Dalam sejarah Indonesia, Pesantren tercatat sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua. Pesantren mulai muncul pertama kali sekitar abad ke-17. Pesantren muncul untuk menyebarkan siar keagamaan (dalam hal ini agama Islam) atau untuk menumbuhkan dan mengembangkan pemahaman keagamaan (Tafaqquh fi ad-Dien). Di samping itu, aspek moral juga menjadi prioritas utama dalam pembelajaran Pesantren ( L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammadaansche Godsdientonderwijs of Java and Madoera and De Daarbij Gebnikte Arabische Boeken” dalam TIJDSCHRIFT VOORINDISCHE TAAL, LAND-EN VOIKENKUNDE, 1886, hlm. 519-555).
Dalam upayanya ini, Pesantren banyak mengkonsumsi dan menyuguhkan pada peserta didiknya (baca: santri) akan pemikiran-pemikiran Islam klasik yang saat ini dikenal dengan “kitab kuning”. Hal ini terjadi mulai dari awal muncul dan berkembangnya hingga saat ini. Sehingga kemudian kitab kuning yang merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran klasik (pemikiran ulama’ terdahulu) menjadi ‘ciri khas’ sebuah Pesantren. Tidak berlebihan kiranya jika di tengah-tengah masyarakat muncul image: santri identik dengan kitab kuning, santri tanpa kitab kuning bukanlah santri.
Namun di era global (global village) seperti saat ini, nampaknya image seperti di atas sudah mulai luntur. Eksistensi kitab kuning mulai terabaikan. Kitab kuning telah menjadi salah satu khazanah keilmuan yang termarginalkan. Para santri lebih bangga dan merasa bergengsi dengan buku-buku bacaan yang berhuruf latin (umum), yang menurut mereka lebih relevan dengan era yang terus berlari ini. Sehingga mereka beranggapan bahwa kitab kuning merupakan khazanah keilmuan ”kuno” yang “menjenuhkan”, karena yang dibicarakan hanya sebatas yang itu-itu saja, tidak seperti buku-buku hasil pemikiran pakar-pakar kekinian yang menurut mereka lebih variatif, dinamis dan progresif. Ini merupakan sebuah indikasi bahwa kitab kuning mengalami krisis minat baca yang pada gilirannya berujung pada krisis eksistensi.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan semacam inilah kiranya yang pas untuk hanya sekedar refleksi. Refleksi terhadap eksisitensi kitab kuning yang mulai krisis. Seperti halnya yang terjadi di Pondok Pesantren kita, Pondok Pesantren Annuqayah. Annuqayah dalam krisis!
Diskursus Pembelajaran Kitab Kuning
Pada umumnya, pembelajaran kitab kuning di Pesantren-Pesantren—termasuk juga Pesantren Annuqayah, mengunakan metode sorogan dan bandongan. Istilah bandongan adalah model pembelajaran yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih. Sang guru (baca: kiyai) membaca, menerjemahkan, dan menerangkan, sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang pemikiran atau kata-kata yang sulit.
Sedangkan pada sistem sorogan, para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan sang guru atau kiyai. (Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Pers, hlm. 83). Akan tetapi, Annuqayah dan kebanyakan Pesantren pada umumnya kurang begitu memperhatikan akan metode pembelajaran kitab kuning yang kedua ini, dan lebih cenderung menggunakan metode pembelajaran yang pertama, yaitu metode bandongan, karena lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak santri. Tapi, cukupkah santri belajar hanya dengan menulis dan mendengarkan?
“Kitab kuning yang menjenuhkan”, bukanlah ungkapan yang tanpa alasan. Metode pembelajaran seperti yang tersebut di atas, dalam istilah Paulo Freire, seorang pakar pendidikan berkebangsaan Brazil, cenderung memakai metode banking of education, yang hanya akan membelenggu eksistensi manusia sebagai mahluk yang berfikir (Taufiq R. Bief, “Pesantren Dalam Tantangan Global”, dalam HIDAYAH, 2006). Pembelajaran yang hanya mengaharuskan santri untuk mendengar, memperhatikan dan menulis jelas tidak memberikan kesempatran berfikir dan mengekspresikan potensi yang dimiliki santri, apalagi melakukan pengembaraan ilmu pengetahuan. Sehingga para santri berada dalam nuansa pembelajaran yang ambigu, statis, dan tidak partisipatif. Tidak heran bila kebanyakan santri berkesimpulan bahwa belajar dengan perantara kitab kuning itu “menjenuhkan”, ditambah lagi dengan “pembelajaran yang tak berkesudahan”.
