“Pengetahuan sebagian besar tidak didapatkan dari bangku sekolah,
melailnkan dari buku”
(Ajib Rosidi)
“Sekolah tanpa perpustakaan bagiku bukanlah sekolah,
pelajar tanpa buku bagiku bukanlah pelajar”
(Minda Perangin Angin)
Pernyataan Ajib Rosidi dan curhat Minda Perangin Angin tersebut menegaskan betapa pentingnya arti perpustakaan dan membaca buku, yang pada kenyataannya dapat melebihi kegiatan formal (sekolah) dan instruksi guru yang cenderung stagnan dan statis. Bahkan, dalam buku Sekolah Saja tak Pernah Cukup, Andrias Harefa mengilustrasikan guru sebagai pengusaha dalam struktur kerajaan dengan ajaran terkenalnya the king can do wrong, seorang manusia yang seakan tak pernah salah dalam menyiasati proses pembelajaran.
Terus terang, selama ini kita kelelahan karena aspirasi yang tak kesampaian. Aspirasi akan penolakan kita terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan yang terkadang tak sesuai dengan harapan. Aspirasi kita sebagai penikmat pendidikan yang tak kunjung digubris oleh para pembuat kebijakan. Mereka menganggap kita sebagai kaum bisu!
Tentu kita merasa prihatin dengan pendidikan kita yang berkembang saat ini. Kebanyakan sekolah-sekolah kita—diakui atau tidak—terjebak dalam metode pendidikan yang paternalistik, yang menempatkan sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog. Murid hanya berperan sebagai “gentong kosong” yang tak berdaya. Demikian pula hadirnya Ujian Nasional (UNAS) yang kontroversial, turut mewarnai dunia pendidikan kita yang sudah carut-marut ini. Bayagkan, kemampuan siwa diuji dengan tiga materi pelajaran, itu pun semuanya pelajaran eksakta. Ini sangat jelas tidak akan pernah mengacu pada terwujudnya tujuan UNAS itu sendiri untuk mengukur keberhasilan pendidikan kita. Mungkinkah keberhasilan pendidikan hanya diukur dengan tiga materi pelajaran? Para pembuat kebijakan tak pernah mengubris seruan ini.
Benang kusut buku pelajaran juga turut melengkapi beban pendidikan kita. hasil pengamatan Darmaningtyas akan buku pelajaran, tepatnya pada tahun 2005 lalu, mendapatkan bahwa mekanisme pengadaan buku pelajaran penuh dengan nuansa bisnis. Mutu buku kurang begitu diperhatikan oleh para penerbit yang “mata duitan”. Sehingga kemudian, buku pelajaran yang seharusnya mendidik dan mencerdaskan murid, justru membodohkan dan bahkan menyesatkan murid. Apakah dengan bermacam fenomena krusial semacam ini kita “lebih baik tidak sekolah?”.
Jika di sekolah tidak terjad proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas dan lemah, tentu “lebih baik tidak sekolah”. Karena belajar yang sesungguhnya bisa terjadi dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun ketika ada kemauan yang kuat untuk membengun kompetensi diri (Sujono Samba, Lebih Baik tidak Sekolah, Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007, hal. 28). Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Bahruddin: “boleh putus sekolah asal tidak putus belajar”.
Hijrah ke Perpustakaan
Masuk ke perpustakaan merupakan salah satu keharusan bagi orang yang ingin berpendidikan, bagi yang ingin bebas dari belenggu kebodohan dan keterpurukan. Di perpustakaan, kita bisa melahap berbagai sajian ilmu pengetahuan yang kita inginkan. Di perpustakaan, kita akan menemukan kedamaian belajar, tidak merasa terkekang, dan bebas mengekpresikan potensi yang kita miliki, selama masih dalam batas kewajaran. Di perpustakaan puka, tak ada istilahnya paternalistik, sentralistik dan tetek-bengek yang lainnya.
Perpustakaan merupakan khazanah keilmuan masa lalu dan sekarang. Potensi perpustakaan sangatlah besar dalam melahirkan insan-insan cendekia, dan para akademisi yang peka terhadap realitas kehidupan. Sungguh banyak para tokoh negri ini yang tak tuntas sekolah altaul bahkan tak pernah duduk di bangku sekolah, tapi mereka malah menjadi orang yang diorangkan oleh orang-orang, melebihi mereka yang pernah duduk di bangku sekolah.
