Friday, August 31, 2012

Tiga Pilihan Sulit dan Imperialisme Eropa



Kekuatan Kristen itu kemudia mencapai puncaknya ketika dua kerajaan Kristen besar bersatu, yakni Aragon dan Castile. Persatuan ini disebabkan oleh perkawinan Ferinand (raja Aragon) dan Isabella (ratu cantik Castile), tahun 1469 M.[1] Kekutan kristen kemudian bisa sedikit demi sedikit mendorong dan mendesak kekuatan Islam ke Selatan, hingga Islam hanya bercokol di Granada sebagai benteng terakhir. Tapi bagaimanapuun, keberadaan Islam di benteng terakhir ini terus terusik, dan takluk pada 1492 pada kekuasaan Ferdinand-Isabella.[2]
Kejayaan Islam Spanyol, sejak awal pembebasannya (futuhat)  pada tahun 711 M sampai masa-masa terakhir Granada, tidak lepas dari bayangan-banyangan kaum Kristen di belahan Utara Spanyol. Pada masa pembebasan Spanyol ini, kekuasaan Kristen yang labil, berhasil diberangus dan Kristen kemudian lari ke Utara Spanyol. Di sanalah kemudian Kristen berbenah, dan kemudian terus mencoba melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kekuasaan Islam Andalusia.

Meski Granada takluk, namun kaum Muslim kota ini tetap dalam perlindungan Ferdinand-Isabella. Namun hal ini tidak berumur lama, karena pengaruh Gereja, kedua penguasa itu kemudian berambisi untuk ‘menghabiskan’ kaum Muslim dari tanah Spanyol, yang puncaknya pada tahun 1499, janji pelindungan bagi kaum Muslim dilanggar dan mereka dihadapkan pada pilihan-pilihat yang sangat sulit: masuk Kristen dengan bersedia dibabtis, hengkang segera dari tanah Spanyol, atau jika keduanya, berarti siap untuk mati.

Tuesday, August 28, 2012

Annales dan Desakralisasi Sejarah; Mengintip Perjalanan Historiografi Islam Indonesia

Semoga judul di atas tidak berlebihan, untuk sekadar menarik simplifikasi penggambaran tentang bagaimanahistoriografi merekam jejakusaha penulisan sejarah Islam Indonesia.

Mengapa Annales? Mazhab ini sangat berpengaruh bagi pembentukan historiografi baru (kontemporer) Indonesia. Tulisan sejarah di tangan Annales terbukti sarat “pemberontakan” terhadap gaya tulisan-tulisan sejarah yang pernah ada, sehingga penulisan sejarah versi mazhab ini dimasukkan dalam historiografi baru. Dengan sedikit memahami Annales, diharapkan sedikit banyak kita bisa merunut dan memahami bagaimana penulisan sejarah lama (tradisional) dibentuk.

***

Sebagaimana mafhum, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri. Dari masa ke masa akan selalu ada konstruksi sejarah yang lebih memadai dan sesuai dengan situasi sebuah generasi atau komunitasnya.[1] Maka tak dapat dipungkiri bahwa bentuk sejarah akan terus berubah dan mengalami pembaruan-pembaruan. Dari sekian perubahan yang ada, agaknya bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejarah tidak lagi arogan dengan hanya menjunjung tinggi orang besar dan peristiwa-peristiwa agung, tetapi mulai merendahkan pundaknya untuk “menggendong” orang-orang kecil pinggiran yang tertindas sekalipun, hingga hal remeh-temeh seputar makanan dan cara berpakaian.

Sunday, August 26, 2012

Sense of Guilty; Mendidik ‘Orang Nakal’

Dalam sebuah organisasi, bagaimanapun kapasitasnya, apakah itu organisasi relawan, ekstra kampus, warung makan, atau perusahaan, ada satu kata kunci yang terkenal belakangan ini yang disebut dengan passion. Apakah passion itu?

Pernahkah Anda melihat orang-orang yang malas-malasan dalam bekerja, baik itu mengerjakan pekerjaan rumah, atau tugas organisasi, dan kenyataan banyaknya para karyawan 'nakal' di sebuah perusahaan, pegawai negeri sipil yang ngelencer saat jam kerja? Itu merupakan suatu fenomena kerja yang tidak memiliki sentuhan dingin dari apa yang saya sebut tadi dengan passion. Ya, passion itu adalah semangat, tntuk bekerja dalam hal apapun, baik itu berupah maupun tidak.

