Friday, May 2, 2014

Reconquista dan Imperialisme Eropa

Kekuatan Kristen itu kemudia mencapai puncaknya ketika dua kerajaan Kristen besar bersatu, yakni Aragon dan Castile. Persatuan ini disebabkan oleh perkawinan Ferinand (raja Aragon) dan Isabella (ratu cantik Castile), tahun 1469 M.[1] Kekutan kristen kemudian bisa sedikit demi sedikit mendorong dan mendesak kekuatan Islam ke Selatan, hingga Islam hanya bercokol di Granada sebagai benteng terakhir. Tapi bagaimanapuun, keberadaan Islam di benteng terakhir ini terus terusik, dan takluk pada 1492 pada kekuasaan Ferdinand-Isabella.[2]

Kejayaan Islam Spanyol, sejak awal pembebasannya (futuhat) pada tahun 711 M sampai masa-masa terakhir Granada, tidak lepas dari bayangan-banyangan kaum Kristen di belahan Utara Spanyol. Pada masa pembebasan Spanyol ini, kekuasaan Kristen yang labil, berhasil diberangus dan Kristen kemudian lari ke Utara Spanyol. Di sanalah kemudian Kristen berbenah, dan kemudian terus mencoba melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kekuasaan Islam Andalusia.

Meski Granada takluk, namun kaum Muslim kota ini tetap dalam perlindungan Ferdinand-Isabella. Namun hal ini tidak berumur lama, karena pengaruh Gereja, kedua penguasa itu kemudian berambisi untuk ‘menghabiskan’ kaum Muslim dari tanah Spanyol, yang puncaknya pada tahun 1499, janji pelindungan bagi kaum Muslim dilanggar dan mereka dihadapkan pada pilihan-pilihat yang sangat sulit: masuk Kristen dengan bersedia dibabtis, hengkang segera dari tanah Spanyol, atau jika keduanya, berarti siap untuk mati.

Banyak kaum Muslim yang memilih untuk meninggalkan Spanyol, merantau dan berlayar ke luar Spanyol, mencari kehidupan di daerah Islam lain, tetapi tidak sedikit pula mereka yang memilih dibabtis, dan banyak pula yang dibunuh. Namun demikian, ternyata, mereka yang dibabtis itu tetap saja secara diam-diam mempraktikkan Islam. Kesediaan mereka untuk dibabtis semata karena hubungan mereka yang telah sangat dalam dengan Spanyol. Kelompok Islam under-ground ini yang kemudian menjadi sasaran inkuisisi (inquisition): sebuah lembaga Gerejawi yang bertujuan kristenisasi dan pemurnian agama Kristen, dengan menyiksa-membunuh mereka (mualaf Kristen) yang tidak taat dan membuat bidah.

Sampai di sini, ada pertanyaan yang mesti dijawab, apakah pengaruh tiga pilihan sulit kaum Muslim Spanyol itu terhadap dunia, khususnya Indonesia?

Inkuisisi dan Semangat Reconquista

Tidak banyak literatur yang membahas tentang “tiga pilihan sulit” bagi kaum Muslim itu dan pengaruhnya bagi dunia, terlebih Indonesia. Namun tulisan singkat dan sangat sederhana ini mencoba membahas hal tersebut, namun akan lebih banyak menyinggung masalah inkuisisi. Artinya tulisan ini mencoba melacak kaum Muslim yang masuk Kristen secara formal, namun tidak secara substansial. Dalam pandangan sementara penulis, kelompok inilah yang lebih bisa dijangkau dalam upaya mencari pengaruh tiga pilihan sulit itu bagi Indonesia.

Reconquista (penaklukan kembali) Spanyol, dimulai pada abad ke-11 sejak keruntuhan Dinasti Umayyah Jilid II, ada pula sejarawan yang menyebut dimulai sejak peperangan Covadonga tahun 718. Kapan pun upaya penaklukan kembali ini dimulai, yang pasti, ini telah mengilhami kaum Kristen Eropa untuk mempertahankan segala apa yang dipunyai, termasuk Spanyol yang terebut oleh kekuasaan Islam. Sehingga banyak gerakan-gerakan maupun lembaga-lembaga Kristen yang terinspirasi oleh semangat penaklukan kembali ini. Disamping hasrat kekuasaan, sentimen keagamaan juga begitu kentara dalam upaya ini.

Sebagaimana kepemilikan yang direbut, hal itu tentu menyisakan rasa sakit hati yang mendalam bagi pihak objek, dan pasti terlintas pikiran untuk merebutnya kembali. Demikianlah yang terjadi pada reconquista itu, ingin merebut kembali Spanyol dari tangan kekuasaan Islam. Sebab, sebelum Islam, Spanyol adalah milik Kristen (pandangan mereka).

