Sunday, November 10, 2013

I Do What Must I Do Now

[self-reflection on midnight]

I honestly do not know if this effort will work on not. It is only one thing I know: Allah respects all people’s struggles, small or big depending on the pressure. Therefore, I do what I must do now, without thinking about failure. After all is well, then I deliver it to my Almighty Allah.

I also do not know how much time I need to pursue all of these. I do what I must do with hoping the best. I know that failure will be come on day, but of course I do not perceive dependent of something unknowing yet like that. Whatever that is, the right one is that I have to end this as soon as possible.

I do want to give great thing for life so that I seek a moment given by life to me. It is clear that I must look for, not only wait for and see.

Allah, I do what I must do now. I do believe in You and all of your promises for everyone grappling with his dream. So, it is not a problem to consider if I take my turn later. But, whatever your decision is, ‘You know the best’.

Monday, November 4, 2013

Our Class is Under Attack!

Let me tell you about my young classmates to be, during this semester one. Actually I am at seventh semester, and because of some academic reasons, I should take some matters of semester one. This does not matter relying on two considerations. The first, I can repair my academic gain, and have an opportunity to evaluate my academic record. The second, I am really glad to have young friends here, who are funny, dynamic, proactive and give me fabulous mirror.

Sometimes, I feel as an oldest one here—and the fact shows it. Actually, I feel unwell with this condition. This makes me ashamed to show up my identity here, to speak, ask a question, and communicate more with young classmates. Suddenly, I have been more silent—yeah, I do not believe it as well. But, however, I strive to enjoy this and be nice with young friends. Fortunately, they are very welcome to me. Based on this condition and experience of studying at semester one, I write this: a brief experience with my very funny and confusing classmates.

It was on Tuesday, on 29th of August, exactly in Anthropology class, when we discussed about social differentiation. As usual in every week, there were some friends being presentators for a paper dealing with the theme determined before (social differentiation). First of all, the presentators delivered some important points of the paper and then provided time for questions from other students as audience. The forum, of course, was ruled by a moderator.

According to me, the explanation of the presentators, made the theme more complicated. It was too difficult to understand, I thought. This situation, as we always found it in almost every discussion of ours, then invited some strange question which had no deal with the theme. It was really funny for me. The next step, usually, the presentators looked very busy looking for right answer from the paper they held. This took long time. It might be a modus to spend the time or something else. I thought that the presentators did not understand well about the theme they delivered. It is easy to trace the truth of this conclusion. It meant based on the way they delivered a presentation. All of these made the discussion unproductive.

The funny thing else came from the audiences. They delivered their question seriously. They looked more interested in or focused on making complicated question than seeking more useful knowledge. They speak over even forget the time they have for speaking. They looked never satisfied for the answer of the presentators, so that they interrupted, clarified, disagreed, spoke up, more and more. My humble thinking, they tried to gain notice from the lecture and hoped to get point for their performances. Someone appeared to help the presentators answer the question. But, as we knew, he helped nothing because of heavy-head of question-maker. The next step, the helper and the question-maker debated out of moderator’s authority. The forum was unheld. The class was under attack!

The lecture, finally, comment jokingly: “The presentators and moderator may go home, because the forum does not need you. The forum cannot be held indeed!”

I had nothing to do noticing this. I tried to understand what happened. They are young students and still have new and big spirit to actualize themselves as much as they can and to do everything possible. This condition now may be not good and should be changed. But, let it stream down until the time comes to end it. It is natural for fresh graduate of senior high school to have great expectation. Once more, I am just silent, smile, and laugh.

This is my story, and how about yours?

Thursday, September 19, 2013

Meniti Jalan Sufi di Tengah Kegalauan Zaman

Ketika era teknologi informasi semakin mapan seperti saat ini, barangkali tidak sedikit orang yang memandang pesimis terhadap upaya mengambil jalan kesufian sebagai jalan hidup. Pesimisme tersebut memang beralasan, mengingat era teknologi saat ini yang gemerlap, hedonis, cepat berubah dan bising, akan menjadi tantangan yang super sulit bagi jalan kesufian yang mistik, sepi, dan musuh hedonisme. Orang tampak akan lebih suka bersantai di mall dari pada bersemedi di sebuah tempat yang pengap.

