Memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bagi Haukil mungkin bukan sesuatu yang istimewa lagi. Setidaknya, sudah enam kali ia berhasil pulang dengan predikat juara, baik tingkat kabupaten maupun nasional. Baru-baru ini ia kembali menyabet dua juara LKTI sekaligus pada even yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Bagaimana kesannya?
Tanggal 26 Mei 2009 menjadi momen bersejarah bagi lelaki kelahiran Aeng Panas, Pragaan ini. Tanggal tersebut merupakan tanggal penahbisan dirinya menjadi juara I LKTI tingkat Jawa Timur yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Prestasi ini kian melengkapi deretan gelar yang sudah ia sandang sebelumnya.
Ditemui di Perpustakaan Jumat Malam, (05/06), Haukil mengaku, dirinya berhasil menyisihkan sedikitnya 35 orang yang ikut dalam lomba tersebut. Ke-35 orang itu melewati seleksi ketat hingga menjadi hanya tiga orang. Semua naskah yang masuk memang diharuskan presentasi tanpa harus melalui seleksi karya terlebih dahulu. “Sejelek-jelek naskah tetap harus presentasi,” ujar lelaki murah senyum ini. Haukil mengaku, sebelumnya ia tidak tahu kalau semua naskah harus dipresentasikan. Baru setelah sampai di sana ia tahu bahwa tidak ada seleksi karya.
Mereka yang berhasil menjadi juara antara lain, Haukil dari MA Tahfidz Annuqayah, Guluk-Guluk; Afifatul S. dari SMA Telkom, Jombang; dan Faizah dari MA Darul Ulum, Jombang. Mereka berhak atas tropi dan uang pembinaan dari pihak Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Haukil mengatakan, nyaris tidak ada persiapan khusus menghadapi lomba tersebut. Ia bahkan lebih fokus mempersiapkan presentasinya pada LKTI di Magistra Utama, Malang, yang jadwalnya hanya terpaut sedikit dengan acara di Surabaya tersebut. Untuk persiapan presentasi, ia hanya membaca naskahnya sesaat sebelum memulai presentasi. Baginya, target utama cuma tidak ingin kacau dalam presentasi. Selain karena sudah banyak paham dengan inti gagasan dalam tulisannya, ia pun tidak terlalu ambisius untuk memperoleh juara.
Di arena presentasi ia diuji oleh tiga orang dewan juri.. Menurutnya, tidak ada kendala berarti yang dihadapi dalam sesi yang sangat menentukan tersebut. Memang tidak semua pertanyaan bisa terjawab, namun sebagian besar ia bisa mengurainya dengan lancar. Selain paham materi, Haukil juga sudah terbiasa berhadapan dengan dewan juri pada even-even yang sama sebelumnya. Persoalan demam panggung tidak menjadi masalah berarti.. Ia juga merasakan tidak ada yang istimewa dalam presentasinya. “Perasaan saya biasa-biasa saja,” lanjutnya. Namun, menurut dia, seusai presentasi ada salah seorang penonton yang menghampirinya dan mengatakan bahwa presentasinya sangat hebat. Tanggapan itu sebelumnya dirasakan Haukil terutama saat ia membaca sebuah kaidah fikih. Penonton yang menyaksikan bertepuk tangan tanda kagum.
Karya yang diajukan Haukil dalam lomba tersebut berjudul, “Pesantren dan Anti Korupsi.” Karya setebal 11 halaman itu membincang tentang gagasan membangun fikih anti korupsi di Pesantren. Menurut Haukil, pendidikan anti korupsi akan lebih efektif bila didalangi oleh pesantren. Alasannya, pesantren sudah memiliki kans untuk mengaplikasikan konsep ini, yaitu sifat kesederhanaan, tidak hedonis, tidak materialis, kejujuran, kemandirian, kesabaran, dan keikhlasan. “Kantin-kantin kejujuran itu nanti tidak harus hanya ada di sekolah-sekolah negeri yang sekarang banyak kolaps, namun juga harus ada di pesantren,” lanjutnya.
Acara yang berlangsung dari tanggal 19-26 Mei 2009 tersebut tidak hanya untuk LKTI, namun ada juga lomba baca kitab kuning untuk kalangan pesantren dan Speak Contest untuk siswa SLTA. Acara tersebut diikuti oleh para santri dan siswa SLTA yang tersebar di Jawa Timur.
Acara yang mengambil tema “Pesantren Fair 2009” tersebut dipuncaki dengan dialog nasional bersama Ir. KH. Solahuddin Wahid. Saudara Gus Dur ini juga didaulat untuk memberikan hadiah kepada masing-masing pemenang lomba. Namun sayangnya, Haukil tidak bisa hadir pada acara tersebut karena harus mempersiapkan presentasi karyanya di Magistra Utama, Malang hari itu juga. Penerimaan hadiah ia wakilkan kepada salah seorang mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang ia kenal saat berada di sana.