Namun para pakar kurang setuju atau lebih tepatnya tidak suka dengan penyebutan reqconquista ini, sebab, dahulu, umat Muslim datang ke Spanyol bukan sebagai penakluk atau perebut Spanyol, akan tetapi ia hanya membantu rakyat yang dirugikan oleh kekuasaan Kristen yang tiranik. Upaya Islam ini disebut pembebasan, pembukaan (futuhat).[3] Jadi, sekali lagi, bukan penaklukan yang konotasinya kemaruk akan kekuasaan.

Salah satu upaya yang kemudian terlembagakan yang termasuk produk (semangat) penaklukan kembali ini adalah inkuisisi. Sebagaiamana telah sedikit disinggung tadi, bahwa inkuisisi ini adalah gerakan lembaga gerejawi yang bertujuan kristeisasi dan membersihkan Kristen dari kotoran bidah. Kotoran bidah yang dimaksud di sini adalah praktik-praktik ‘tersembunyi’, dalam hal ini, umat Kristen yang berasal dari Islam pasca-tiga pilihan sulit. Kelompok bawah tanah ini (disebut moriscoss[4]) sangat menghawatirkan Kristen, sehingga mereka selalu dicurigai, diawasi, didekte, sehingga segala konflik keagamaan saat itu bertiti tolak dari keadaan ini. jika ditelusuri lebih jauh, rupanya keberadaan kelompok bawah tanah inilah, setelah semangat reconquista, yang banyak mempengaruhi semangat imperealisme Eropa dengan berbagai misinya.

Setelah peristiwa-peristiwa di atas, Islam tenggelam dari permukaan Spanyol. Peristiwa-peristiwa itu juga menjadikan hubungan keagaaman antara Kristen dan Islam semakin memburuk. Kebencian antara satu dengan yang lainnya kemudian menjalar ke mana-mana. Setiap ada orang Islam, selalu membawa kesan kebencian di benak Kristen. Kristen selalu mencurigai Islam, dan ingin menaklukkan Islam, sebagaimana mereka memandang kaum (Kristen) moriscoss yang selalu menjadi sasaran inkuisisi Spanyol. Dalam inkuisisi ada tiga macam siksaan, guna meminta janji setia si ‘terdakwa’ pada Kristen: yakni dikerek ke langit-langit ruangan, diikat dengan pemberat besi atau diangkat ke atas dan di jatuhkan.

Semangat reconquista sungguh telah menjadi semangat yang terpatri di dada kaum Kristen. Bahkan imperialisme yang sebentar lagi mereka lakukan, juga tak bisa dilepaskan dari semangat itu.

Aroma Rempah-Rempah Mengundang Imperealisme

Jika dirunut, pada dataran generalisasi yang lebih tinggi, maka akan didapat bahwa imperialisme (dalam hal ini imperelisme Eropa) juga lekat dengat semangat reconquista, namun selain itu, juga bisa dengan mudah dilacak bahwa dinamika imperialisme ini tak lepas dari peristiwa “tiga pilihan sulit” di atas. Nah, pada bagian ini pula, akan dibahas bagaimana angin peristiwa itu menghembus sampai ke Nusantara.

Pasca peristiwa “tiga pilihan sulit” itu, hubungan antara Kristen-Islam semakin runyam. Keadaan ini, pada satu titik, membuat posisi Eropa ada dalam garis eksistensi yang sangat tidak menguntungkan. Kebutuhan pangan, cita rasa, menjadi problem utama dalam hal ini. Eropa yang sebelumnya bergantung pada negera Islam dalam urusan pasokan rempa-rempah, maka karena hubungan keagamaan yang meruncing, mereka tidak bisa mendapatkan rempah-rempah dengan mudah seperti dahulu kala.[5] Eropa memutar otak, tidak ingin lagi bergantung pada negara Islam (seperti Turki, Afrika Utara dan negara Arab lainnya), mereka sampai pada kesimpulan imperialisme; mencari sendiri rempah-rempah ke pusatnya, di samping tujuan-tujuan ambisius lainnya.

Orang-orang Eropa ini, khususnya dataran Spanyol atau semenanjung Iberia, lebih khusus lagi portugis, dengan teknologi yang lumayan mumpuni, mereke melakukan pelayaran yang berani ke arah Afrika, menelusuri pantai barat Afrika. Di setiap tepat yang mereka kunjungi, mereka selalu terlibat dan memenangi pertempuran, dan mengepung lawan-lawan yang beragama Islam.[6] Pelayaran ini tergolong berani, karena harus menerobos ombak atlantik yang buas, perompak, dan bahaya-bahaya laut lain yang setiap waktu mengancam.