Dalam sejarah mistik Islam (Islamic mysticism), seorang Sufi adalah dia yang menempuh (suluk) jalan Allah, berakhlak tinggi, berjiwa cemerlang dan bijaksana.[1] Golongan ini, berdasarkan sejarah yang ada, selalu tampak sebagai ahli ibadah, suka menyepi dan bersemedi di tempat-tempat terpencil, serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi yang dipandang akan membuat mereka jauh dengan Sang Kekasih, yakni Allah.[2] Hampir tidak ada di antara mereka yang eksis di jalanan, jarang bergaul dengan orang-orang, memakai jubah (baju besar dan longgar), memakai sorban dan atribut lain yang, dalam pandangan orang awam sekarang, sangat tidak gaul.

Saat ini, diakui atau tidak, seorang sufi dipandang sebagai tidak gaul. Sebutan ‘tidak gaul’ tentu tidak hanya diukur dengan keadaan mereka yang jarang bergaul dengan orang-orang, melainkan karena beberapa aspek yang lain pula, seperti pakaian, makanan, cara berbahasa dan isi pembicaraannya yang tidak jauh dari urusan ukhrawi. Meski seorang sufi, sebagaimana diakui, adalah mulia dan disayang Allah, tapi ketika ada seseorang bercita-cita menjadi Sufi, hal tersebut akan kedengaran aneh bahkan sangat lucu. Hal ini memang sangat dilematis: di satu sisi kita mengamini bahwa menjadi Sufi adalah sangat mulia, tapi di sisi lain kita harus jujur bahwa abad XXI yang gemerlap dan Wow! ini, meski seringkali bikin hati galau, sangat sayang untuk dilewatkan.

Akhirnya, tampak ajaran-ajaran sufi atau sufisme bertentangan dengan semangat zaman modern, dan tak ada tempat (no way) bagi seorang Sufi di zaman modern ini. Kata-kata sufi maupun sufisme kemudian tampil dengan wajah yang menyeramkan. Pertanyaannya, benarkah demikian? Siapa sebenarnya Sufi itu dan apa semangatnya? Tak adakah celah bagi seorang Sufi untuk ikut andil meramaikan zaman yang bising ini, menjadi Sufi gaul dan keren? Bukankah kegalauan manusia-manusia modern ini sangat menunggu kehadiran dan sentuhan seorang Sufi dan semangatnya yang lembut dan menenangkan?

Tasawwuf dan Sesuatu yang Berhubungan dengannya

Sebagian besar ulama sepakat bahwa secara etimologi, tasawwuf berasal dari kata shuf, berarti kain yang terbuat dari wol (bulu domba) yang kasar, yang digunakan orang yang meniti jalan tasawwuf, yang melambangkan kesederhanaan dan kemiskinan duniawi.[3] Secara terminologis, tasawwuf adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan jiwa, serta cara bagaimana untuk menghilangkan keburukan tersebut dan menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji, demi mencapai keridhaan Allah.[4] Sejatinya, Sufi berarti orang yang ber-tasawwuf (secara sungguh-sungguh), dan kata ‘Sufi’ merupakan derivasi dari kata tasawwuf tersebut.

Meski secara legal-formal tasawwuf tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad saw., tapi substansinya, yaitu upaya-upaya penyujian jiwa (tazkiyat al-nafs) telah ada dan dipraktikkan pada masa nabi.[5] Tasawwuf sebaga suatu bidang ilmu baru muncul dan dipelajari pada abad ke-9 M, yang setidaknya dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai pengimbang terhadap kemajuan ilmu fiqh (eksoterik/lahir) yang maju pesat pada masa itu. Kedua, sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah yang menyimpang dari batas kewajaran.[6]

Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam meniti jalan tasawwuf, di antaranya yaitu maqamat. Dalam terminologi tasawwuf, maqamat adalah kedudukan hamba di hadapan Allah berdasarkan apa yang telah ia usahakan, baik melalui riyadhah maupun ibadah yang sungguh-sungguh. Selain itu, ia juga berarti fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.[7] Setidaknya, maqamat menurut al-Ghazali ada delapan tingkat: yakni taubat (memohon ampun segala dosa); zuhud (meninggalkan kesenangan dunia); sabar (keadaan jiwa yang kokoh, stabil); tawakkal (pasrah); mahabbah (mencintai secara mendalam); ridha (menerima qadha-qadar); ma’rifat (pengetahuan terhadap rahasia Allah).[8]