Di Pesantren-Pesantren pada umumnya, pelajaran keagamaan yang di sampaikan melalui kitab kuning sering kali menjadi pelajaran yang tak berkesudahan. Pelajaran yang disampaikan hanya yang itu-itu saja, sebatas halal-haram, suci-najis, dan sebagainya. Ambil contoh di Annuqayah, pada tingkat MTs., satu kitab Fathu al-Qarib yang merupakan Syarh Ghayah al-Ikhtishar ditargetkan selesai dengan tiga tahun. Akan tetapi pada kenyataannya di kelas satu pada tahun 2004-2005, kitab Ahkam al-Thaharoh saja tidak selesai. Demikian juga di kelas 2 pada tahun berikutnya melompat pada kitab Ahkam al-Shalah yang juga hanya beberapa lembar. Demikian juga di kelas tiga. Kemudian di MA. menggunakan kitab Kifayah al-Akhyar yang cukup besar, kenyataannya hanya ‘mengulangi’ beberapa satuan pelajaran yang di MTs. yang hanya beberapa lembar saja dalam tiga tahun. Bukankah semua ini merupkan suatu hal yang menjenuhkan? sehingga tidak heran jika di kalangan masyarakat timbul pameo gurauan: pantas santri-santri alumnus Annuqayah isrof dalam penggunaan air, karena dari kelas ke kelas hanya diajarkan thaharoh saja. (K.H.A. Basith Abdullah Sajjad, Pondok Pesantren Annuqayah (Tinjauan Epistimologi dan Sumbangan Pemikiran untuk Pengembangan Keilmuan), Sumenep: PP. Annuqayah, 2007 hlm. 45-46).
Ada lagi, hal yang menyeret Pesantren pada jurang krisis eksistensi (berdasar pada kasus Annuqayah), yaitu dangkalnya khazanah keilmuan santri dalam membaca ‘teks’ kitab kuning. Hal ini dapat diketahui ketika santri merasa sungkan, risih, atau bahkan ‘trauma’ ketika dihadapkan pada teks kitab kuning. Suatu hal yang sangat ironis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah Nahwu dan Sharaf telah dipelajari setiap waktu di Pesantren?
Pada umumnya, Pesantren-Pesantren—termasuk Annuqayah—menjadikan pelajaran ilmu Nahwu dan Sharraf sebagai prioritas utama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa pada dasarnya, para santri sangat perlu menguasai ilmu Nahwu, di mana dengan ilmu ini mereka akan mempu membaca dan memahami kitab kuning secara tepat. Adalah sangat memalukan jika seorang santri atau bahkan kiyai membaca kitab kuning tanpa memperhatikan qaidah tata bahasa. Sauatu kesalahan kecil dalam membaca kitab kuning merupakan muruah (rasa malu) bagi seseorang (Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. I58).
Namun demikian, Pesantren tidak dapat menjamin para santrinya pandai dalam membaca kitab kuning. Hal ini tergantung dari sejauh mana pemahaman mereka pada ilmu Nahwu dan Sharraf. Jika demikian, jelaslah bahwa problem yang sebenarnya terletak pada ilmu Nahwu itu sendiri, dan tentulah problem tersebut hanya berkutat di sekitar pembelajaran, dan itu tidak lepas dari profesionalitas guru dalam mengajar ilmu Nahwu, demikian juga ilmu Sharraf.
Di Annuqayah, sebagian besar profesionalitas guru (dalam hal ini guru Nahwu) masih dapat dibilang kurang memuaskan. Tidak sedikit guru yang kurang mengaitkan tata bahasa Arab dengan bahasa lain terutama bahasa Indonesia. Penggunaan metode pun pada umumnya hanya menggunakan metode deduksi, dan contoh-contoh yang monoton, yaitu hanya berkutat di kalilmat Qama Zaid dan Daroba Zaid Amr (K.H.A. Basith Abdullah Sajjad, Op. Cit.), ditambah lagi dengan hafalan dan tugas-tugas yang menumpuk. Lagi-lagi hal ini merupakan suatu hal yang menjenuhkan.
Sampai di sini, bagaimana Annuqayah ke depan? Akankah Annuqayah tetap menutup diri dalam metode pembelajaran tradisionalnya dari pembelajaran yang ditawarkan oleh era modern?
Penutup
Akhirnya, dari semua yang telah penulis paparkan di atas, hendaknya menjadi bahan renungan (refleksi) bagi semua pihak, karena tulisan ini adalah refleksi adanya. Refleksi terhadap fakta-fakta yang sering tidak kita sadari bahwa fakta yang ada tersebut bermakna. Tulisan ini juga tidak menjanjikan solusi, kecuali refleksi. Namun dari sekian banyak refleksi yang kita lakukan, barangkali kita kemudian bisa merangkai janji dan solusi. Untuk inilah tulisan ini dihadirkan sebagaimana adanya. Karena berisi refleksi, ia juga memuat kritik. Kritik tak akan mampu kita kemukakan ketika refleksi kita mandeg. Dan, semoga dalam kritik itu pun tersedia solusi. []
* Tulisan kontroversial ini saya presentasikan di Madrasah Aliyah Keagamaan Annuqayah (MAK) yang saya menyebutnya sebagai "kandang kitab kuning".