Seperti halnya pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Haukil mengaku tidak memiliki persiapan khusus menghadapi pertanggungjawaban karyanya di ajang LKTI ke-9 tingkat nasional yang diadakan oleh Magistra Utama, Malang, Selasa, 26 Mei 2009. Intinya, bisa mempresentasikan karyanya dengan lancar. Dan ini tidak membutuhkan latihan yang ketat karena sudah terbiasa berhadapan dengan juri. Hanya persoalan teknis yang mengharuskan ia bekerja ekstra. Tidak seperti di IAIN, di Magistra ia mempresentasikan karyanya dengan format power point. Haukil mengaku tidak paham seluk-beluk program tersebut, sehingga harus meminta bantuan orang lain. Persiapan inilah yang membuat sedikit waktunya tersita.
Saat hari presentasi digelar, seharusnya Haukil berada di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Hari tersebut merupakan penahbisan dirinya menjadi juara I LKTI tingkat Jatim pada acara “Pesantren Fiar 2009”, yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Namun, karena tidak bisa diwakilkan ia pun harus berangkat ke Malang setelah sebelumnya pulang terlebih dahulu untuk persiapan.
Dalam even tersebut, Haukil berhasil menyabet peringkat II untuk kategori juara II. Menurut Ketua Perpustakaan Lubangsa Selatan ini, Penetuan juara memang agak berbeda dengan penentuan pada even-even yang pernah diikutinya. Sistem yang dipakai adalah sistem peringkat. Pringkat I untuk satu orang, peringkat dua untuk tiga orang, dan peringkat tiga untuk tiga orang juga. Haukil berada di urutan dua untuk kategori peringkat II, diapit oleh peserta dari Pematang Siantar dan Ponorogo. Dan Peringkat I diraih oleh kelompok siswa dari Denpasar, Bali. Peserta yang ikut dalam perhelatan tersebut merupakan perwakilan dari beberapa SLTA yang tersebar di seluruh Nusantara. Diantaranya, dari Ciamis, Paiton, Bali, Madura, Jogjakarta, Ponorogo, Pasuruan, dan beberapa daerah lainnya.
Sebagaimana pernah diberitakan media ini beberapa waktu lalu, Haukil memberi judul atas karyanya, Menjadi Pembelajar Di “Universitas Besar Kehidupan.” Karya dengan ketebalan 44 halaman tersebut membeber konsep tentang pembelajaran seumur hidup. Active Lerning, begitu ia lebih suka menyebutnya. Pembelajaran seumur hidup baginya adalah pembelajaran yang tidak mengenal kata berhenti. Ruang dan waktu bukan alasan bagi seseorang untuk berhenti mencari ilmu. Dan arena belajar tidak harus sekolah, dimana pun bisa!
Dalam proses seleksi naskah sebelumnya, Haukil berhasil menyisihkan sedikitnya 207 naskah dari 223 naskah yang masuk ke panitia. Kemudian, 15 naskah yang tersisa diminta panitia kepada masing-masing penulisanya untuk dipresentasikan pada tanggal 26 Mei 2009.
Haukil mempertanggungjawabkan karyanya di hadapan empat orang dewan juri. Mereka merupakan pakar-pakar pendidikan dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Malang. Seperti halnya di IAIN, Haukil mengaku tidak ada pengalaman istimewa saat presentasi berlangsung. Hanya saja, akunya, pertanyaan-pertanyaan dewan juri sedikit membuat ia kewalahan. Beberapa gagasan belum bisa ia cerna dengan sempurna.
Satu hari sebelum presentasi, yaitu tanggal 25 Mei 2009, Haukil memulai dengan technical meeting. Hari itu juga ia diharuskan menampilkan unjuk kreasinya. Tidak seperti berita sebelumnya, Haukil merubah keinginan dari tampil monolog menjadi hanya membaca puisi. Dua buah sajak ia bacakan dalam acara tersebut yang kesemuanya ditulis oleh Joko Pinurbo, masing-masing berjudul “Celana (I)” dan “Celana (II)”. Haukil merasa minder dengan penampilannya sendiri. Ia melihat penampilannya jauh dari kesan bagus ketimbang penampilan-penampilan kontestan lain. Ia mencontohkan, penampilan beberapa kelompok SMA yang mengusung kebudayaan masing-masing tanah kelahirannya. Diantaranya, tari-tarian, Kuda Lumping, Teater, dan beberapa penampilan bagus lainnya. Memang tak semua kontestan bisa menampikan kreasinya dengan apik. Bahkan, ada yang bisa dikata lebih jelek dari penampilan Haukil. Namun, bagi Haukil, mestinya ia bisa lebih baik dari penampilan tersebut.
Ia mengakui tidak ada persiapan sama sekali dalam acara unjuk kreasi seni tersebut. “Awalnya memang sempat ingin menampilkan monolog, tapi ternyata sangat sulit.. Akhirnya jatuh kepilihan membaca puisi,” tandas remaja 18 tahun ini. Baca puisi menjadi pilihan karena menurut ia tidak membutuhkan waktu panjang untuk latihan dan lebih mudah dilakukan. Namun, hasilnya ternyata belum memuaskannya.
Selain memberikan juara pada acara tersebut, pihak Magistra Utama juga akan mengunjungi sekolah-sekolah yang anak didiknya berhasil menjadi juara. Magistra akan memberikan penghargaan kepada sekolah tersebut secara simbolis. Ditanya kapan mereka akan berkunjung? Haukil tidak bisa memastikan. “Pasti ada pemberitahuan sebelum mereka ke sini,” pungkasnya. (rozi) []
*) Digunting dari berita Pondok Pesantren Annuqayah 08 Juni 2009.