Sementara itu, ahwal berarti sesuatu yang terjadi secara mendadak pada hati nurani seseorang.[9] Berbeda dengan maqamat yang permanen, ahwal ini bersifat sementara dan tidak pasti datangnya, sebab ia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang shaleh. Ada beberapa ahwal yang disepakati sebagian besar ulama Sufi, yakni: muqarabah (kesadaran bersama Allah); khauf (takut pada murka Allah); raja’ (mengharapkan Allah); thuma’ninah (rasa tenang); musyahadah (menyaksikan keagungan Allah); uns (suka cita karena Allah).[10]

Selain itu, ada pula satu konsepsi yang dibuat oleh ulama Sufi untuk memberi jalan kemudahan bagi para penempuh (salik) dalam hal pengamalan ajaran Islam secara tepat, sehingga mengantarkannya pada kebahagiaan lahir dan batin. Konsepsi tersebut yakni, pertama, syari’at, adalah tindakan seseorang berdasarkan hukum formal Islam berdasarkan al-Quran dan Sunah. Kedua, thariqat (tarekat), adalah petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.[11] Ketiga, hakikat, berarti sampainya seorang Sufi pada tujuannya, yaitu mengenal Allah dan menyaksikan cahaya penampakannya.[12] Secara mudah, beberapa penekun tasawwuf menyebut konsepsi ini dengan maqam pula, tentu dalam konteks yang berbeda dengan maqam yang telah dipaparkan sebelumnya.

Menangkap Spirit Sufi

Penjelasan mengenai tasawwuf sebagaimana diungkap pada bagian sebelumnya, lebih tampak bersifat teoritis-eksplanatif dari pada praktis-aplikatif. Yang terpenting saat ini bukanlah pengertian apa itu tasawwuf dan cara-caranya, melainkan apa dan bagaimana semangat dan sifat-sifat Sufi yang lembut dan menenangkan. Inilah inti semangat sufisme yang mesti kita tangkap, yang kemudian diharapkan membuat upaya tazkiyat al-nafs kita lebih maju dan bermakna.

Pertama, senantiasa mengingat dan menyebut (dzikr) nama Allah tanpa putus. Sejatinya Allah senang sekali disebut dan dipuji, bahkan penciptaan mahluk oleh-Nya adalah memang untuk tujuan itu. Berdzikir haruslah dilakukan secara countinue, di mana pun, kapanpun, dan bagaimanapun cara dan keadaannya. Ini adalah terapi yang paling inti dan penting bagi seorang hamba untuk menyucikan jiwa dari segala kotoran nafsu amarah untuk bisa menjadi lebih dekat dengan-Nya. Kedua, melayani dan mencintai sesama,[13] termasuk dalam hal ini saling mengingatkan dalam kebaikan, tidak suka mencela dan membuka aib orang lain, tidak menggunjing dan apapun yang bisa melukai perasaan orang lain. Ketiga, tidak melawan perlakuan buruk.[14] Termasuk di sini upaya balas dendam adalah suatu hal yang amat dilarang, meski seseorang terkadang dizalimi, bukan berarti dia harus menzalimi pula. Hal ini meniscayakan bagaimana seseorang membalas segala sesuatu dengan kebaikan. Keempat, selalu bersikap baik dan positif kepada semua mahluk Allah (bukan hanya pada manusia), termasuk hewan dan alam sekitar. Sebab perbuatan buruk terhadap mahluk Allah berarti menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) alam raya.[15]

Inilah beberapa sipirit penting yang mesti ditanamkan dalam dada setiap penempuh penyucian ruhani, sebab ini adalah pintu menuju jalan Sufi. Mengenai maqam dan ahwal, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Spirit ini menjadi tiket untuk menyelami dunia Sufi yang penuh ekstase.[16]

Tasawwuf sebagai Wilayah Esoteris; Menimbang Sufi Gaul

Manusia diciptakan dengan dua unsur, yaitu materi (lahir/eksoteris) dan immateri (ruhani/esoteris). Hukum Islam, dalam hal ini fiqh, adalah ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang nampak atau eksoteris. Semetara tasawwuf, merupakan ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang tak nampak atau esoteris pada diri manusia. Kondisi eksoteris tidak melulu mewakili kondisi esoteris, oleh karenanya tidak heran bila ajaran tasawwuf seringkali berseberangan dengan prinsip-prinsip fiqh.

