya dengan peradaban Persia, dan saya juga suka membaca pemikiran-pemikiran tasawwuf-Islam yang paling banyak rupanya dikarang oleh Muslim-Muslim Persia pada abad pertengahan. Namun karena sulitnya akses untuk belajar bahasa Persia, saya lewati dulu pilihan pertama ini dan pindah ke pilihan kedua, bahasa Prancis.

Sebagaimana pada bahasa Persia sebelumnya, saya juga memburu informasi seputar kursus bahasa Prancis di Surabaya, tempat saya tinggal, yang kualitasnya baik dan harganya pun terjangkau. Saya memburu informasi mulai dari pamflet, majalah, koran, internet (google), hingga tanya ke teman-teman. Dari pencarian yang sangat melelahkan itu, akhirnya saya hanya dapat satu informasi kursus bahasa Prancis, yaitu di Institut Fançais Indonesia (IFI) Surabaya, beralamat di jalan Ratna, Ngagel. Lumayan dekat dengan tempat saya, di jalan Pabrik Kulit, Wonocolo. Sebelum tahun 2013, IFI dikenal dengan CCCL (Centre Culturele et de Coopération Linguistique), yang bertempat di jalan Darmokali. Meski pindah tempat dan berubah nama di awal tahun 2013, esensi lembaga ini tidaklah berubah. IFI merupakan lembaga di bawah naungan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, yang memiliki ragam program di bidang pandidikan, seni-budaya, referensi, dan banyak lagi yang saya kira sangat otoritatif untuk sekadar membuka kelas bahasa Prancis.

IFI yang berada di bawah naungan Kedutaan Besar Prancis ini, bisa ditemui di beberapa kota di selurh Indonesia, seperti Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, pastinya Jakarta, dan beberapa kota lagi. IFI yang ada di Yogyakarta dikenal dengan IFI Yogyakarta, dan IFI yang ada di Surabaya dikelas dengan IFI Surabaya, dan begitu seterusnya. Meski semua lembaga IFI yang tersebar di beberapa kota tersebut masih berada dalam satu atap, dan dengan program kerja pokok yang pada umumnya sama, rupanya masing-masing IFI tersebut, dengan kreativitasnya masing-masing, membuat program tambahan sehingga masing-masing IFI memiliki distingsi.

Ada satu hal yang mengganggu saya kaitannya dengan kelas bahasa Prancis di IFI, yaitu biayanya yang, bagi saya, mahal. Ada tiga macam kelas bahasa Prancis yang dibuka IFI, yaitu kelas ekstensif, semi-intensif, intensif, dan kelas bahasa Prancis untuk anak-anak, yang semuanya dibuka dan dimulai setiap bulan per 7 Oktober 2013.

Kelas ekstensif biayanya relatif murah, sesuai dengan waktunya yang relatif pendek, yaitu 50 jam selama 12,5 minggu, dengan perincian masuk dua kali (setiap kali masuk durasinya 2 jam) dalam seminggu, dengan pilihan yang telah diatur sedemikian rupa, bisa pagi, sore, atau malamnya. Orang yang sibuk, dan ingin sekali ibelajar bahasa Prancis, di sinilah kelas yang cocok menurut saya. Banyak orang-orang yang sudah kerja, para profesional, pelajar yang setiap harinya sekolah, mengambil kelas ini karena banyak pilihan waktunya. Total biaya kursus untuk kelas ini yaitu satu juta setengah lebih sedikit, sudah termasuk kit pelajaran dan keanggotaan selama 1 tahun. Keanggotaan yang dimaksud adalah status peserta sebagai anggota IFI dan berhak mengakses dan meminjam buku-buku dan koleksi audio visual (semuanya dalam bahasa Prancis) secara gratis, serta kesempatan untuk bertanya secara lebih detail dengan informasi pendidikan Prancis di pojok Campus France.