Selain kerap medulang prestasi, Haukil juga sering menerima pujian dari beberapa dewan juri dalam berbagai perhelatan LKTI. Misalnya saat lomba di Bogor, Sang Juri mengakui tulisan Haukil lebih bagus ketimbang tulisan anak didiknya di Institut Pertanian Bogor (IPB). (rozi) []
Tanggal 26 Mei 2009 menjadi momen bersejarah bagi lelaki kelahiran Aeng Panas, Pragaan ini. Tanggal tersebut merupakan tanggal penahbisan dirinya menjadi juara I LKTI tingkat Jawa Timur yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Prestasi ini kian melengkapi deretan gelar yang sudah ia sandang sebelumnya.
Ditemui di Perpustakaan Jumat Malam, (05/06), Haukil mengaku, dirinya berhasil menyisihkan sedikitnya 35 orang yang ikut dalam lomba tersebut. Ke-35 orang itu melewati seleksi ketat hingga menjadi hanya tiga orang. Semua naskah yang masuk memang diharuskan presentasi tanpa harus melalui seleksi karya terlebih dahulu. “Sejelek-jelek naskah tetap harus presentasi,” ujar lelaki murah senyum ini. Haukil mengaku, sebelumnya ia tidak tahu kalau semua naskah harus dipresentasikan. Baru setelah sampai di sana ia tahu bahwa tidak ada seleksi karya.
Mereka yang berhasil menjadi juara antara lain, Haukil dari MA Tahfidz Annuqayah, Guluk-Guluk; Afifatul S. dari SMA Telkom, Jombang; dan Faizah dari MA Darul Ulum, Jombang. Mereka berhak atas tropi dan uang pembinaan dari pihak Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Haukil mengatakan, nyaris tidak ada persiapan khusus menghadapi lomba tersebut. Ia bahkan lebih fokus mempersiapkan presentasinya pada LKTI di Magistra Utama, Malang, yang jadwalnya hanya terpaut sedikit dengan acara di Surabaya tersebut. Untuk persiapan presentasi, ia hanya membaca naskahnya sesaat sebelum memulai presentasi. Baginya, target utama cuma tidak ingin kacau dalam presentasi. Selain karena sudah banyak paham dengan inti gagasan dalam tulisannya, ia pun tidak terlalu ambisius untuk memperoleh juara.
Di arena presentasi ia diuji oleh tiga orang dewan juri.. Menurutnya, tidak ada kendala berarti yang dihadapi dalam sesi yang sangat menentukan tersebut. Memang tidak semua pertanyaan bisa terjawab, namun sebagian besar ia bisa mengurainya dengan lancar. Selain paham materi, Haukil juga sudah terbiasa berhadapan dengan dewan juri pada even-even yang sama sebelumnya. Persoalan demam panggung tidak menjadi masalah berarti.. Ia juga merasakan tidak ada yang istimewa dalam presentasinya. “Perasaan saya biasa-biasa saja,” lanjutnya. Namun, menurut dia, seusai presentasi ada salah seorang penonton yang menghampirinya dan mengatakan bahwa presentasinya sangat hebat. Tanggapan itu sebelumnya dirasakan Haukil terutama saat ia membaca sebuah kaidah fikih. Penonton yang menyaksikan bertepuk tangan tanda kagum.
Karya yang diajukan Haukil dalam lomba tersebut berjudul, “Pesantren dan Anti Korupsi.” Karya setebal 11 halaman itu membincang tentang gagasan membangun fikih anti korupsi di Pesantren. Menurut Haukil, pendidikan anti korupsi akan lebih efektif bila didalangi oleh pesantren. Alasannya, pesantren sudah memiliki kans untuk mengaplikasikan konsep ini, yaitu sifat kesederhanaan, tidak hedonis, tidak materialis, kejujuran, kemandirian, kesabaran, dan keikhlasan. “Kantin-kantin kejujuran itu nanti tidak harus hanya ada di sekolah-sekolah negeri yang sekarang banyak kolaps, namun juga harus ada di pesantren,” lanjutnya.
Acara yang berlangsung dari tanggal 19-26 Mei 2009 tersebut tidak hanya untuk LKTI, namun ada juga lomba baca kitab kuning untuk kalangan pesantren dan Speak Contest untuk siswa SLTA. Acara tersebut diikuti oleh para santri dan siswa SLTA yang tersebar di Jawa Timur.
Acara yang mengambil tema “Pesantren Fair 2009” tersebut dipuncaki dengan dialog nasional bersama Ir. KH. Solahuddin Wahid. Saudara Gus Dur ini juga didaulat untuk memberikan hadiah kepada masing-masing pemenang lomba. Namun sayangnya, Haukil tidak bisa hadir pada acara tersebut karena harus mempersiapkan presentasi karyanya di Magistra Utama, Malang hari itu juga. Penerimaan hadiah ia wakilkan kepada salah seorang mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang ia kenal saat berada di sana.
Selain kerap medulang prestasi, Haukil juga sering menerima pujian dari beberapa dewan juri dalam berbagai perhelatan LKTI. Misalnya saat lomba di Bogor, Sang Juri mengakui tulisan Haukil lebih bagus ketimbang tulisan anak didiknya di Institut Pertanian Bogor (IPB). (rozi) []
*) Digunting dari berita Pondok Pesantren Annuqayah 07 Juni 2008, dengan perbaikan seperlunya.
No comments:
Post a Comment