Kita tahu dengan Pak D. Zawawi Imron, sastrawan dan budayawan Madura. Pak Zawawi adalah tamatan Sekoplah Dasar (SD). Setelah itu dia tidak pernah melanjutkan sekolah lagi. Pak Zawawi menghabiskan hari-harinya dengan banyak membaca buku, baik buku sastra , budaya, dan lain sebagainya. Dan sekarang, Pak Zawawi telah sangat kita kenal sebagai penyair nasional. Karena sebelumnya, Pak Zawawi kerap mendapatkan berbagai penghargaan, baik nasioinal maupun internasional, dalam bidang sastra (Periksa di “biografi tokoh” di id.Wikipedia.org). Hal yang semacam ini, belum tentu bisa didapatkan oleh para alumnus sekolah.
Demikian pula kita mengenal Ajib Rosidi. Dialah yang mengatakan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan tidaklah diperoleh dari bangku sekolah, melainkan dari buku, dari perpustakaan. Dia masih termasuk orang yang pernah duduk di bangku sekolah, namun tak tuntas. Dia berani mengambil keputusan untuk berhenti sekolah. Hal itu dia lakukan karena melihat kebanyakan dari teman-temannya yang sekolah hanya untuk dapat ijazah, pekerjaan, plus makan. Bahkan Ajib Rosidi menegaskan bahwa “saya akan bisa hidup tanpa harus sekolah!”.
Hal ini terbukti ketika Ajib Rosidi dewasa. Ajib Rosidi tak pernah melamar pekerjaan, tapi pekerjaanlah yang melamar Ajib Rosidi. Bahkan orang yang berani putus sokolah ini, pernah menjadi guru besar di salah satu universitas ternama di negara Matahari, yaitu Jepang. Wow, fantastic!
Mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa Ajib Rosidi bisa demikian? Tidak lain jawabannya adalah karena ia rajin membaca buku, rajin masuk perpustakaan (Ajib Rosidi, dalam Bukuku Kakiku, Jakarta: Gramedia, 2004. hal. 01).
Masih ingatkah kita dengan sejarah Bill Gates, yang kita kenal sebagai “manusia komputer?” dia tidak pernah duduk di bangku sekolah. Tapi, dia menjadi orang kaya dan paling sukses dibandingkan dengan teman-temannya yang lain yang alumnus sekolah. Apa yang dilakukan Bill Gates? Kita penasaran? Hanya bermodal akal dia berpikir dan merenung, mengapa gesekan logam dapat memercikkan api?
Betul, Bill Gates bukanlah insan perpustakaan. Tapi bagaimana pun, ini adalah bukti yang lebih dari cukup bahwa untuk menjadi orang sukses dan berguna bagi dunia, tidak harus sekolah! Kita dapat belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja. Dengan buku? Juga bisa! Ingatlah pengakuan Rosihan Anwar: “buku berarti penting bagi pencerqaha diri. Dengan membaca buku, saya mendidik diri sendiri. Saya tidak menyandang gelar kesarjanaan. Dengan buku saya otodidak. Dengan buku saya otodidak sepanjang hayat” (Rosihan Anwar, dalam Bukuku Kakiku, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 322).
Tapi ngomong-ngomong, apakah sekolah anda punya perpustakaan? Kalau tidak, simaklah dengan baik pesan Prof. Dr. Darji Darmodiharjo. Mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, itu berpesan: “ Perpustakaan sekolah itu harus ada pada tiap-tiap lembaga pendidikan. Bila tidak ada ruang perpustakaan, pakailah salah satu ruang kelas. Jika ruang kelas tidak ada, pakailah ruang pojok dengan rak bukunya. Jika tidak ada ruang pojok? Tutup saja sekolahnya!”. Wallahu a’lam bisshawaab.
* Tulisan ini saya sampaikan dalam acara "Dialog Pendidikan: Antara Sekolah dan Perpustakaan". Di Lembaga Pendidikan Pesantren Ar-Rohmah Jaddung Pragaan Sumenep, Sabtu, 16 Februari 2008.