Pelayaran terus berjalan, menyususi tepi-tepi pantai Asia, sampai di India, Malaka, hingga akhirnya sampai di Nusantara (Indonesia). Terutama daerah bagian Timur, Nusantara memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, termasuk rempah-rempah, cengkih, lada, buah dan bunga pala. Oleh karena itulah, maka kawasan Indonesia Timur ini yang menjadi tujuan utama orang-orang Eropa itu.

Selain itu, di Nusantara, Portugis juga sempat terlibat gonjang-ganjing politik kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Portugis berada di pihak Ternate karena bujukan yang getol dilakukan oleh rajanya Sultan Abu Lais (w. 1522). Namun jalinan hubungan ini tidak berlangsung lama, karena ada upaya-upaya Portugis melakukan Kristenisasi dan karena tingkah laku mereka yang umumnya sangat buruk.[7]

Sampai di sini, ada beberapa hal penting yang harus ditekankan terkait pengaruh peristiwa “tiga pilihan sulit” itu bagi Indonesia yang kesemuanya terbungkus rapi dalam kotak imperialisme. Pertama, peristiwa “tiga pilihan sulit” itu yang kemudian membuka jalan inkuisisi, begitu mendasar perannya dalam mendorong orang-orang Eropa untuk berlayar dengan bendera imprealisme yang juga sampai ke Indonesia. Hubungan Eropa yang sulit dengan negara-negara Islam penghasil maupun agen rempah-rempah, membuat Eropa kesulitan dalam mengakses rempah-rempah, sehingga mereka bermaksud untuk mencari rempah-rempah ke sumbernya (Asia Tenggara).

Kedua, inkuisisi sebagai konsekuensi dari peristiwa mengerikan itu sangat lekat dengan sentimen keagamaan. Sentemen ini memang sudah muncul benih-benihnya pada masa-masa bergulirnya reconquista, tetapi hal itu mencapai puncaknya ketika inkuisisi bergulir. Orang Kristen begitu benci dengan orang Islam dan selalu mencurigai mereka. Hal ini pula menjadi salah satu tujuan dari imprealisme Eropa itu. Sebagaimana diketahui, bahwa imprealisme Eropa memiliki tujuan gold, glory dan gospel, yang dikenal dengan 3 G. Pada tujuan gospel (ajaran kitab atau mis keagamaan/Kristen), poin kedua ini menemukan porsinya.

Bisa dilihat misalnya Kristenisasi yang diupayakan Portugis di kawasan Ternate. Bisa dilihat pula bagaimana Portugis mengepung lawan-lawan yang beragama Islam dalam sepanjang pelayarannya sejak di pantai Barat Afrika, sebagaimana ditulis Ricklefs. Portugis adalah bangsa pertama yang menyelimuti Nusantara dengan imperialisme.

Ketiga, persinggungan tahun yang begitu dekat dan berurutan. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa peristiwa “tiga pilihan sulit” itu terjadi pada masa Ferdinand-Isabella pada tahun 1499 M. Kemudian bisa dilihat tahun kedatangan pertama kali orang-orang Eropa (imperialis) di Indonesia, yaitu kurang lebih pada tahun 1509 M.[8] Waktu-waktu ini berurutan, dan sangat masuk akal. Di sana juga terdapat interval waktu yang barangkali untuk spekulasi dan lainnya. Melihat tahun-tahun tersebut, imperialisme yang diusung oleh orang Eropa sehinga sampai ke Indonesia, tampak merupakan tindak lanjut orang Eropa terhadap kebutuhan (rempah-rempah) mereka yang kian sulit. Akan kurang masuk akal (bahwa peristiwa kelabu itu bagi Indonesia membawa pengaruh berbentuk imprelisme ropa), jika tahun peristiwa mengerika itu jauh mendahului tahun kedatanga orang Eropa ke Indonesia, dan alangkah sangat tidak masuk akal jika sebaliknya.

Demikianlah, pengaruh peristiwa “tiga pilihan sulit” itu bagi Indonesia. Pengaruh itu berwajah imperealisme Eropa, dengan—paling tidak—tiga alasan yang disebutkan tadi.

Mengungkap 3G

Sebagaimana sempat di singgung tadi, bahwa tujuan dari imperealisme Eropa itu adalah 3 G. Huruf “G” yang dimaksud adalah gold (emas), glory(kejayaan/kemenagan), gospel (ajaran kitab atau misi keagamaan, dalam hal ini Kristen). Jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada—literatur yang menjustifikasi kebenaran 3 G ini secara akurat. Sehingga, banyak pula orang yang meragukan keabsahannya.

