Monday, June 8, 2009

Presentasi Biasa-Biasa Saja, Unjuk Kreasi Seni Bikin Minder; Mengintip Perjuangan Haukil Memenangi Dua LKTI dalam Ajang Berbeda (2)

Seperti halnya pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Haukil mengaku tidak memiliki persiapan khusus menghadapi pertanggungjawaban karyanya di ajang LKTI ke-9 tingkat nasional yang diadakan oleh Magistra Utama, Malang, Selasa, 26 Mei 2009. Intinya, bisa mempresentasikan karyanya dengan lancar. Dan ini tidak membutuhkan latihan yang ketat karena sudah terbiasa berhadapan dengan juri. Hanya persoalan teknis yang mengharuskan ia bekerja ekstra. Tidak seperti di IAIN, di Magistra ia mempresentasikan karyanya dengan format power point. Haukil mengaku tidak paham seluk-beluk program tersebut, sehingga harus meminta bantuan orang lain. Persiapan inilah yang membuat sedikit waktunya tersita.

Saat hari presentasi digelar, seharusnya Haukil berada di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Hari tersebut merupakan penahbisan dirinya menjadi juara I LKTI tingkat Jatim pada acara “Pesantren Fiar 2009”, yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Namun, karena tidak bisa diwakilkan ia pun harus berangkat ke Malang setelah sebelumnya pulang terlebih dahulu untuk persiapan.

Dalam even tersebut, Haukil berhasil menyabet peringkat II untuk kategori juara II. Menurut Ketua Perpustakaan Lubangsa Selatan ini, Penetuan juara memang agak berbeda dengan penentuan pada even-even yang pernah diikutinya. Sistem yang dipakai adalah sistem peringkat. Pringkat I untuk satu orang, peringkat dua untuk tiga orang, dan peringkat tiga untuk tiga orang juga. Haukil berada di urutan dua untuk kategori peringkat II, diapit oleh peserta dari Pematang Siantar dan Ponorogo. Dan Peringkat I diraih oleh kelompok siswa dari Denpasar, Bali. Peserta yang ikut dalam perhelatan tersebut merupakan perwakilan dari beberapa SLTA yang tersebar di seluruh Nusantara. Diantaranya, dari Ciamis, Paiton, Bali, Madura, Jogjakarta, Ponorogo, Pasuruan, dan beberapa daerah lainnya.

Sebagaimana pernah diberitakan media ini beberapa waktu lalu, Haukil memberi judul atas karyanya, Menjadi Pembelajar Di “Universitas Besar Kehidupan.” Karya dengan ketebalan 44 halaman tersebut membeber konsep tentang pembelajaran seumur hidup. Active Lerning, begitu ia lebih suka menyebutnya. Pembelajaran seumur hidup baginya adalah pembelajaran yang tidak mengenal kata berhenti. Ruang dan waktu bukan alasan bagi seseorang untuk berhenti mencari ilmu. Dan arena belajar tidak harus sekolah, dimana pun bisa!

Dalam proses seleksi naskah sebelumnya, Haukil berhasil menyisihkan sedikitnya 207 naskah dari 223 naskah yang masuk ke panitia. Kemudian, 15 naskah yang tersisa diminta panitia kepada masing-masing penulisanya untuk dipresentasikan pada tanggal 26 Mei 2009.

Haukil mempertanggungjawabkan karyanya di hadapan empat orang dewan juri. Mereka merupakan pakar-pakar pendidikan dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Malang. Seperti halnya di IAIN, Haukil mengaku tidak ada pengalaman istimewa saat presentasi berlangsung. Hanya saja, akunya, pertanyaan-pertanyaan dewan juri sedikit membuat ia kewalahan. Beberapa gagasan belum bisa ia cerna dengan sempurna.

Satu hari sebelum presentasi, yaitu tanggal 25 Mei 2009, Haukil memulai dengan technical meeting. Hari itu juga ia diharuskan menampilkan unjuk kreasinya. Tidak seperti berita sebelumnya, Haukil merubah keinginan dari tampil monolog menjadi hanya membaca puisi. Dua buah sajak ia bacakan dalam acara tersebut yang kesemuanya ditulis oleh Joko Pinurbo, masing-masing berjudul “Celana (I)” dan “Celana (II)”. Haukil merasa minder dengan penampilannya sendiri. Ia melihat penampilannya jauh dari kesan bagus ketimbang penampilan-penampilan kontestan lain. Ia mencontohkan, penampilan beberapa kelompok SMA yang mengusung kebudayaan masing-masing tanah kelahirannya. Diantaranya, tari-tarian, Kuda Lumping, Teater, dan beberapa penampilan bagus lainnya. Memang tak semua kontestan bisa menampikan kreasinya dengan apik. Bahkan, ada yang bisa dikata lebih jelek dari penampilan Haukil. Namun, bagi Haukil, mestinya ia bisa lebih baik dari penampilan tersebut.

Ia mengakui tidak ada persiapan sama sekali dalam acara unjuk kreasi seni tersebut. “Awalnya memang sempat ingin menampilkan monolog, tapi ternyata sangat sulit.. Akhirnya jatuh kepilihan membaca puisi,” tandas remaja 18 tahun ini. Baca puisi menjadi pilihan karena menurut ia tidak membutuhkan waktu panjang untuk latihan dan lebih mudah dilakukan. Namun, hasilnya ternyata belum memuaskannya.

Selain memberikan juara pada acara tersebut, pihak Magistra Utama juga akan mengunjungi sekolah-sekolah yang anak didiknya berhasil menjadi juara. Magistra akan memberikan penghargaan kepada sekolah tersebut secara simbolis. Ditanya kapan mereka akan berkunjung? Haukil tidak bisa memastikan. “Pasti ada pemberitahuan sebelum mereka ke sini,” pungkasnya. (rozi) []
 
*) Digunting dari berita Pondok Pesantren Annuqayah 08 Juni 2009.