Seorang dengan pakaian you can see, dengan kain ketat dan membentuk lekuk tubuh, dalam pandangan fiqh bisa jadi haram sebab hal tersebut amat menggoda iman dan membawa lebih banyak mudharat bagi si perempuan maupun laki-laki yang melihatnya. Orang-orang fiqh mudah saja mengkafirkan seseorang karena pemikirannya yang tidak sama dengan pandangannya, mereka pun tak segan-segan memberlakukan Perda syariah secara pukul rata di suatu daerah. Hal ini maklum, sebab mereka lebih banyak melihat segi lahir dari pada batin, melihat bungkus dari pada isi yang sebenarnya.

Sikap yang sama sekali berbeda ditunjukkan oleh orang-orang tasawwuf (untuk menyebut ‘orang-orang Sufi’ sepertinya terlalu keren dan terburu-buru). Bagi orang-orang ini, seorang perempuan modis dengan pakaian you can see-nya belum tentu buruk, mereka akan lebih melihat dan masuk lebih dalam ke lubuk hatinya. Bentuk lahir, bungkus, atau pakaian bukanlah soal penting bagi orang tasawwuf, yang terpenting adalah apa yang ada di kedalaman hatinya. Jubah maupun cadar bukanlah jaminan cahaya ilahi masuk ke hati seseorang. Semuanya bergantung pada pribadi masing-masing sejauh mana ia menangkap spirit sufi sebagaimana telah disebutkan di atas. Nah, jika itu pertimbangannya, maka, sufi pun bisa gaul, pakai rok mini dan modis. Sekarang tinggal Anda-nya, bisa menerima kenyataan itu atau tidak? []

End Notes:

[1] Pendapat al-Ghazali yang dikutip dalam Abu al-Wafa at-Taftazani, Madkhal ila al-Tashawuf al-Islami (Kairo: Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasy, 1976), hlm. 10.
[2] Fadhalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 80.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56-61. Bandingkan pula dengan artikelnya, “Tasawwuf”, dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 161-165.
[4] Al-Qushayry, al-Risalah al-Qushayriyah (Mesir: Bab al-Halaby, 1959), hlm. 552.
[5] Inilah alasan mengapa tasawwuf tidak bisa disebut sebagai bid’ah. Ia lahir dari rahim Islam sendiri yang memiliki dasar sangat jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an.
[6] Periksa pada Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 92.
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme, hlm. 62.
[8] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 162-178.
[9] Lihat Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma’ (Kairo: Maktabah al- Tsaqafah, t.t.), hlm. 88.
[10] Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, al-Tasawwuf bayna al-Ghazali wa Ibn Taymiyyah (Mesir: Darul Wafa’), hlm. 132.
[11] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 56.
[12] al-Malaybary, Kifayat al-Atqiya’ wa minhaj al-Ashfiya’ (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, 1986), hlm. 11.
[13] Sebagaimana hal ini menjadi spirit sufisme dalam periode awal Islam. Tuntaskan pada Javad Nurbakhsh, “Ciri-Ciri Khas Utama Sufisme dalam Periode Awal Islam”, dalam Seyyed Hossein Nasr, et all., Warisan Sufi: Sufisme Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300), terj., (Yogyakarta: Pustaka Susi, 2002), hlm. 9.
[14] Ibid., hlm. 11.
[15] Mengenai prinsip ekuilibrium ini, bandingnkan dengan Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 77.
[16] Dalam Perbendaharaan kaum Sufi, ekstase sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh “minuman” kebenaran. Periksa lebih lengkap di Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina-Dian Rakyat, cet. VII, 2008), hlm. 260

*) Artikel ini disampaikan pada Diskusi Mingguan HMI Komisariat Adab Sunan Ampel, Surabaya.

Friday, May 17, 2013

When Reading Gives Us Nothing

One of my friends asked me about reading and everything dealing with it. I was glad to hear that. Finally, he told me about his problems in reading. One of them, which made me interested in, is about difficulty in understanding a text, either in book, newspaper, or others. He then concluded that if he read something, he seemingly get nothing. He has been actually excited for reading, but, because of that problem, he would go on frustration.

“I want to be smart and know everything. So what must I do?” This friend asked me on a pleasant day. I said “read more”. He responded me, “Just it? Well, actually I always try to read book as many as possible, but it gave me nothing. So what is wrong?” I said for the last time “read more and more. Just read. Do not think about what you have got from the book. Neglect that. Read and read. Later, when the time comes, you will find the result, obviously!”. “Do I have to read many times for a book?” and “how to read well?” huft….