Passion memberikan kenyamanan dan kenikmatan pada seseorang dalam bekerja. Passion mengajarkan seseorang mengerti apa yang seharusnya dikerjakan, signifikansinya, dan mengerti tentang siapa yang akan senang ketika kita mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, dan sebaliknya. Passion adalah kekuatan yang profit dalam suksesi program-program kerja sebuah organisasi. Tanpanya, organisasi akan mandeg, kehilangan taring, dan tidak bisa memberikan kontibusi apapun baik bagi pelaku organisasi itu sendiri maupun orang lain secara luas.

Saturday, August 25, 2012

Pak Polisi, Ajari Kami Menjadi Orang-Orang yang Tertib!

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams… (Eleanor Roosevelt)
http://haukil.files.wordpress.com/2012/06/tawuran-pelajar-dari-httpwww-hai-online-comhai2skulizmstudent-talk1.jpg

Minggu sore, kemarin tanggal 3 Juni 2012, saya sedang menunggu bus di salah satu titik jalan Ahmad Yani Surabaya. Saat itu saya akan menuju Mojokerto menemui salah satu kawan untuk sebuah urusan. Sore Surabaya yang kurang indah, karena selalu ramai oleh mobil-mobil yang mengular karena macet, dan bau solar yang tak sedap.

Bus mini berwarna hijau yang saya tunggu belum jua tiba. Dalam penantian yang agak panjang itu, dengan suasana sekitar yang tidak karuan, tiba-tiba terdengar sorak sorai gerombolan anak-anak yang tiba-tiba menyerbu ke jalan raya yang lumpuh, masuk ke sela-sela mobil, berlarian, dan kejar-mengejar. “Ada apa gerangan?” tanyaku dalam hati.

Anak-anak remaja itu, yang usia mereka berkisar antara 15-20 tahun, dari gayanya ketahuan mereka adalah anak-anak kota. Rupanya, mereka baru saja pulang dari perhelatan konser band yang biasanya dihelat pada tiap Minggu sore di salah satu mall yang tidak jauh dari tempat saya berada saat itu.

Budaya Korupsi vs Budaya Baca

Betapa negeri ini malang, ketika tindakan korupsi telah menjelma kebudayaan yang subur. Korupsi bukan hanya masalah mencuri uang negara, tapi lebih dari itu merampas hak-hak orang banyak. Tidaklah berlebihan jika korupsi dipandang sebagai pelanggaran HAM yang mesti dibasmi.

Pemosisian korupsi sebagai kebudayaan bukan tanpa alasan. Banyak hasil survey membuktikan, korupsi telah meraja lela di negeri ini, mulai di tingkat pemerintah pusat, daerah, sampai ke tingkat kelurahan; mulai dari kota hingga kampung pinggiran; mulai dari tingkat elite hingga level akar rumput. Korupsi telah membudaya, akrab dan lekat dengan masyarakat. Memang tidak semua orang melakukan korupsi, tapi efek yang ditimbulkannya bisa dirasakan bersama.

Selain kemiskinan dan pelanggran HAM, ada satu kenyataan paling ditakuti kaitannya dengan budaya korupsi, yaitu masa depan generasi muda. Mengingat seringnya kasus-kasus kasus korupsi menghiasi head-line media massa baik koran, televisi maupun website, tidak menutup kemungkinan akan mencuci otak generasi muda sehingga mereka cenderung menganggap korupsi sebagai kenyataan yang wajar, atau budaya yang legal. Jika hal ini terjadi, maka semakin kecil harapan bangsa ini untuk segera terbebas dari belenggu budaya korupsi yang rumit.

Telah banyak usaha dijalankan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda kepunahan budaya korupsi. Telah banyak para koruptor diungkap dan dimeja-hijaukan, tapi selau muncul generasi koruptor yang lebih muda dan bersemagat. Gugur satu tumbuh seribu. Korupsi rupanya bukan masalah dangkalnya ilmu yang dimiliki seseorang, melainkan karena kecelakaan mental stadium lanjut.