Menurut hemat saya, sejatinya istilah 3 G itu memang tidak pernah ada dalam literatur-literatur sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Istilah itu hanyalan buatan sebagian orang penekun sejarah. Mungkin pula, istilah itu tidak pernah disebut dalam sidang-sidang akademis. Namun demikian, saya tetap membenarkan 3 G itu, dengan alasan:

Pertama, 3 G itu merupakan sebuah kesimpulan sejarah yang tidak mengada-ada. Semua itu berdasarkan fakta sejarah dan bisa dipertanggung jawabkan. 3 G barangkali adalah istilah baru, tapi substansi yang dikandung tidaklah baru. 3 G adalah kesimpulan dari penelaahan sejarah imperialisme Eropa (Barat) dari berbagai literatur yang ada. Dalam sejarah, pelayaran imperialisme tidak pernah melupakan 3 pelabuhannya, yaitu mendapatkan emas, uang ata kekayaan, memperoleh an kejayaan atau kemenangan, dan pelabuhan terakhir yaitu pada penyebaran agama, dalam hal ini Kristen.

Mengutip Ricklefs:
“Atas dorongan pangeran Henry “Si Mualim” (w. 1460) dan para pelindung lainnya, para pelaut dan petualang Portugis memulai pencarian panjang mereka menyusuri pantai barat Afrika untuk menemukan emas, memenangi pertempuran, dan meraih jalan untuk mengepung lawan yang beragama Islam.”[9]
Dari sini, Ricklefs tampak setuju dengan istilah 3 G itu, meski ia sendiri tidak menggunakan istilah itu. Substansinya sama persis. Pada kutipan Ricklefs di atas, frase untuk menemukan emas kita bisa sebut gold dalam istilah 3 G; memenangi pertempuran sama dengan glory; sedangkan meraih jalan untuk mengepung lawan yang beragama Islam bisa kita sejajarkan dengan gospel.

Kedua, masalah selera dan kenyamanan berbahasa. Istilah 3 G terasa lebih unik dan sederhana serta mudah diingat. Bagaimanapun uniknya istilah ini, ia tetap tidak sampai mereduksi makna-makna substansial dari tujuan-tujuan imperialisme Eropa. Hanya persoalan dan pemainan kata.

Dengan ini, agaknya kita tidak perlu mempersoalkan istilah 3 G ini, apalagi memperdebatkan keabsahannya. Ia sebenarnya hanyalah bentuk simplifikasi dari data-data akurat yang ada. Sebab ia tidak ada masalah dalam tataran substansial, meski secara formal, dalam dunia akademik mungkin belum atau tidak diakui.

Epilog

Peristiwa pahit “tiga pilihan sulit” di Spanyol tahun 1499, yang pada waktu itu kekuasaan Spanyol berada di tangan pasang Ferdinand-Isabella, membawa pengaruh yang sangat penting bagi sejarah Indonesia, yaitu Imprealisme Eropa. Imperialisme ini mengusung tujuan mendapatkan emas atau kekayaan, memperoleh kemenangan, dan melancarkan misi keagamaan Kristen. Beberapa tujuan ini, mengalami simplifikasi dengan istilah 3 G (Gold, Glory, Gospel).

Peristiwa pahit “tiga pilihat sulit” yang kemudian menggulirkan imprealisme Eropa ini setidaknya mengetuk kesadaran kita sebagai umat Muslim dan bangsa Indonesia untuk bangkit dari segala keterpurukan. Sejarah hendaknya menjadi acuan untuk melahirkan formula-formula baru yang futuristik. Menyesali sejarah kelam, maupun terjebak pada romantisme sejarah, adalah suatu hal yang tidak banyak gunanya.

Akhirnya, tulisan ini sangat sederhana sekali dan banyak kekurangan-kekurangan yang bertaburan di sana sini. Demikian pula, selain kurangnya refernsi, tulisan ini masih debatable; dapat dibantah dan dilakukan diskusi lebih lanjut. Kita masih terus berharap adanya tangan-tangan kreatif yang terbesit hatinya untuk meluruskan segala kekeliruan sejarah bangsa kita secara khusus. Wallahu a’lam.***

Endnotes:

[1] Lih. Philip K. Hitti, History of The Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 701.
[2] Lih. Karen Armstrong, Perang Suci: Kisah Detail Perang Salim, Akar Pemicunya, dan Dampaknya terhadap Zaman Sekarang (Jakarta: Serambi, 2011), hlm. 705.
[3] Tuntaskan pada Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 17-19.
[4] Umat Muslim yang masuk Kristen, biasanya mereka, dalam praktik-praktik keagamaan, tetap “setia” pada Islam, tapi secara sembunyi-sembunyi.
[5] Dalam beberapa keterangan disebutkan, bahwa korban peristiwa “tiga pilihan sulit” itu menjadikan Turki sebagai salah satu tempat pelarian utama Muslim Spanyol. Dikatakan bahwa sebelum itu, Turki merupakan kolega (Islam) Spanyol dalam hal pasokan rempah-rempah. Maka, dengan pelarian kaum Muslim ke Turki, dan didengar oleh raja di sana, imageSpanyol mejadi jelek, dan menimbulkan kesinisan pula dari pemerintah Islam Turki (Ustmani), yang membuat hubungan kedua negara rumit, termasuk urusan rempah-rempah. Dalam hal ini, Spanyol adalah pihak yang kurang beruntung, karena ketergantungan mereka sebelumnya pada Turki.
[6] Baca M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2009), hlm. 41.
[7] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia, hlm. 45
[8] Lih. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia, hlm. 40.
[9] Dikutip total dari M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia, hlm. 41

Menimbang Gairah Politik Kiai

Bisa dimaklumi mengapa di era reformasi ini partai-partai yang mengklaim diri sebagai partai Islam menjamur dan bersaing, tak lain adalah karena babak baru sejarah negeri ini, yaitu dengan dibukanya kran demokrasi segera setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang meniscayakan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negaranya, termasuk dalam hal berpolitik. Setiap orang berhak berpolitik, mendirikan partai, ikut Pemilihan Umum (Pemilu), dan menjadi pemimpin negara.

Bagi partai-partai Islam, babakan sejarah baru ini mungkin merupakan sebuah angin segara yang baru berhembus, mengingat dalam sejarah, partai Islam tak pernah menunjukkan performa terbaiknya. Hal tersebut bukan akibat dari tak adanya kompetensi, melainkan system negara yang sudah terpolarisasi yang mengharuskan demikian.[1] Betapapun partai Islam berjuang, karena mereka tidak menguasai sistem, maka tetaplah tak ada kemajuan-kemajuan yang berarti dalam perjalanannya.

Menjamurnya partai-partai Islam, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai bom waktu masa lalu, membawa implikasi-implikasi penting lainnya. Hal yang sangat menarik dan akan menjadi pembahasan dalam risalah sederhana ini, ada terlibatnya kalangat elit tradisional, dalam hal ini kyai ke dalam pusaran politik tanah air. Kyai yang selama ini identik dengan sosok yang alim ilmu agama, meiliki banyak santri, dan bertugas membumikan nilai-nilai luhur agama (Islam), terjun pula ke ranah politik praktis (real politic) yang berliku dan penuh jurang jebakan yang curam. Banyak spekulasi muncul menanggapi hal ini, antara mendukung kyai untuk masuk struktural, atau tetap konsisten di ranah kultural saja. Mengenai mana yang lebih tepat, tentu harus dilihat dari banyak segi, mulai dari motivasi, kompetensi, kemudian menghubungkannya dengan fakta dilapangan.

Islam, Kyai, dan Bargaining Position-nya

Diakui atau tidak, dalam konteks perpolitikan nasional saat ini, agama Islam, kyai dan kharismanya, memiliki posisi tawar yang sangat tinggi di mata masyarakat, terutama masyarakat tradisional pinggiran yang jumlahnya berjibun di Indonesia. Di antara alasannya, pertama, agama disadari bahkan diyakini sebagai media perbaikan kehidupan umat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah kaum Muslim, meihat agama mereka sebagai harapan dan pandangan hidup; semua akan diukur dari sudut pandang agama; ketidaksesuaian dengan spirit agama akan diabaikan. Sebuah partai, yang mengklaim dirinya sebagai partai berlatar agama, dalam hal ini Islam, bisa ditebak akan meraup simpati yang luar biasa dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Kedua, kyai dan kharismanya yang seakan diagungkan di tengah masyarakat, juga sangat penting bagi penggalangan massa. Kyai dengan pesantrennya, tentu memiliki banyak simpatisan yang loyal. Sebab dalam tradisi pesantren, seorang murid atau santri, haruslah sami’na wa atha’na pada kyainya. Sekali sang kyai memerintahkan untuk melakukan sesuatu, maka siapapun akan segera melakukannya tampa banyak tanya. Kepatuhan atau ketundukan, begitu tertanam kuat dalam tradisi pesantren. Bukan perkara mustahil bagi seorang kyai, yang dinilai alim ilmu agama, bagus perilakunya, bersih ucapan-ucapannya, untuk sekadar memfatwakan para santrinya untuk menyatukan suara untuk satu partai.