Kelas semi-intensif lebih padat ketimbang kelas ekstensif, tapi tak sepadat kelas intensif. Kelas intensif durasinya 100 jam dalam 100 minggu, masuk setiap hari yaitu Senin sampai Jum’at, dengan pilihan waktu yang lebih sedikit. Biaya untuk kelas ini dua juta lebih sedikit. Kelas selanjutnya adalah intensif, kelasnya orang-orang yang benar-benar ingin belajar bahasa prancis dengan cepat. Masuk setiap hari senin sampai jumat dengan satu-satunya pilihan waktu yang mesti dipilih. Kelas ini sangat padat, 150 jam dalam 7,5 minggu, dengan biaya yang lebih mahal, bahkan paling mahal di antara kelas-kelas yang lain, yaitu tiga juta lebih sedikit. Kelas terakhir yaitu kelas bahasa oprancis untuk anak-anak, 30 jam dalam 15 minggu, masuk satu kali seminggu, tepatnya hari kamis, dengan biasa yang relatif murah, dan paling murah di antara kelas-kelas yang lain. Semua peserta yang mendaftar, untuk semua kelas, mendapat kit pelajaran dan keanggotaan selama 1 tahun sebagaimana telah disebutkan di atas. Pendaftaran dan pembayaran kursus paling lambat satu minggu sebelum kursus dimulai.

Setelah sedikit banyak tahu informasi tentang kursus bahasa Prancis di IFI, termasuk biayanya yang, sekali lagi menurut saya, mahal, saya tidak bisa langsung mendaftar. Saya berharap adalah lembaga kursus bahasa Prancis di Surabaya, atau di mana saja di kota-kota Jawa Timur, yang biayanya relatif bisa dijangkau. Saya meneruskan perburuan informasi di internet dan dari teman-teman dan saudara. Untuk yang kedua kalinya, yang saya dapatkan hanya kelas bahasa Prancis di IFI Surabaya, “dunia ini sungguh sempit”, ujar saya dalam hati waktu itu. Bahkan ada yang bilang, di surabaya, kelas bahasa Prancis di IFI adalah yang paling baik dan paling murah. Saya belum mantap.

Saya selalu berharap ada lembaga-lembaga kursus bahasa asing yang murah seperti lembaga kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri. Di surabaya, lebih-lebih di lembaga-lembaga profesional seperti IFI, semua orang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah tahu, memang mahal. Taruhlah English First (EF), lembaga ini memang profesional, dengan SDM yang memadai, fasilitas yang baik, dan tingkat keberhasilan di atas 50 %. Tapi di Kediri sana, Pare, tepatnya di desa Tulungrejo dan Palem, berjibun lembaga kursus bahasa Inggris, dengan sistem yang masih sederhana, tapi tingkat keberhasilannya juga lumayan tinggi. Pare, sampai detik ini, masih menjadi tempat tujuan (recommended point) untuk urusan belajar bahasa Inggris. Meski dengan sistem yang sederhana dan fasilitas seadanya, tapi kualitasnya tidak kalah dari lembaga-lembaga di tempat lain yang profesional dan mahal. Nah,dalam kasus bahasa Prancis ini, saya mencari lembaga-lembaga kursus seperti di Pare, yang murah dengan kualitas yang tidak bisa diremehkan. Ya, barang kali ada.

Namun, sementara waktu terus berjalan, saya tidak kunjung menemukan “Pare”-nya bahasa Prancis. Karena pilihan yang telah bulat untuk belajar bahasa Prancis, saya pun memandang IFI, mengumpulkan uang, dan menggali informasi lebih tentang kursus bahasa Prancis di IFI Surabaya, bahkan untuk kepentingan informasi ini, di suatu siang yang panas, yang mendatangi langsung sekretariat IFI di jalan Ratna itu. Bonjour!