Mengatasi kebudayaan korupsi, tampaknya kita perlu belajar pada teori-teori mengenai penjajahan atau pergeseran budaya. Sebuah budaya itu akan bergeser dan musnah karena tiga hal: bencana alam, peperangan, dan adanya pengaruh kebudayaan lain. Hal pertama dan kedua jelas tidak sesuai dengan keadaan kita saat ini. Bencana alam sudah sering terjadi, sementara peperangan tak akan pernah terjadi. Maka satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan budaya tandingan yang tak kalah tangguh, dalam hal ini, budaya baca.

Diakui atau tidak, sejauh ini, generasi muda kita belum sampai pada tataran membaca sebagai budaya dan kebutuhan. Hal ini bisa dilihat pada hasil survey Taufik Ismail terhadap anak-anak SMA di beberapa negara mengenai jumlah bacaan buku sastra, yang menempatkan anak-anak Indonesia sebagai generasi 0 buku.

Membaca adalah kegiatan menyerap ide, mengasah imaji dan intuisi, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, dan mencari kebenaran suatu masalah. Membaca tidak cukup hanya dengan mengenal huruf dan angka, tapi dibutuhkan kesabaran dan konsentrasi. Menurut Sindhunata, membaca adalah upaya memetik ide dan pelajaran untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Sementara itu, Daniel M. Rosyid, pakar pendidikan Jatim mengatakan, bahwa membaca buku itu mengasah kejujuran, baik kejujuran dalam berpikir maupun bertindak. Membaca buku adalah upaya mencari kebenaran, sebab memang tak ada buku yang ditulis berdasar kebohongan. Untuk hasil yang optimal, kegiatan membaca hendaklah dilanjutkan dengan kegiatan menulis dan diskusi.

Alhasil, membaca akan membuat seseorang menjadi lebih arif dan bijak, berwawasan ke depan dan visioner. Seorang pembaca buku tak akan membenarkan prilaku naif semisal korupsi. Koruspsi tak lain adalah bencana kemanusiaan yang harus dibasmi. Buku-buku memberikan banyak pelajaran tentang kejujuran dan kebenaran.
 
Di negara-negara berperadaban tinggi di dunia, yang minat baca masyarakatnya sangat tinggi, seperti Singapura, Cina, Jepang, Kanada dan lain-lain, nyaris tak ada jalan bagi segala bentuk ketidakjujuran. Kita pun berharap budaya baca akan menggeser dan memunahkan budaya korupsi. Memang tidak mudah jalan ke arah itu, tapi bisa diusahakan dengan keberadaan “keluarga (pecinta) buku” dan pelayanan perpustakaan yang ramah baca. Perpustakaan yang ramah baca tidak hanya berarti bersih dengan sirkulasi udara yang teratur, tapi lebih dari itu, adalah peran pustakawan yang santun, murah senyum dan sapa.

Apakah berarti para koruptor terdidik kita sudah tidak membaca buku? Mungkin mereka masih membaca, tapi sudah lupa bagaimana cara membaca buku yang baik.[]

Thursday, August 16, 2012

A Memoriable Moment...

In Mahesa English Course, "Speaking One", Pare, Kediri.

Buku dan Karir Politik

Tampaknya, buku dan karir politik merupakan dua kubu yang sulit untuk didamaikan. Keduanya berposisi selalu berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Orang yang awalnya suka membaca dan produktif menulis buku, biasanya menjadi mandul ketika ia mulai mengejar karir politik. Kenyataan ini mengacu pada aktivitas kebanyakan—untuk tidak mengatakan semua—politikus kita yang tampak jauh dengan buku.

Tidak sulit bagi kita untuk menunjuk para politikus di negeri ini yang “meninggalkan” buku. Buku bagi mereka telah menjadi sesuatu yang usang dan menghabiskan waktu belaka, politikus lebih sibuk dengan kegiatannya yang rumit di lapangan, bermain intrik dan segala tipu daya yang muaranya adalah menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Dan, kalau perlu korupsi!

Tentu tidak bisa dibenarkan ketika membaca buku dipandang hanya menghabiskan atau menyita waktu. Sebab kegiatan membaca buku tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja di mana saja tergantung bagaimana pribadi masing-masing memanage waktunya. Membaca buku bisa dilakukan di waktu senggang. Sebagaimana setiap orang pasti memiliki waktu senggang, sependek apapun itu, maka tak ada alasan bagi politikus yang paling sibuk sekalipun untuk mengatakan tak punya waktu untuk membaca buku.