I have experience in reading for many years. As far as I remember, I tried to read frequently since I was in the first grade of Junior High School (named Madrasah Tsanawiyah) Annuqayah, Guluk-Guluk. It is long time, right? But until now, I do not know how to read well, indeed! Besides that, I have never thought about what I got from my reading activity, so that at the same time I have never felt difficulty in reading. I just read and strive to be happy in reading. It was no burden to understand.

Before we talk too far about reading, it is better if we firstly understand about what “reading well” means. According to my opinion, “reading well” means, basically, someone understands what he read, which in turn, he can tell and explain it well to someone else. Of course, here, I refer to reading textbox or other papers, not reading nature or social dynamics. When you feel nothing after reading a book, do not be hopeless. There are some regards you have to know in case of reading. This is, at least, based on my experience so far.

Firstly, be sure that no work without result in this work. Everything you did will absolutely give you result, little or many, now or later. It takes our patience to wait for. Be sure when you eat, you will be full; when you work, you will get money; when you play water, you will be wet; when you run, you will be tired; and when you read, you will get something from what you read. Well, the result of reading may be different from other results. It cannot be found or got straightly and shaped in front of us, because it is visible. Although you get something from it, of course you cannot show it to other. Once more, it is visible. So, wait for it, and do not be hurry-up to conclude. The result often comes suddenly when we do not think it.

Secondly, do not think about what you have got. It is usual, when we always think about our work’s result. It is also important, because the result we want often make us excited to do something. Hidden result can make us down and make our word sporadic and walk late. It obtains in every case of work except reading. In reading, you should not think about the result, because that condition will impose you. You just read as much as you can, and strive to understand as far as you can, and do not force yourself to understand everything you read in the book, because, I assert, it is impossible. How can it be impossible? Let me explain the third one.

Thirdly, remember that what we read goes to be precipitated. This is the reason why after reading a book, we frequently forget what we have red. We may understand every word we see, but in the last time, after all, we feel lost of the word and its message. It is something normal. It is not lost actually, but precipitated. What will the something precipitated be? Of course, it will not be like that for all time. As it is something precipitated, it will emerge and appear when there something else stimulates it, for example, reading other books, discussing with friend, or noticing something or phenomena around us. All of these will emerge our knowledge and explore our experience. In this condition, everything precipitated (include what we have red) on ourselves will come out, appear and speak. So we should realize that everything we have red have not been lost even emerged waiting for its suitable time.

So, we have to read and read. Do not think about what we got more that what we do. Just do it. Because, no work, although it is so little, in this world without result. Good luck to my diligent friend and crazy readers. When we give as much as possible, no matter, we actually get as much as we give at the same time. Well, it may not be emerged suddenly, but be sure, it will come, now or later.

Jum’at, Wonocolo, 17 Mei 2013

Saturday, March 23, 2013

Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia; Tipologi dan Variannya

Benarlah, manusia sebagai makhluk yang berpikir (hayawan al-natiq), ia ditakdirkan untuk terus berproses menjadi (becoming)[1], hal tersebut meniscayakan kehidupannya yang tak pernah tetap, terus berubah (dinamis), tak terkecuali kehidupan keagamaannya.

Beragama atau berkeyakinan adalah suatu fitrah bagi manusia.[2] Hal ini bertolak dari kesadaran manusia akan ketidak-berdayaan dirinya dan adanya sesuatu yang transenden yang patut diunggulkan. Agama, sebagai pegangan hidup manusia, tentu tak hanya berhenti sebagai pemikiran ideal belaka, melainkan, seiring perjalanan waktu, harus diterjemahkan dalam bingkai realitas kehidupan manusia. Agama kemudian mencari posisinya yang apresiatif terhadap realitas, namun tanpa mereduksi prinsip-prinsipnya sendiri. Pada titik inilah, pemikiran keagamaan menjadi suatu hal yang patut diperjuangkan.

Dalam konteks Indonesia, Islam, yakni agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, telah melalui perjalanan panjang yang tak mudah. Di wilayah periphery (wilayah yang jauh dari wilayah Islam berasal, Haramayn), Islam dituntut untuk menerapkan ajarannya secara luwes sehingga bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang multikultural.