Thursday, July 14, 2016

Oui, Je Parle Français (1)

Kenapa saya belajar bahasa Prancis? Sebuah pertanyaan yang saya sendiri merasa tidak yakin dengan jawabannya. Dari kecil saya memang tidak terbiasa mempelajari sesuatu dengan terlebih dahulu memahami betul tujuannya apa, apa yang seharusnya saya pelajari, saya pelajari, tanpa bertanya mengapa. Saya selalu yakin bahwa belajar itu baik, selama tidak membawa kita ke arah penyekutuan Tuhan, maka saya belajar sebanyak yang saya bisa, jika itu tidak berguna sekarang, mungkin nanti.

Sejatinya, melakukan, termasuk mempelajari, sesuatu kita mesti tahu apa tujuan yang sebenarnya, agar kita bisa menyusun perencanaan yang matang, berusaha sungguh-sungguh dan sistematis, dan memiliki standard dan bidikan target yang jelas; agar kita tidak seperti orang berjalan dalam sepi tanpa arah dan tujuan. Tujuan adalah sesuatu yang haus dijunjung tinggi, dipegang kuat, dan dirapal dalam hati. Dengan demikian kita akan memiliki daya gedor yang luar biasa dahsyatnya.

Maka, agar tidak menimbulkan spekulasi yang bermacam-macam dan tidak terasa aneh, saya “terpaksa” membuat alasan-alasan, yang pada suatu titik mungkin juga bisa mejadi tujuan, mengapa saya belajar bahasa Prancis, salah satu bahasa Eropa, yang dikomunikasikan tidak hanya oleh penduduk negara Prancis (France), mulai dari Eropa sendiri, Afrika, Asia, dan Amerika, yang negara-negara itu kemudian tergabung dalam L’Organisation Internationale de la Francophonie (L’OIF). Alasan-alasan tersebut (jika bisa dikatakan alasan), di antaranya:

Pertama, konon bahasa Prancis adalah bahasa yang sangat romantis. Ini adalah pernyataan pertama yang saya dengar tentang bahasa Prancis, ketika saya masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Saya tidak tahu ini benar atau tidak, karena saya memang tidak tahu sama sekali sepeti apa bahasa Prancis, bentuk tulisan dan gaya pengucapannya. Yang saya tahu waktu itu hanyalah bahasa Arab dan Inggis, karena memang diajarkan di sekolah, dan juga bahasa Cina, lewat film-film perang. Saya mulai sedikit pecaya tentang romantisme bahasa Prancis, ketika nonton filmEiffel I am in Love, yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Shandy Aulia tampak imut dan cantik di film itu.

Saya ingat sekali, bagaimana Samuel Rizal mengungkapkan rasa pada Shandy Aulia, dalam bahasa Prancis, di malam yang dingin, tepat di bawah menara Eiffel, Paris. Sangat romantis memang. Tapi, bahasanya Samuel kala itu yang katanya bahasa Prancis, terdengar sangat aneh, seperti orang berkumur-kumur, dan seakan mulutnya penuh busa. Saya belum menemukan sisi romantis dalam bahasa Prancis-nya, hanya suasananya saja yang memang sangat romantis. Akhirnya saya penasaran, dan semakin banyak saja orang yang bilang bahwa bahasa Prancis itu romantis. “Apa mereka tak pernah berpikir itu hanya mitos”, batin saya. Tanpa terasa saya selalu mencari tahu tentang bahasa ini, dan pada satu titik, ingin mempelajarinya suatu waktu.

Kedua, bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa international yang tidak sedikit penggunanya, selain bahasa Arab dan Inggris tentunya. Frase bahasa internasional berarti bahasa tersebut digunakan oleh banyak masyarakat internasional. Negara-negara angota L’OIF bisa dijadikan dasar akan ke-internasional-an bahasa Prancis, seperti Belgia, Swiss, Maroko, Kamerun, Kongo, Madagaskan, Mesir, Nigeria, Mauritania, Senegal, Haiti, Armenia, Lebanon dan masih banyak lagi. Sebagaimana bahasa internsional, mempelajarinya menjadi sangat penting, dalam hal komunikasi dengan oang asing, hubungan luar negeri, di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Mempelajarinya berarti kita mengikuti perkembangan dan bisa lebih kompetitif di kancah internasional.