Kedua alasan ini, telah benar-benar dibaca dengan sangat baik oleh para politikus masa kini, tidak hanya yang berhaluan Islam saja, tetapi juga yang berhaluan nasional tak mau kalah untuk menggandeng para kyai dengan fatwa-fatwanya yang bertuah di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit para kyai yang ‘tergiur’ ke arena politik praktis, meski tak sedikit pula yang tetap konses di ranah kekyaiannya tanpa bersibuk diri di are politik praktis. Biasanya, para kyai digandeng dengan cara diberi posisi dalam kepengurusan partai. Di sini, tentu bukan lagi berbicara kompetensi, melainkan bagaimana nantinya kyai bisa menjadi vote getter, menggalam massa sebanyak-banyaknya, melayangkan fatwa yang menguntungkan partai, dan membuat justifikasi-justifikasi untuk menaikkan elektabilitas partai.

“Sapi Perah”

Terlepas dari posisi tawar kyai yang mentereng, ada sebuah fakta miris yang hampir selalu terjadi di setiap momen politik yang tak bisa diinkari dan telah menjadi rahasia umum, bahwa kyai tidak memiliki peran dominan dalam arah kebijakan partai. Kyai yang pada dasarnya adalah sosok-sosok legowo dan rendah hati sesuai dengan perintah agama, kalah pamor dibanding politikus-politikus yang sebenarnya. Arah kebijakan partai tak kuasa dikendalikan otoritas kekyaian, sebab ia adalah ranah politis yang setiap sesuatu memiliki kemungkinan untuk terjadi, terlepas dari baik-buruknya. Kyai, paling banter hanya memimpin doa setelah rapat pengambilan kebijakan selesai. Mungkin penulis terlalu berlebihan dalam hal ini, tapi begitulah kira-kira untuk menunjukkan betapa kyai tak memiliki taring yang cukup bertuah dalam internal partai.

Menurut hemat penulis, ada sedikitnya dua alasan untuk menjelaskan situasi ini. Pertama, kyai tidak cakap. Terjunnya kyai ke ranah politik praktis biasanya bukan atas dasar keinginan sendiri yang dating dari hati nurani dan bukan pula atas pertimbangan kompetensi yang mumpuni. Terjunnya kyai ke area politik praktis lebih banyak didorong oleh gairah sesaat karena ajakan dari beberapa politikus yang berhasil memikatnya dengan janji-janji politik yang gila.

Kyai pada dasarnya tidak memiliki bekal pendidikan politik yang cukup. Sebab, sedari kecil, kyai yang biasanya menjadi pengganti kyai sebelumya (bisa ayahnya), tumbuh dewasa di pesantren yang sangat tertutup dengan dunia luar, belajar kitab kuning, dan bergumul dengan justifikasi halal-haram dan suci-najis. Bahkan tak jarang-pesantren-pesntren yang semacam ini, memandang haram terhadap rutinitas politik praktis; haram diketahui dan dipraktikkan. Tentu merupakan pengalaman yang sangat baru bagi kyai jika suatu waktu ada ajakan menggiurkan untuk memasuki area panas politik praktis, tanpa berpikir panjang mengenai apa yang bisa mereka lakukan dan kecakapan apa yang mereka punya. Alhasil, para kyai lebih sering menjadi penonton atau pendukung saja ketimbang pemain inti. Meski pun mereka sebenarnya memiliki bakat, tapi proses belajar tentulah tak bisa secepat itu.

Mengingat terjunnya kyai ke arena politik praktis lebih banyak bukan atas pertimbangan kompetensi atau kecakapan, maka penjelasan kedua, kyai hanya lebih banyak dimanfaatkan. Cukup mudah untuk menjelaskan ini. Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak cakap? Mengapa orang cakap direkrut menjadi pengurus partai? Bukannya orang-orang partai atau politikus itu tidak bodoh sehingga tidak perlu merekrut orang-orang yang tidak bisa diandalkan seperti kyai? Jawabannya hanya satu, yang tak lain adalah kyai memiliki massa, kharisma dan fatwa. Kyai dengan pesantrennya, sebagaimana telah sempat disinggung di depan, adalah sosok potensial untuk menggalang massa. Fatwa-fatwanya akan didengar, serta justifikasi-justifikasinya akan dipatuhi tanpa banyak bertanya. Inilah sebenarnya alasan para politikus mengajak kyai ke arena politik praktis sebagai pengurus dari partai yang digawanginya.

Selain itu, banyak apologi-apologi baik yang dibuat kyai sendiri atau yang datang dari luar untuk memantapkan keputusannya menaiki panggung politik praktis. Apologi tersebut tak kurang dari keyakinan kyai akan perlunya memperbaiki sistem dari dalam, tak cukup hanya dari luar; kyai adalah teladan yang diharapkan akan mampu mengayomi masyarakat, sesuai tuntunan agama serta membaca perdamain bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Betulkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya dimunculkan pula konsekuensi-konsekuensi yang perlu dicermati ketika sosok kyai yang disakralkan bermetamorfosis menjadi politisi.

