Monday, December 22, 2008

Siswa MA Tahfidh Meraih Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Indonesia

GULUK-GULUK—Setelah cukup lama berpuasa prestasi, Kamis (23/11) bulan lalu MA Tahfidh Annuqayah membuktikan bahwa masih produktif melahirkan prestasi dengan dipanggilnya Moh. Hauqil (17), salah satu siswa MA Tahfidh Annuqayah, ke Bogor sebagai Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat SLTA sederajat se-Indonesia dalam rangka memeriahkan Family and Consumer Expo 2008.

Lomba yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) dari Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dimeriahkan oleh beberapa acara sebelum dilaksanakannya pengumuman juara yang di antaranya, Technical Meeting, Presentasi Karya Tulis dan Seminar Nasional yang dihadiri oleh Mohammad Farhan, salah satu artis dan presenter terkemuka di Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 27-29 November 2008 di Bogor.

Pada lomba yang bertema “Peran TV terhadap Pembentukan Karakter Remaja” ini, Hauqil—sapaan akrab Moh. Hauqil—dinobatkan sebagai juara pertama dengan judul tulisan “Melejitkan Remaja Berdaya Lewat Televisi Ramah Tonton”.

Hal ini disambut dengan gembira oleh seluruh civitas academica di MA Tahfidh. “Ini prestasi yang cukup membanggakan dari anak-anak meskipun para dewan guru harus menunggu lama. Dan prestasi ini perlu dicontoh oleh yang lain,” tutur K. Hasan Basrawi, guru Ilmu Nahwu dan Ilmu Tafsir MA Tahfidh.

Hal yang senada dituturkan oleh Rozi el Umam, salah satu siswa kelas akhir MA Tahfidh. “Saya bangga dengan prestasi Hauqil meskipun saya masih belum mampu untuk menirunya.” (matin) []

Dari kiri ke kanan: Fahmi, Haukil, Pak Utsman, berfoto di kantor MA Tahfidh Annuqayah Guluk-Guluk.

*) Digunting dari berita Pondok Pesantren Annuqayah 22 Desember 2008.

Sunday, May 4, 2008

Pelajaran berharga bagi bangsa indonesia

Pro dan kontra atas penuntutan keadilan kasus hukum Pak Harto tak kunjung reda. Pihak pro tetap bertahan pada prinsipnya untuk terus menuntut kasus hukum Pak Harto. Begitu pula pihak kontra, tetap bersikukuh dan mendesak pemerintah agar membebaskan dan memaafkan Pak Harto.

Pak Harto sekarang sudah tiada. Beliau pergi meninggalkan kita semua, meninggalkan bangsa dan negara yang pernah dipimpinnya. Maka, akankah hukum itu ditiadakan pula? Haruskah kita membiarkan hukum tersebut pergi bersama Pak Harto?

Jika Pak Harto terbukti bersalah, hal itu jangan sampai terjadi. Pak Harto boleh meninggal. Tapi, bagaimanapun dan sampai kapan pun, hukum harus tetap berjalan. Jangan biarkan hukum terkubur seiring dengan kepergian Pak Harto. Ingat, negara kita adalah negara hukum!

Selain itu, yang paling penting, hal ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa Indonesia. Bahwa, kalau terbukti bersalah, bagaimanapun, sampai kapan pun, dan siapa pun orangnya akan tetap diadili. Dengan demikian, berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan tidak terus-menerus mendera negeri tercinta ini.

* Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos rubrik "Gagasan" edisi Selasa, 02 Januari 2008.

Wednesday, April 23, 2008

Belajar pada manajemen pemasaran rokok


Dalam hal membaca, Taufiq Ismail menyebut pelajar Indonesia sebagai generasi 0 buku. Sementara dalam hal merokok, sebagaimana dalam Global Youth Tobacco Survey 2007, jumlah perokok pelajar Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Sebuah kenyataan yang memprihatinkan.