Saat ini, Islam dihadapkan pada tantangan-tantangan kontemporer yang kompleks, yang tentu dibutuhkan penanganan yang baik dengan metodologi (manhaj) yang kontemporer pula. Namun demikian, pada kenyataannya, banyak cara yang ditempuh orang-orang Islam dalam kancah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, yang hasilnya pun tidak seragam meski tujuan tetap sama yaitu menegakkan Islam sebagai sebenar-benarnya rahmatan llil ‘alamin.

Wacana pemikiran Islam kontemporer di Indonesia terutama mencuat kira-kira pada peralihan abad 19 menuju abad 20, detik-detik terakhir keberadaan kolonial Belanda di tanah air, ketika gerakan-gerakan modern Islam mulai terdengar gaungnya.[3] Wacana tersebut bertitik tolak dari kesadaran masyarakat Muslim Indonesia akan keterbelakanganya terutama bila dibandingkan dengan Masyarakat Barat. Masyarakat Muslim harus bangkit, apakah dengan cara menggali khazanah intelektual Islam lebih dalam, atau dengan memperbarui metodologi dalam dakwah, sehingga Islam terus maju dan memperluas pengaruh.[4]

Substansialisme, Formalisme dan Spiritualisme

Lebih jauh, ada beberapa tipologi gerakan pemikiran-keagamaan Islam kontemporer di Indonesia, yakni substansialisme, legalisme/formalisme, dan spiritualisme.[5]

Pertama, substansialisme. Paham ini bertitik tolak pada paradigma pemahaman keagamaan yang lebih mementingkan substansi atu isi ketimbang label atau simbol-simbol ekplisit tertentu yang berkaitan dengan agama.[6]

Para “penganut” paham substansialisme, dalam konteks social-kemasyarakatan, misalnya, merasa lebih nyaman dengan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit dalam segala hal, tanpa harus memunculkan label yang sering kali hanya mengundang konflik. Para penganut paham ini akan merasa tidak perlu membangun negara islam, sebab yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai islam itu dijalankan sebaik-baiknya oleh orang warga negara yang muslim. Para pendukung substansialisme ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keberagaman (pluralisme). Jelas, kelompok yang menahbiskan diri sebagai muslim moderat, berangkat dari sini.

Kedua, formalisme/legalisme. Berbeda dengan paham yang pertama, substansialisme, formalisme menganggap bahwa penerapan nilai-nilai Islam tidak cukup hanya secara implisit, melainkan harus diekspresikan secara eksplisit pula.

Penekanan paham ini terletak pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang sangat lahiriah semacam label atau simbol keagamaan, dalam setiap bidang kehidupan. Sebagai contoh konkret, paham ini meniscayakan adanya bank Islam/Syariah, asuransi Syariah, bahkan negara Islam dengan hukum-hukum syariah yang dinaikkan sebagai hukum positif. Pengadopsian pakaian ala Arab, atau pemeliharaan jenggot dan lainnya, dalam lapangan yang murni keagamaan, merupakan bentukan formalisme/legalisme ini.

Selain itu, para penganut paham ini begitu kuat dalam hal mengikuti fatwa-fatwa ulama Abad tengah, memahai teks secara literal belaka (kurang peduli konteks), sehingga mereka menolak penafsiran para pendukung substasialisme yang kemudian dipandang sebagai liberal atau bahkan kafir. Oleh karena itu, paham ini bisa berujung pada sikap fundamentalistik dengan beragam bentuk ekspresinya, apakah damai atau radikal.

Ketiga, spiritualisme. Paham yang terakhir ini lebih menekankan pada pengambangan sikap baginiah, yang untuk mencapainya meniscayakan keikutsertaan dalam kelompok-kelompok eksklusif spiritual-mistik, tasawuf atau tarekat, atau bahkan melalui kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai kultus.[7] Paham spiritualisme ini cenderung tidak politis sehingga tidak heran jika kelompok atau paham ini jarang sekali muncul ke permukaan, kecuali kelompok paham ini keluar atau menyimpang dari paham keagamaan mainstream yang berlaku.[8]

Gejala kemunculan kelompok ini di Indonesia dipercepat oleh kenyataan berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat, yang menimbulkan disorientasi atau dislokasi psikologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu, bisa pula kemunculan kelompok paham spiritualisme ini didorong oleh ketidak-puasan mereka pada paham-paham yang ada, substansialisme dan formalism/legalisme, yang mereka pandang tidak mampu lagi memfasilitasi perjalanan keagamaan mereka.[9]

Beberapa Varian Pemikiran Islam Kontemporer

Tipologi-tipoligi di atas kemudian menjelma pada berbagai macam ekspresinya dalam peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, yang secara berurutan membagi pemikiran tersebut pada beberapa varian,[10] di antaranya:

Pertama, fundamentalis. Yaitu, model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.[11]

Kedua, tradisionalis (salaf). Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa’ al-rasyidin, sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya.