Runtuhnya Kharisma Politik Kiai

Ada sedikitnya dua hal yang perlu dicermati ketika gerbong ulama bermetamorfosis menjadi prolitisi. Pertama, jangan keulamaan bangsa ini akan mengalami deficit deposito moral.[2] Maksud dari hal ini adalah kita akan kehilangan orang-orang yang independent yang memosisikand dirinya di tengah-tengah orang yang bertikai di negeri ini. Kita akan kehilangan orang-orang yang mampu secara adil dan terlepas dari kepentingan-kepentingan apapun yang akan mendamaikan bangsa ini yang multicultural. Kita akan kehilangan orang-orang yang berbicara dari hati nurati tanpa tendensi apapun, yang murni untuk memperbaiki kemaslahatan umat. Meski secara mendasar politik adalah suatu uapaya untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab, tapi dalam knteks negeri ini yang masih belajar demokrasi, masih jauh panggang dari api. Alih-alih untuk memperbaiki umat lewat struktur dan system, poitik hanya manjadi jalan seseorang atau kelompok untuk melancarkan kepentingan-kepentingan yang sepihak.

Tak bisa dipungkiri pula saat ini, hal-hal negatif banyak pula dilakukan oleh kaum terdidik, orang yang pandai agama, pembuat kebijakan dan bahkan para ulama sendiri yang dipandang sakaral itu. Betapa problem di negara ini sangat kompleks. Ketika seseorang masuk ke dunia politik, maka ia telah tidak independen lagi, ia tidak lagi benar-benar bebas dari kepentingan-kepentingannya. Keadilan akan terasa jauh panggang dari api dalam segala tindak-tanduknya.

Ada sebuah ungkapan yang terdengat akrab sekali dalam literatur ilmu politik, bahwa power tends to corrupt, kekuasaan cenderung untuk korup. Politik, dalam hal ini politik praktis, sebagaimana ia adalah media untukmemperoleh dan mempertahankan kekuasaan, maka siapapun yang mulai menyentuhnya, tantangan terberatnya adalah membebaskan diri dari tindakan korup, yang mana hal itu sangat sulit sekali. Hanya ada beberapa orang sakti saja yang bisa membebaskan diri dari segala hal yang berbau korupsi dalam konteks negera kita Indonesia ini. Maka tidak heran, jika masih ada pandangan awam yang dengan tegas dan sinisnya bersikukuh menyatakan bahwa “politik itu kotor”, dan siapa yang memainkannya maka ia tak bersih lagi. Mungkin ini memang berlebihan dan terkesan telah menarik generalisasi yang terlalu tinggi, tapi begitulah pengalaman traumatik masyarakat yang selalu ditunjukk oleh rutinitas-rutinitas kita yang tidak sehat.

Kedua, profesi politisi ternyata jauh lebih ‘menggiurkan’. Para kyai merasa (penulis sebenarnya lebih suka menyebutnya ‘berapologi’), dengan berpolitik meraka akan lebih mudah mewujudkan idealitas dan moralitas. Namun pada kenyataannya, ketika kyai bermetamorfosis menjadi politisi, segera saja mereka kehilangan kebajikan sivilitasnya (the virtue of civility), kehilangan kharisma dan otoritas moral dan larut dalam keruntuhan rasa kemanusiannya yang menghanyutkan.

Kenyataan tersebut bisa di mengerti, mengingat kata Edward Shills (1972), bahwa praktik politik kita bukanlah lahan subur untuk idealitas dan perjuangan moral. Sebab, walau kyai-intelektual di negera pascakolonial telah memiliki ide kebangsaan dalam negerinya sendiri, tapi mereka tidak berhasil menciptakan sebuah bangsa, malah mereka menjadi korban idenya sendiri, yaitu ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarganegaraan (citizenship).[3] Ketika para rohaniawan rakus, dan para kyai atau ulama berbondong-bondong menjadi politisi busuk maka disinilah lahir apa yang disebut the end of morality, sehingga perlu disemai kembali ulama-ulama baru yang bersih dan berkomitmen.

Pada perkembangan selanjutnya, mengingat banyaknya kyai yang terjun ke dunia politik praktis, dan tidak sedikit di antara mereka yang juga cenderung korup dan tidak sesuai janji awalnya yang amat manis, masyarakat pun secara pelan-pelan mulai kurang percara pada orang yang selama ini mereka sangat percayai bahkan pada satu titik mereka sakralkan. Terbuktilah bahwa politik itu kotor, dan kekuasaan itu memang cenderung untuk korup. Sebuah pandangan yang sangat miris saat ini mengemuka di tengah masyarakat bahwa “mereka yang tidak korupsi, hanya belum mendapat kesempatan saja”.