Hal itu hendaknya menjadi perhatian semua pihak, terutama mereka yang mengatasnamakan dirinya praktisi pendidikan. Mereka dituntut bisa menggiring kegemaran para pelajar dari rokok ke buku. Bagaimanapun, buku jauh lebih baik daripada rokok dalam segala hal, lebih-lebih bagi kaum pelajar.

Caranya, mereka (praktisi pendidikan) harus banyak belajar pada manajemen pemasaran rokok. Seperti halnya membuat iklan-iklan menarik baik di televisi, poster-poster, dan sebagainya yang sekiranya bisa dengan mudah dijumpai banyak orang. Terutama, orang-orang miskin yang terbukti mendominasi jumlah kaum perokok Indonesia.

Terus terang, selama ini iklan-iklan menarik mengenai buku nyaris tak pernah ada. Kalaupun ada, itu sebatas pameran, bazar, yang kehadirannya tidak bisa dinikmati orang banyak, dan itu pun jarang diadakan.

* Tulisan ini diterbitkan di Harian Jawa Pos, rubrik "Gagasan" edisi Rabu, 16 Januari 2008.

Friday, April 11, 2008

Yuk, ke perpustakaan!

“Pengetahuan sebagian besar tidak didapatkan dari bangku sekolah,
melailnkan dari buku”
(Ajib Rosidi)

“Sekolah tanpa perpustakaan bagiku bukanlah sekolah,
pelajar tanpa buku bagiku bukanlah pelajar”
(Minda Perangin Angin)

Pernyataan Ajib Rosidi dan curhat Minda Perangin Angin tersebut menegaskan betapa pentingnya arti perpustakaan dan membaca buku, yang pada kenyataannya dapat melebihi kegiatan formal (sekolah) dan instruksi guru yang cenderung stagnan dan statis. Bahkan, dalam buku Sekolah Saja tak Pernah Cukup, Andrias Harefa mengilustrasikan guru sebagai pengusaha dalam struktur kerajaan dengan ajaran terkenalnya the king can do wrong, seorang manusia yang seakan tak pernah salah dalam menyiasati proses pembelajaran.

Terus terang, selama ini kita kelelahan karena aspirasi yang tak kesampaian. Aspirasi akan penolakan kita terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan yang terkadang tak sesuai dengan harapan. Aspirasi kita sebagai penikmat pendidikan yang tak kunjung digubris oleh para pembuat kebijakan. Mereka menganggap kita sebagai kaum bisu!

Tentu kita merasa prihatin dengan pendidikan kita yang berkembang saat ini. Kebanyakan sekolah-sekolah kita—diakui atau tidak—terjebak dalam metode pendidikan yang paternalistik, yang menempatkan sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog. Murid hanya berperan sebagai “gentong kosong” yang tak berdaya. Demikian pula hadirnya Ujian Nasional (UNAS) yang kontroversial, turut mewarnai dunia pendidikan kita yang sudah carut-marut ini. Bayagkan, kemampuan siwa diuji dengan tiga materi pelajaran, itu pun semuanya pelajaran eksakta. Ini sangat jelas tidak akan pernah mengacu pada terwujudnya tujuan UNAS itu sendiri untuk mengukur keberhasilan pendidikan kita. Mungkinkah keberhasilan pendidikan hanya diukur dengan tiga materi pelajaran? Para pembuat kebijakan tak pernah mengubris seruan ini.

Benang kusut buku pelajaran juga turut melengkapi beban pendidikan kita. hasil pengamatan Darmaningtyas akan buku pelajaran, tepatnya pada tahun 2005 lalu, mendapatkan bahwa mekanisme pengadaan buku pelajaran penuh dengan nuansa bisnis. Mutu buku kurang begitu diperhatikan oleh para penerbit yang “mata duitan”. Sehingga kemudian, buku pelajaran yang seharusnya mendidik dan mencerdaskan murid, justru membodohkan dan bahkan menyesatkan murid. Apakah dengan bermacam fenomena krusial semacam ini kita “lebih baik tidak sekolah?”.