Ketiga, tradisi akademis di Prancis yang sangat bagus. Mengenai hal ini, kita tak bisa berpaling dai masa kebangkitan intelektual Eropa, yaitu masa pencerahan ataurenaissance, yang hal ini, bermula dari Prancis. Prancis menjadi pelopor pencerahan Eropa hingga mencapai kemajuannya sepeti sekarang. Hal tersebut lebih dari cukup bagi kita untuk sekadar mengakui bahwa tradisi akademis atau intelektual di Prancis memang baik. Prancis terutama terkenal dengan tradisi filsafatnya, banyak para filsuf besar lahir di sana. Kita bisa dengan mudah menemukan perguruan tinggi di Prancis yang memiliki track-record sangat baik dan bereputasi internasional.

Banyak mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia, belajar ke Prancis. Para Sarjana Jebolan Prancis, selalu memberi warna terhadap dinamika intelektual internasional. Tunjuk saja, Lucien Fèbvre (sejarawan), Lévi-Strauss (antropolog), Emile Durkheim (sosiolog), di jaman kontemporer kita mengenal Muhammad Arkoun (pemikir Muslim), Hassan Hanafi (pemikir Muslim jebolan Prancis, asal Mesir), di Indonesia ada H. M. Rasjidi (cendekiawan Muslim), dan baru-baru ini ada Andrea Hirata (novelis).

Kedaan tersebut membawa implikasi pada transformasi keilmuan Prancis ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Banyak tulisan-tulisan akademis yang ditulis mengunakan bahasa Prancis, atau paling tidak, mengingat saat ini telah banyak upaya penerjemahan, sumber aslinya berbahasa Prancis. Adalah sebuah kepuasan akademis, ketika seseorang melakukan riset dengan merujuk pada sumber asli, hal itu juga sebagai antisipasi kesalahan penerjemahan, dan bukti bahwa hasil riset tersebut bisa dipertanggung-jawabkan secara akademik. Alhasil, bahasa Prancis adalah bahasa akademis, seorang akademisi, idealnya, tahu bahasa Prancis, setidaknya pasif. Saya sebagai seorang mahasiswa yang cenderung akademis, bisa dimengerti mengapa saya belajar bahasa Prancis.

Keempat, ingin kuliah ke Prancis. Pertama kali mimpi kuliah ke Prancis ini terbesit, yaitu ketika saya duduk di semester V, jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel. Waktu itu ada mata kuliah wajib “Historiografi”, yang diampu oleh seorang dosen berkompeten Dr. Ahmad Nur Fuad, MA. Di situ kami diajari tentang historiografi tradisional dan historiografi modern. Historiografi yang terakhir ini, adalah sejarah sosial, sejarah orang ‘diam’, yang dipelopori oleh sarjana Prancis, Lucien Fèbvre. Fèbvre, bersama kawan-kawannya mengkritik sejarah tradisional yang selalu menarasikan raja, militer, dan peristiwa peristiwa penting. Sementara Fèbvre menawarkan corak sejarah lain, yaitu sejaran rakyat jelata, sejarah makan, pakaian dan hal yang mungkin dianggap remeh-temeh dalam historiografi tradisional.

Sejarah sosial Fèbvre ini, yang banyak dipengaruhi strukturalisme Lévi-Strauss, disebut juga sejarah total (total history, atau juga new history). Perkembangan demi perkembangan, sejarah total ini dikenal pula dengan sejarah mazhab Annales, yang digawangi para sarjana Prancis. Sekarang, tradisi Annales ini tumbuh subur terutama di perguruan tinggi EHESS, di Paris. Saya sebagai mahasiswa di jurusan sejarah, sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai sejarah total tersebut, yang hal itu berarti mengharuskan saya untuk membaca sumber-sumber Prancis. Lebih jauh mengenai sejah total dan mazhab Annales, baca tulisan saya, Annales dan Desakralisasi Sejarah.