Tentu miris hati ini ketika harus mendengar ungkapan pesimistis yang sedemikian dalamnya tersebut. Tampak bahwa di negera yang luas ini, tak ada sosok-sosok yang bisa diharapkan lagi untuk menjadi pemimpin yang pro-rakyat dan berjuangan atas idealitas dan moralitas. Meski jumlah perwakilan partai Islam di parleman tidak bisa dibilang sedikit, tapi sampai sekarang, mereka yang katanya taat beragama itu, dan katanya berjuang di jalan yang lurus sesuai tuntunan agama yang hanif, mereka belum bisa melakukan terobosan-terobosan berarti, yang ada malah beramai-ramai mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk korupsi miliaran rupiah. Kita bisa menunjuk banyak figure dari partai berlatar agama dalam hal ini, atau kyai. Kegagalan kyai untuk memperbaiki citra politik yang suram dewasa ini telah menyisakan pengalaman yang traumatik dalam benak masyarakat. Fatwa-fatwa para kyai politik tak lagi bertuah.

Kesimpulan

Adalah merupakan satu hal yang sangatlah mulia, ketika ada seseorang yang tergerak hatinya untuk meujudkan idealitas dan memperjuangkan moralitas masyarakat. Tak peduli itu akan diwujudkan lewat jalan structural atau politik praktis, maupun jalan kultural, sebuah gerakan di luar politik praktis. Kita harus memandang optimis kepada setiap orang yang bertekad membawa masyarakat negeri ini menuju taraf kehidupan yang lebih baik, termasuk ketika harus lewat politik praktis, karena pada hakikatnya, politik adalah untuk membangun manusia menjadi adil dan beradab.

Dalam politik praktis, semua dari kita maklum, segala sesuatu memiliki kemungkinan yang sama untuk berwujud, bisa berubah ubah cepat maupun lambat. Hal tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari prinsip politik yang berupaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Intrik politik, yang terkadang tak sehat, tidak menutup kemungkinan untuk terjadi. Kita semua tahu akan hal itu. Sesuatu menjadi heboh dan mengguncang naluri, ketika di abad XXI banyak kalangan kyai, yang sehari-harinya dikenal sebagai pengasuh para santri, alim ilmu agama, baik budi pekertinya, dan terbebas dari kepentingan-kepentingan duniawi. Tentulah bukan otoritas kita untuk menyalahkan para kyai yang bergairah masuk ke dunia politik praktis, sebab itu adalah hak semua warga negara dan merupakan bagian penting dari proses belajar demokrasi kita yang perlu dijunjung tinggi. Tapi bagaimanapun kita tetap perlu mempertanyakan ketahanan kyai yang lemah lembut dan jujur dalam arus politik praktis negeri ini yang kacau-balau.

Berdasarkan pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kyai, meskipun boleh, tapi tak seharusnya berpolitik praktis. Politik praktis adalah lahan para politisi saja. Sementara kyai, yang sebenarnya juga sangat bisa jadi politisi, lebih baik jika tetep menjadi sosok yang independen dan menjaga nilai dan norma-norma, serta bebas dari tendensi apapun. Sebab ketika kyai berpolitik praktis, kemudian kehilangan kebajikan civilitasnya, maka kepada siapa lagi masyarakat akan mengadukan segala kegundahan batin yang sebenarnya jauh lebih penting. Ungkapan memperbaiki dari dalam (sistem), hanyalah merupakan sebuah apologi saja, dan pada praktiknya, kyai sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak bisa—menjaga diri dari kecenderungan kekuasaan yang korup.

Bagaimanapun, ini adalah sebuah karya tulis yang tidak kebal kritik atau debatable. Kekurangan dan kelebihan bisa saja terjadi dalam banyak sisinya. Kita tetap berharap semoga masih ada tangan-tangan yang ‘tebersit’ hatinya untuk berkomitmen menyehatkan dan membersihkan citra politik tanah air yang sekarang sedang sengkarut, baik yang berhaluan agama maupun yang nasionalis. Tentu itu diperlukan kerja-kerja cerdas dan kreatif serta tanpa tendensi apapun. Karena hanya dengan demikian, kita bisa memperbaiki sistem yang tidak kondusif. Hal ini mungkin lama, tapi gabaimanapun, harus ada seseorang yang mengambil langkah pertama.

End Notes:

[1] Lebih jauh lihat Zainuddin Maliki, Politikus Busuk; Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik (Yogyakarta: Galang press, 2004), hlm. 184-186.
[2] Sigmund Freud, dalam Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono, Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara (Yogyakarta: Jalasurta, 2004), hlm. 11.
[3] Lewat Komaruddin Hidayat, hlm. 13.