Jika di sekolah tidak terjad proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas dan lemah, tentu “lebih baik tidak sekolah”. Karena belajar yang sesungguhnya bisa terjadi dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun ketika ada kemauan yang kuat untuk membengun kompetensi diri (Sujono Samba, Lebih Baik tidak Sekolah, Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007, hal. 28). Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Bahruddin: “boleh putus sekolah asal tidak putus belajar”.

Hijrah ke Perpustakaan

Masuk ke perpustakaan merupakan salah satu keharusan bagi orang yang ingin berpendidikan, bagi yang ingin bebas dari belenggu kebodohan dan keterpurukan. Di perpustakaan, kita bisa melahap berbagai sajian ilmu pengetahuan yang kita inginkan. Di perpustakaan, kita akan menemukan kedamaian belajar, tidak merasa terkekang, dan bebas mengekpresikan potensi yang kita miliki, selama masih dalam batas kewajaran. Di perpustakaan puka, tak ada istilahnya paternalistik, sentralistik dan tetek-bengek yang lainnya.

Perpustakaan merupakan khazanah keilmuan masa lalu dan sekarang. Potensi perpustakaan sangatlah besar dalam melahirkan insan-insan cendekia, dan para akademisi yang peka terhadap realitas kehidupan. Sungguh banyak para tokoh negri ini yang tak tuntas sekolah altaul bahkan tak pernah duduk di bangku sekolah, tapi mereka malah menjadi orang yang diorangkan oleh orang-orang, melebihi mereka yang pernah duduk di bangku sekolah.

Kita tahu dengan Pak D. Zawawi Imron, sastrawan dan budayawan Madura. Pak Zawawi adalah tamatan Sekoplah Dasar (SD). Setelah itu dia tidak pernah melanjutkan sekolah lagi. Pak Zawawi menghabiskan hari-harinya dengan banyak membaca buku, baik buku sastra , budaya, dan lain sebagainya. Dan sekarang, Pak Zawawi telah sangat kita kenal sebagai penyair nasional. Karena sebelumnya, Pak Zawawi kerap mendapatkan berbagai penghargaan, baik nasioinal maupun internasional, dalam bidang sastra (Periksa di “biografi tokoh” di id.Wikipedia.org). Hal yang semacam ini, belum tentu bisa didapatkan oleh para alumnus sekolah.

Demikian pula kita mengenal Ajib Rosidi. Dialah yang mengatakan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan tidaklah diperoleh dari bangku sekolah, melainkan dari buku, dari perpustakaan. Dia masih termasuk orang yang pernah duduk di bangku sekolah, namun tak tuntas. Dia berani mengambil keputusan untuk berhenti sekolah. Hal itu dia lakukan karena melihat kebanyakan dari teman-temannya yang sekolah hanya untuk dapat ijazah, pekerjaan, plus makan. Bahkan Ajib Rosidi menegaskan bahwa “saya akan bisa hidup tanpa harus sekolah!”.

Hal ini terbukti ketika Ajib Rosidi dewasa. Ajib Rosidi tak pernah melamar pekerjaan, tapi pekerjaanlah yang melamar Ajib Rosidi. Bahkan orang yang berani putus sokolah ini, pernah menjadi guru besar di salah satu universitas ternama di negara Matahari, yaitu Jepang. Wow, fantastic!

Mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa Ajib Rosidi bisa demikian? Tidak lain jawabannya adalah karena ia rajin membaca buku, rajin masuk perpustakaan (Ajib Rosidi, dalam Bukuku Kakiku, Jakarta: Gramedia, 2004. hal. 01).