Sunday, June 7, 2009

Tidak Ada Persiapan Khusus, Presentasi Dibilang Hebat; Mengintip Perjuangan Haukil Memenangi Dua LKTI dalam Ajang Berbeda (1)

Memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bagi Haukil mungkin bukan sesuatu yang istimewa lagi. Setidaknya, sudah enam kali ia berhasil pulang dengan predikat juara, baik tingkat kabupaten maupun nasional. Baru-baru ini ia kembali menyabet dua juara LKTI sekaligus pada even yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Bagaimana kesannya?

Tanggal 26 Mei 2009 menjadi momen bersejarah bagi lelaki kelahiran Aeng Panas, Pragaan ini. Tanggal tersebut merupakan tanggal penahbisan dirinya menjadi juara I LKTI tingkat Jawa Timur yang diadakan oleh Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Prestasi ini kian melengkapi deretan gelar yang sudah ia sandang sebelumnya.

Ditemui di Perpustakaan Jumat Malam, (05/06), Haukil mengaku, dirinya berhasil menyisihkan sedikitnya 35 orang yang ikut dalam lomba tersebut. Ke-35 orang itu melewati seleksi ketat hingga menjadi hanya tiga orang. Semua naskah yang masuk memang diharuskan presentasi tanpa harus melalui seleksi karya terlebih dahulu. “Sejelek-jelek naskah tetap harus presentasi,” ujar lelaki murah senyum ini. Haukil mengaku, sebelumnya ia tidak tahu kalau semua naskah harus dipresentasikan. Baru setelah sampai di sana ia tahu bahwa tidak ada seleksi karya.

Mereka yang berhasil menjadi juara antara lain, Haukil dari MA Tahfidz Annuqayah, Guluk-Guluk; Afifatul S. dari SMA Telkom, Jombang; dan Faizah dari MA Darul Ulum, Jombang. Mereka berhak atas tropi dan uang pembinaan dari pihak Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Haukil mengatakan, nyaris tidak ada persiapan khusus menghadapi lomba tersebut. Ia bahkan lebih fokus mempersiapkan presentasinya pada LKTI di Magistra Utama, Malang, yang jadwalnya hanya terpaut sedikit dengan acara di Surabaya tersebut. Untuk persiapan presentasi, ia hanya membaca naskahnya sesaat sebelum memulai presentasi. Baginya, target utama cuma tidak ingin kacau dalam presentasi. Selain karena sudah banyak paham dengan inti gagasan dalam tulisannya, ia pun tidak terlalu ambisius untuk memperoleh juara.

Di arena presentasi ia diuji oleh tiga orang dewan juri.. Menurutnya, tidak ada kendala berarti yang dihadapi dalam sesi yang sangat menentukan tersebut. Memang tidak semua pertanyaan bisa terjawab, namun sebagian besar ia bisa mengurainya dengan lancar. Selain paham materi, Haukil juga sudah terbiasa berhadapan dengan dewan juri pada even-even yang sama sebelumnya. Persoalan demam panggung tidak menjadi masalah berarti.. Ia juga merasakan tidak ada yang istimewa dalam presentasinya. “Perasaan saya biasa-biasa saja,” lanjutnya. Namun, menurut dia, seusai presentasi ada salah seorang penonton yang menghampirinya dan mengatakan bahwa presentasinya sangat hebat. Tanggapan itu sebelumnya dirasakan Haukil terutama saat ia membaca sebuah kaidah fikih. Penonton yang menyaksikan bertepuk tangan tanda kagum.

Karya yang diajukan Haukil dalam lomba tersebut berjudul, “Pesantren dan Anti Korupsi.” Karya setebal 11 halaman itu membincang tentang gagasan membangun fikih anti korupsi di Pesantren. Menurut Haukil, pendidikan anti korupsi akan lebih efektif bila didalangi oleh pesantren. Alasannya, pesantren sudah memiliki kans untuk mengaplikasikan konsep ini, yaitu sifat kesederhanaan, tidak hedonis, tidak materialis, kejujuran, kemandirian, kesabaran, dan keikhlasan. “Kantin-kantin kejujuran itu nanti tidak harus hanya ada di sekolah-sekolah negeri yang sekarang banyak kolaps, namun juga harus ada di pesantren,” lanjutnya.

Acara yang berlangsung dari tanggal 19-26 Mei 2009 tersebut tidak hanya untuk LKTI, namun ada juga lomba baca kitab kuning untuk kalangan pesantren dan Speak Contest untuk siswa SLTA. Acara tersebut diikuti oleh para santri dan siswa SLTA yang tersebar di Jawa Timur.

Acara yang mengambil tema “Pesantren Fair 2009” tersebut dipuncaki dengan dialog nasional bersama Ir. KH. Solahuddin Wahid. Saudara Gus Dur ini juga didaulat untuk memberikan hadiah kepada masing-masing pemenang lomba. Namun sayangnya, Haukil tidak bisa hadir pada acara tersebut karena harus mempersiapkan presentasi karyanya di Magistra Utama, Malang hari itu juga. Penerimaan hadiah ia wakilkan kepada salah seorang mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang ia kenal saat berada di sana.

Selain kerap medulang prestasi, Haukil juga sering menerima pujian dari beberapa dewan juri dalam berbagai perhelatan LKTI. Misalnya saat lomba di Bogor, Sang Juri mengakui tulisan Haukil lebih bagus ketimbang tulisan anak didiknya di Institut Pertanian Bogor (IPB). (rozi) []
 
*) Digunting dari berita Pondok Pesantren Annuqayah 07 Juni 2008, dengan perbaikan seperlunya.