Kelima, mengisi waktu dan perbendaharaan bahasa. Semester VII ini, aktivitas sehari-hari saya tidak begitu padat, kuliah pun tidak setiap hari. Maka, saya ingin mengisi masa-masa santai ini dengan sesuatu yang penting dan berpengaruh terutapa pada perjalanan akademis saya selanjutnya. Jatuhlah pilihan saya untuk belajar bahasa Prancis. Memang, untuk saat ini, bagi saya, belajar bahasa Prancis tidak begitu mendesak, atau tidak begitu primer dalam mendukung tugas-tugas kuliah. Tapi, karena ini adalah bahasa, saya yakin suatu saat akan sangat berguna. Belajar bahasa tidak akan pernah sia-sia, karena bahasa itu terus ada dan tak akan pernah mati. Bahasalah yang akan membuat kita terus bisa survive dan bersaing terutama di era globalisasi seperti sekarang ini. Selain itu, pada dasarnya, saya memang suka mempelajari bahasa. Sejauh ini, saya baru bisa bahasa Arab, Inggris, dan sekarang proses belajar bahasa Prancis. Setelah ini, saya ingin mempelajari bahasa yang lain lagi.

Keenam, gengsi. Prancis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, memiliki nilai gengsi yang cukup tinggi. Prancis memiliki banyak ikon yang diterima secara internasional hampir di semua lini, mulai fashion, parfum, budaya yang dinamis, iklim yang sejuk, universitas bereputasi internasional, menara Eiffel, mueum Lèuvre, abad pencerahan, para iflsuf, sejarah yang mentereng, dan banyak lagi, yang kesemuanya itu menjadikan segala sesuatu yang berhubungan dengan Prancis menjadi wah di mata orang-orang. Bahasa Prancis, kemudian, tak luput dari padangan wah orang-orang. Orang yang bisa berbahasa Prancis akan mendapat nilai plus, terlihat sangat seksi, akademis, bahkan fashionable.

Apalagi, bahasa Prancis tidak begitu familiar di tengah masyarakat kita, maka orang yang bisa berbahasa Prancis menjadi langka, dicari, bergengsi, di-wah-kan, dan luar biasa. Tak pelu mendengar seseorang menguasai bahasa Prancis, mendengar seseroang sedang belajar bahasa Prancis saja, seperti saya sekarang, sudah begitu wah. Tapi, urusan gengsi ini, sebagaimana akan Anda ketahui, berada di urutan terakhir dari alasan-alasan saya belajar bahasa Prancis. Seandainya masi ada alasan-alasan lain nanti, alasan gengsi ini akan saya pindah lagi ke urutan terakhir, dan seterusnya. Sebab, saya sendiri merasa, bahwa gengsi sebenarnya adalah alasan yang kurang baik dan bisa menghambat perbaikan kualitas dan “kemajuan”.

Demikianlah beberapa alasan yang bisa saya munculkan. Alasan-alasan tersebut, bisa saja benar dan sesuai dengan keadaan saya, meski tidak pasti merepresentasikan seluruh apa yang sedang saya pikirkan tentang bahasa Prancis. Oleh karena itu, tetap saja, ketika ada seeorang bertanya secara serius mengenai apa tujuan penting saya belajar bahasa Prancis, saya selalu mengalami kebingungan dan akhirnya memberikan jawaban yang saya sendiri tidak yakin. Satu hal yang saya yakini: saya belajar bahasa Prancis karena saya ingin tahu dan itu pasti berguna, jika tidak berguna sekarang, mungkin nanti.