Masih ingatkah kita dengan sejarah Bill Gates, yang kita kenal sebagai “manusia komputer?” dia tidak pernah duduk di bangku sekolah. Tapi, dia menjadi orang kaya dan paling sukses dibandingkan dengan teman-temannya yang lain yang alumnus sekolah. Apa yang dilakukan Bill Gates? Kita penasaran? Hanya bermodal akal dia berpikir dan merenung, mengapa gesekan logam dapat memercikkan api?

Betul, Bill Gates bukanlah insan perpustakaan. Tapi bagaimana pun, ini adalah bukti yang lebih dari cukup bahwa untuk menjadi orang sukses dan berguna bagi dunia, tidak harus sekolah! Kita dapat belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja. Dengan buku? Juga bisa! Ingatlah pengakuan Rosihan Anwar: “buku berarti penting bagi pencerqaha diri. Dengan membaca buku, saya mendidik diri sendiri. Saya tidak menyandang gelar kesarjanaan. Dengan buku saya otodidak. Dengan buku saya otodidak sepanjang hayat” (Rosihan Anwar, dalam Bukuku Kakiku, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 322).

Tapi ngomong-ngomong, apakah sekolah anda punya perpustakaan? Kalau tidak, simaklah dengan baik pesan Prof. Dr. Darji Darmodiharjo. Mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, itu berpesan: “ Perpustakaan sekolah itu harus ada pada tiap-tiap lembaga pendidikan. Bila tidak ada ruang perpustakaan, pakailah salah satu ruang kelas. Jika ruang kelas tidak ada, pakailah ruang pojok dengan rak bukunya. Jika tidak ada ruang pojok? Tutup saja sekolahnya!”. Wallahu a’lam bisshawaab.

* Tulisan ini saya sampaikan dalam acara "Dialog Pendidikan: Antara Sekolah dan Perpustakaan". Di Lembaga Pendidikan Pesantren Ar-Rohmah Jaddung Pragaan Sumenep, Sabtu, 16 Februari 2008.

Thursday, March 27, 2008

Kitab Kuning yang menjenuhkan

Dalam sejarah Indonesia, Pesantren tercatat sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua. Pesantren mulai muncul pertama kali sekitar abad ke-17. Pesantren muncul untuk menyebarkan siar keagamaan (dalam hal ini agama Islam) atau untuk menumbuhkan dan mengembangkan pemahaman keagamaan (Tafaqquh fi ad-Dien). Di samping itu, aspek moral juga menjadi prioritas utama dalam pembelajaran Pesantren ( L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammadaansche Godsdientonderwijs of Java and Madoera and De Daarbij Gebnikte Arabische Boeken” dalam TIJDSCHRIFT VOORINDISCHE TAAL, LAND-EN VOIKENKUNDE, 1886, hlm. 519-555).

Dalam upayanya ini, Pesantren banyak mengkonsumsi dan menyuguhkan pada peserta didiknya (baca: santri) akan pemikiran-pemikiran Islam klasik yang saat ini dikenal dengan “kitab kuning”. Hal ini terjadi mulai dari awal muncul dan berkembangnya hingga saat ini. Sehingga kemudian kitab kuning yang merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran klasik (pemikiran ulama’ terdahulu) menjadi ‘ciri khas’ sebuah Pesantren. Tidak berlebihan kiranya jika di tengah-tengah masyarakat muncul image: santri identik dengan kitab kuning, santri tanpa kitab kuning bukanlah santri.

Namun di era global (global village) seperti saat ini, nampaknya image seperti di atas sudah mulai luntur. Eksistensi kitab kuning mulai terabaikan. Kitab kuning telah menjadi salah satu khazanah keilmuan yang termarginalkan. Para santri lebih bangga dan merasa bergengsi dengan buku-buku bacaan yang berhuruf latin (umum), yang menurut mereka lebih relevan dengan era yang terus berlari ini. Sehingga mereka beranggapan bahwa kitab kuning merupakan khazanah keilmuan ”kuno” yang “menjenuhkan”, karena yang dibicarakan hanya sebatas yang itu-itu saja, tidak seperti buku-buku hasil pemikiran pakar-pakar kekinian yang menurut mereka lebih variatif, dinamis dan progresif. Ini merupakan sebuah indikasi bahwa kitab kuning mengalami krisis minat baca yang pada gilirannya berujung pada krisis eksistensi.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan semacam inilah kiranya yang pas untuk hanya sekedar refleksi. Refleksi terhadap eksisitensi kitab kuning yang mulai krisis. Seperti halnya yang terjadi di Pondok Pesantren kita, Pondok Pesantren Annuqayah. Annuqayah dalam krisis!