Ketiga, reformis, yaitu model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional. sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.

Keempat, postradisionalis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.

Kelima, modernis, yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah arena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.

Jika diperhatikan secara seksama, inti persoalan yang ditarik-ulur dalam dinamika varian-varian ini mengkristal pada satu tema, yakni mendialogkan antara tradisi dan modernitas.[12]

Continuity and Change: Sebuah Kesimpulan

Diakui atau tidak, tidak sedikit orang yang masih pesimis akan masa depan Islam. Peristiwa keagamaan kontemporer dilihat sebagai ancaman disintegrasi umat. Munculnya tipologi dan varian dalam pemikiran Islam kontemporer tak lain adalah progress yang memang sudah seharusnya, yang akan memberi jalan bagi tercapainya tujuan-tujuan Islam yang universal dan membumi.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa pemikiran Islam kontemporer merupakan peristiwa sejarah yang, sebagaimana sejarah, berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity). Mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah akan selalu terkait dengan “waktu’ (time) yang terus bergerak dari masa sebelumnya ke masa-masa berikutnya, berubah (change) dari kehidupan sejak adanya manusia sampai sekarang yang berlangsung secara lambat (evolusi) ataupun berlangsung dengan cepat (revolusi). Wallahu A’lam bi al-Shawab.[]

End Notes:

[1] Tak ada sesuatu di dunia ini yang tetap, semua terus berubah (change) dan berproses “Menjadi” (becoming). Pemikiran filosofis ini dikenalkan oleh Heraklitos (535-480 SM), dalam Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 52
[2] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, cet ke-6, 2008 ), hlm. xx
[3] Gerakan modern Islam telah mewariskan kerangka berpikir yang komprehensif bagi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia sekalipun masih jauh dari tuntas. Lihat A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), hlm.121. Gerakan-gerakan modern ini menemukan momentumnya ketika penerapan politik etis Belanda pada tahun 1901, melahirkan kaum intelektual yang kemudian mengancam hegemoni Belanda. Baca Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, cet. Ke-2, 2006), hlm. 144-145
[4] Tuntaskan pada Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, cet ke-5, 1990), hlm. 37. Bandingkan dengan Jubair Situmorang, “Fundamentalisme dalam Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 195
[5] Periksa Azumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 9
[6] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi, hlm. 9
[7] Kultus (cult) adalah otoritarianisme seorang tokoh pemimpin, ketaatan dan ketergantungan para pengikut kepadanya, dan, akibatnya, perampasan kemerdekaan dan kebebasan pribadi. Banyak hasil kajian yang menunjukkan bahwa kultus merupakan gejala keagamaan yang menyimpang. Kultus sunguh merugikan masyakat, bahkan membahayakan. Tuntaskan pada Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, Cet ke-2, 2000), hlm. 115
[8] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi, hlm. 10
[9] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi, hlm. 10
[10] Mengenai beberapa varian yang akan disebutkan di sini, kami merujuk pada Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam (Yogyakarta: LKiS, 2008)
[11] Jubair Situmorang, “Fundamentalisme”, hlm. 194
[12] Perbincangan mengenai tradisi dan modernitas ini dimulai sejak abad XIX dan awal XX, yang waktu itu menghdapkan peradaban Barat yang mulai modern dengan peradaban Asia yang tradisional. Terjadi pertentangan pendapat, ada yang menerima peradaban Barat dengan konsekuensi westernisasi Asia, ada pula yang anti-Barat dan tetap kukuh pada tradisi. Hal ini memmiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan kebudayaan Islam khususnya Indonesia. Tuntaskan pada Ira M. Lapidus, A History Of Islamic Societies (New York: Camridge University Press, 1988), hlm. 597 dan 625-626.
*) Tulisan ini dipresentasikan pada perkuliahan “Isu-Isu Islam Kontemporer di Indonesia”, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, semester VI, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis 21 Maret 2013.