Diskursus Pembelajaran Kitab Kuning

Pada umumnya, pembelajaran kitab kuning di Pesantren-Pesantren—termasuk juga Pesantren Annuqayah, mengunakan metode sorogan dan bandongan. Istilah bandongan adalah model pembelajaran yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih. Sang guru (baca: kiyai) membaca, menerjemahkan, dan menerangkan, sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang pemikiran atau kata-kata yang sulit.

Sedangkan pada sistem sorogan, para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan sang guru atau kiyai. (Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Pers, hlm. 83). Akan tetapi, Annuqayah dan kebanyakan Pesantren pada umumnya kurang begitu memperhatikan akan metode pembelajaran kitab kuning yang kedua ini, dan lebih cenderung menggunakan metode pembelajaran yang pertama, yaitu metode bandongan, karena lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak santri. Tapi, cukupkah santri belajar hanya dengan menulis dan mendengarkan?

“Kitab kuning yang menjenuhkan”, bukanlah ungkapan yang tanpa alasan. Metode pembelajaran seperti yang tersebut di atas, dalam istilah Paulo Freire, seorang pakar pendidikan berkebangsaan Brazil, cenderung memakai metode banking of education, yang hanya akan membelenggu eksistensi manusia sebagai mahluk yang berfikir (Taufiq R. Bief, “Pesantren Dalam Tantangan Global”, dalam HIDAYAH, 2006). Pembelajaran yang hanya mengaharuskan santri untuk mendengar, memperhatikan dan menulis jelas tidak memberikan kesempatran berfikir dan mengekspresikan potensi yang dimiliki santri, apalagi melakukan pengembaraan ilmu pengetahuan. Sehingga para santri berada dalam nuansa pembelajaran yang ambigu, statis, dan tidak partisipatif. Tidak heran bila kebanyakan santri berkesimpulan bahwa belajar dengan perantara kitab kuning itu “menjenuhkan”, ditambah lagi dengan “pembelajaran yang tak berkesudahan”.

Di Pesantren-Pesantren pada umumnya, pelajaran keagamaan yang di sampaikan melalui kitab kuning sering kali menjadi pelajaran yang tak berkesudahan. Pelajaran yang disampaikan hanya yang itu-itu saja, sebatas halal-haram, suci-najis, dan sebagainya. Ambil contoh di Annuqayah, pada tingkat MTs., satu kitab Fathu al-Qarib yang merupakan Syarh Ghayah al-Ikhtishar ditargetkan selesai dengan tiga tahun. Akan tetapi pada kenyataannya di kelas satu pada tahun 2004-2005, kitab Ahkam al-Thaharoh saja tidak selesai. Demikian juga di kelas 2 pada tahun berikutnya melompat pada kitab Ahkam al-Shalah yang juga hanya beberapa lembar. Demikian juga di kelas tiga. Kemudian di MA. menggunakan kitab Kifayah al-Akhyar yang cukup besar, kenyataannya hanya ‘mengulangi’ beberapa satuan pelajaran yang di MTs. yang hanya beberapa lembar saja dalam tiga tahun. Bukankah semua ini merupkan suatu hal yang menjenuhkan? sehingga tidak heran jika di kalangan masyarakat timbul pameo gurauan: pantas santri-santri alumnus Annuqayah isrof dalam penggunaan air, karena dari kelas ke kelas hanya diajarkan thaharoh saja. (K.H.A. Basith Abdullah Sajjad, Pondok Pesantren Annuqayah (Tinjauan Epistimologi dan Sumbangan Pemikiran untuk Pengembangan Keilmuan), Sumenep: PP. Annuqayah, 2007 hlm. 45-46).

Ada lagi, hal yang menyeret Pesantren pada jurang krisis eksistensi (berdasar pada kasus Annuqayah), yaitu dangkalnya khazanah keilmuan santri dalam membaca ‘teks’ kitab kuning. Hal ini dapat diketahui ketika santri merasa sungkan, risih, atau bahkan ‘trauma’ ketika dihadapkan pada teks kitab kuning. Suatu hal yang sangat ironis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah Nahwu dan Sharaf telah dipelajari setiap waktu di Pesantren?

Pada umumnya, Pesantren-Pesantren—termasuk Annuqayah—menjadikan pelajaran ilmu Nahwu dan Sharraf sebagai prioritas utama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa pada dasarnya, para santri sangat perlu menguasai ilmu Nahwu, di mana dengan ilmu ini mereka akan mempu membaca dan memahami kitab kuning secara tepat. Adalah sangat memalukan jika seorang santri atau bahkan kiyai membaca kitab kuning tanpa memperhatikan qaidah tata bahasa. Sauatu kesalahan kecil dalam membaca kitab kuning merupakan muruah (rasa malu) bagi seseorang (Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. I58).

Namun demikian, Pesantren tidak dapat menjamin para santrinya pandai dalam membaca kitab kuning. Hal ini tergantung dari sejauh mana pemahaman mereka pada ilmu Nahwu dan Sharraf. Jika demikian, jelaslah bahwa problem yang sebenarnya terletak pada ilmu Nahwu itu sendiri, dan tentulah problem tersebut hanya berkutat di sekitar pembelajaran, dan itu tidak lepas dari profesionalitas guru dalam mengajar ilmu Nahwu, demikian juga ilmu Sharraf.

Di Annuqayah, sebagian besar profesionalitas guru (dalam hal ini guru Nahwu) masih dapat dibilang kurang memuaskan. Tidak sedikit guru yang kurang mengaitkan tata bahasa Arab dengan bahasa lain terutama bahasa Indonesia. Penggunaan metode pun pada umumnya hanya menggunakan metode deduksi, dan contoh-contoh yang monoton, yaitu hanya berkutat di kalilmat Qama Zaid dan Daroba Zaid Amr (K.H.A. Basith Abdullah Sajjad, Op. Cit.), ditambah lagi dengan hafalan dan tugas-tugas yang menumpuk. Lagi-lagi hal ini merupakan suatu hal yang menjenuhkan.

Sampai di sini, bagaimana Annuqayah ke depan? Akankah Annuqayah tetap menutup diri dalam metode pembelajaran tradisionalnya dari pembelajaran yang ditawarkan oleh era modern?

Penutup

Akhirnya, dari semua yang telah penulis paparkan di atas, hendaknya menjadi bahan renungan (refleksi) bagi semua pihak, karena tulisan ini adalah refleksi adanya. Refleksi terhadap fakta-fakta yang sering tidak kita sadari bahwa fakta yang ada tersebut bermakna. Tulisan ini juga tidak menjanjikan solusi, kecuali refleksi. Namun dari sekian banyak refleksi yang kita lakukan, barangkali kita kemudian bisa merangkai janji dan solusi. Untuk inilah tulisan ini dihadirkan sebagaimana adanya. Karena berisi refleksi, ia juga memuat kritik. Kritik tak akan mampu kita kemukakan ketika refleksi kita mandeg. Dan, semoga dalam kritik itu pun tersedia solusi. []

* Tulisan kontroversial ini saya presentasikan di Madrasah Aliyah Keagamaan Annuqayah (MAK) yang saya menyebutnya sebagai "kandang kitab kuning".